Mengenang Setahun Wafatnya Darlis Syofyan

×

Mengenang Setahun Wafatnya Darlis Syofyan

Bagikan berita
Mengenang Setahun  Wafatnya Darlis Syofyan
Mengenang Setahun Wafatnya Darlis Syofyan

Syafrizal Harun

Darlis Syofyan, saya kenal, mulai 1986-an, di kantor suratkabar Singgalang, tempat ia bekerja sebagai wartawan. Pada masa itu, di Padang belum tiba zaman digital elektronik.

Hubungan kami, akrab meskipun tidak terlalu rapat. Kami, pernah berdiskusi berbagai hal, terutama situasi aktual di Sumbar umumnya, dan Padang Pariaman khususnya. Topik yang kami diskusikan, ada yang terkait ke pemberitaan di berbagai koran, namun ada juga tidak terkait berita koran. Bung Darlis, demikian saya memanggil, pernah sebagai salah seorang anggota tim seleksi (timsel) calon komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Padang Pariaman untuk masa bakti 2003-2008. Ketika itu, saya ikut seleksi KPUD, dengan hasil tidak lulus ke tahap 10 besar calon. Saya tanya ke Darlis yang pada gilirannya bertanya via telephon ke Sekretariat KPUD Padang Pariaman, dengan hasil saya memang tidak lulus. “Oke Bung, tidak masalah!” kata saya ke Darlis yang tampak gusar meletakkan gagang telepon. “Maaf, ambo wakatu itu capek kalua kantua Sekretariat KPUD, listrik padam lo,” kata Darlis dengan nada menyesal. “Tak apa, saya hanya ingin kejelasan, dan kinikan sudah jelas,” kata saya. Beberapa hari kemudian, Darlis menelpon saya lewat HP, memberitahukan, saya diberi kesempatan oleh Timsel melanjutkan seleksi tahap 10 besar. Ketika wawancara 10 besar, setelah saya memperkenalkan diri, Husni Kamil Manik berkata, ada yang lupa saya ungkapkan yaitu, saya sebagai pengganti Sutan Zaili Asril yang mengundurkan diri. Darlis tidak memberitahukan hal itu kepada saya, namun segera saya mengiyakan apa yang dikatakan Husni, dan minta maaf atas kelupaan itu. Hasil akhirnya, saya diterima sebagai anggota KPUD Padang Pariaman dan konon kabarnya, kata Darlis, dengan nilai tertinggi. Situasi tersebut, tak sepenuhnya saya ketahui secara persis. Rekonstruksi peristiwa dan imajinasi saya mengatakan, kelulusan saya di KPUD Padang Pariaman adalah suatu kebetulan kosmik. Darlis kerap mendorong saya menulis. Tampaknya, Darlis bersikap sama dengan mendiang Chairul Harun dalam hal menulis untuk suratkabar, yaitu; tidak terikat kaku ke disiplin ilmu pengetahuan tertentu. “Siapa saja boleh menulis apa saja,” kira-kira demikian prinsip penulisan untuk koran versi Chairul dan Darlis. Sejauh suatu tulisan dapat dibaca-pahami, sesuai dengan standar Singgalang, maka pasti diturunkan. Selama 2000 sampai 2008, berbagai tulisan singkat saya kirim ke Bung Darlis, dan umumnya diturunkan sebagai tulisan di kolom opini atau komentar. Meskipun, kerap saya katakan ke Darlis, tulisan saya jika memang tak layak diturunkan, ya tidak usah diturunkan, namun hampir semua tulisan saya diturunkan. Beberapa naskah diubah judulnya, atau dirubah susunan teks penulisannya oleh Darlis. Di awal 2005, ketika Darlis akan ke Mekkah untuk ibadah haji, saya mengirim sms ucapan selamat ke Mekkah, dan kalau tak keberatan bawakan saya oleh-oleh segenggam pasir alamiah dari Mekkah. Pada 22 Februari 2005, saya menerima sebungkus pasir Mekkah dari Darlis, di kantor Singgalang. Berat bungkus 250 gram, dan kami berbincang tentang apa guna pasir itu untuk saya. “Akan saya periksa, sekedar sebagai pengetahuan mineralogi,” kata saya ke Darlis. Ketika itu, sekilas saya melihat raut muka Darlis yang mengesankan keberatan. Hingga kini, pasir Mekkah itu, belum saya periksa, dan masih tersimpan rapi. Pada periode haji 2012, seorang teman saya sesama geolog yang juga ke Mekkah untuk ibadah haji, namun menolak permintaan membawakan pasir alamiah dari Mekkah, dengan alasan takut kualat. Sebagai pemimpin redaksi, Darlis memiliki kewenanang tertentu dalam menentukan tulisan yang akan diturunkan di Singgalang. Pernah, dua atau tiga kali Darlis minta saya menulis dan menghantam apa yang disebutnya sebagai pikiran-pikiran terlalu meninggikan otak. Diperlihatkannya kepada saya, artikel dimaksud, yang anehnya terbit di koran Singgalang itu sendiri. Saya enggan mengatakan tidak kepada Darlis, sebagaimana Darlis juga enggan mengatakan tidak kepada saya. Saya tulis apa yang dimaksudkan Darlis. Ada tulisan kontra atau hantaman yang saya persiapkan bebeberapa hari, namun ada juga yang langsung saya tulis di kantor Singgalang. Suatu malam, sambil mem baca naskah saya yang akan diturunkan untuk edisi esoknya, lewat telepon Darlis menghubungi seorang bupati, minta konfirmasi dan mengancam sang bupati supaya memenuhi tenggat suatu pekerjaan, terkait dengan apa yang saya tulis. Hubungan saya dengan Darlis, menjadi runyam pada masa Pilkada Padang Pariaman 2005. Dalam pilkada ricuh dan panas itu, Darlis merupakan anggota tim sukses dari salah satu pasangan kandidat yang bertarung. Sebagai anggota KPUD, saya kikuk berurusan dengan Darlis. Singgalang, secara kentara berpihak kepada salah satu pasangan. Sedangkan koran lain tidak demikian. Di tengah masyarakat Padang Pariaman, terjadi kisruh dan kebingungan, karena fakta bercampur aduk dengan opini, dan perbedaan antara pengetahuan dengan imajinasi menjadi kabur. Niat untuk memberikan transkripsi dari rapat pleno KPUD yang saya rekam, kepada Darlis saya batalkan, karena saya lihat Darlis menikmati suasana Padang Pariaman yang panas itu, dan selalu tertawa jika jumpa secara fisik dengan saya. Setelah pelantikan pasangan kandidat terpilih, Darlis menganggap segala permasalahan pilkada Padang Pariaman, telah selesai. Kami tidak pernah lagi membicarakan pilkada. Sejak 2009, secara fisik, saya jarang bertemu dengan Darlis Syofyan. Namun, setiap hari raya Idul Fitri, kami selalu berkirim-balas ucapan selamat hari raya. Hingga pada suatu siang menjelang petang, Jumat 25 April 2014, di rumah ketika saya menulis suatu laporan pekerjaan, saya menerima kabar Darlis Syofyan telah berpulang ke Rahmatullah. Meninggal dunia di rumah sakit Yos Sudarso, dan dikuburkan di kampung halamannya di Sungai Geringging. (*)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini