Kelahiran organisasi Minang Diaspora Network-Global, sebagai wadah tempat berkumpulnya orang-orang Minangkabau pada 2018 lalu telah membawa nuansa baru dalam hubungan ranah-rantau, maupun antar sesame perantau. Saya lebih suka kata “Minang” itu disebut saja secara lengkap “Minangkabau”, kenapa harus dipotong bagitu? Saya tidak tau kenapa sebahagian orang Minangkabau dewasa ini terkesan “malu-malu” menyebut diri mereka orang “Minangkabau”, mungkin karena nama itu dikaitkan dengan binatang.
Kalau memang begitu adanya, ini adalah dosa sejarah yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena nama itu adalah bahagian dari “jati diri” orang Minangkabau. Ini juga menunjukkan bahwa sebahagian orang Minangkabau zaman kini terutama yang merasa malu itu; adalah orang-orang yang tidak paham sejarah Minangkabau atau sejarah leluhurnya, maka secara pemikiran terjadilah jalan dialiah urang lalu, malu indak batampaek.
Terkait Minang Diaspora Network-Global (MDNG) sendiri bisa dikatakan sebagai adik dari Indonesian Diaspora yang labih dulu hadir atas ilham Dino Patti Jalal sekaligus pimpinannya, dan ditakdirkan pula Dino orang Minangkabau. Pada saat awal keberadaan MDNG, kata “diaspora” sempat menjadi perdebatan hangat, karena sebahagian dari masyarakat Minangkabau rantau, terutama dari Malaysia kurang menyetujui perkataan diaspora itu dipakai untuk organisasi masyarakat yang baru lahir itu.
Ada dua alasan ketidak-setujuan tersebut, pertama; dari sudut pandang sejarah, kata diaspora itu merupakan suatu perkataan yang di alamatkan kepada orang-orang Yahudi yang terusir dari negeri-negeri tempat tinggal mereka, kemudian mereka berdiaspora (menyebar) ke mana-mana. Kedua, penyebaran orang-orang Minangkabau ke mana-mana selama ini bukan karena terusir dari kampungnya, tetapi mereka pergi “merantau” sebagai salah satu ciri khas budaya Minangkabau, jadi orang Minangkabau Malaysia usulkan nama yang lebih tepat itu adalah; Jaringan Masyarakat Minangkabau Dunia (Minangkabau International Communities Network).
Tapi karena kuatnya keinginan dari sebahagian besar penggiat organisasi Minangkabau untuk tetap memakai kata “diaspora” itu yang dianggap trendy (bergaya moderen), maka pihak yang tidak setuju pun kemudian mengalah untuk mengelakkan perdebatan panjang. Tapi saya mengutarakan ini tidak ada maksud lain, melainkan hanya untuk sekadar menorehkan satu catatan sejarah seiring lahirnya MDNG, sambil berbagi pemahaman bahwa ada sisi perbedaan yang kentara antara kata “rantau” dengan “diaspora” itu.
Di sisi lain, tokoh sosiolog/antropolog asal Minangkabau Mochtar Naim yang melahirkan “teori merantau” mengatakan bahwa kegiatan merantau orang Minangkabau itu merupakan suatu “budaya perpindahan secara suka rela” dari tanah asal ke tempat lain yang disebut “rantau”. Jadi dalam proses perpindahan orang Minangkabau itu dari dulu tidak ada unsur paksaan seperti yang terjadi terhadap kaum Yahudi. Saya sendiri dalam Webinar Internasional: Budaya Merantau Masyarakat Minang, Dulu, Sekarang Dan Masa Yang Akan Datang yang diadakan oleh MDNG (30/05/2020) menyampaikan hal ini.
Kalau pun ada terjadi diaspora dalam perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau adalah ketika meletusnya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, 1958). Memang waktu itu sejumlah orang-orang Minangkabau ada yang melarikan diri ke luar karena takut ditangkap dan dipanjara, sehingga terpaksa menukar nama-nama mereka dan anak-anak mereka yang lahir di perantauan. Di situlah awal mulanya nama-nama orang Minangkabau menjadi bermacam-macam, dan tidak lagi dengan ciri-ciri nama Minangkabau seperti zaman sebelumnya.
Lalu seiring dengan perjalanan waktu sejak oraganisasi ini dilahirkan hingga kini, ada sejumlah tokoh-tokoh Minangkabau terbilang di dalam MDNG ini, diantaranya seperti; Emil Salim, Rais Yatim, Rizal Ramli, Fasli Jalal, Archandra Tahar, Dino Patti Jalal, Yuliandre Darwis dan sejumlah nama-nama besar lainnya dalam berbagai bidang, baik yang berada di dalam negeri maupun yang berkiprah di luar Indonesia. Namun dari sejumlah nama itu tersebutlah nama Burmalis Ilyas, masih tergolong generasi muda Minangkabau, berprofesi sebagai pengusaha yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif di organisasi MDNG ini mendampingi Dino Patti Jalal sebagai Presiden.
Pilihan Dino terhadap Burmalis untuk mengemban tugas sebagai Direktur Eksekutif nampaknya merupakan pilihan yang tepat, dan itu terlihat sejak awal organisasi ini didirikan, dengan memanfaatkan teknologi media sosial, Burmalis seakan hadir di mana-mana membawa nama MDNG, sehingga sampai sekarang Minang Diaspora semakin dikenal masyarakat. Untuk memimpin sebuah organisasi massa (non-profit) seperti MDNG diperlukan setidaknya lima keberanian untuk berkorban, yakni: korban waktu, pikiran, tenaga, uang dan perasaan.
Sebagai seorang yang suka mengamati prilaku manusia, saya melihat rata-rata seseorang yang diberi amanah sebagai pemimpin tidak keberatan untuk berkorban waktu, pikiran dan tenaga. Tapi apabila sampai kepada korban uang pribadi dari saku sendiri untuk kepentingan organisasi (terlepas dari mereka kaya atau biasa-biasa saja), tanpa ada kepentingan lain di belakangnya (seperti kepentingan politik misalnya) memang sangat sedikit orang yang mampu, dan Burmalis Ilyas mungkin salah satu di antara yang sedikit itu.
Bila dilihat kembali rekam jejak Burmalis di saat-saat awal MDNG memulai kegiatannya, ia berani berputar ke beberapa negara hingga ke Eropah, mengunjungi kelompok-kelompok masyarakat Minangkabau sambil memperkenalkan MDNG, termasuk ke Malaysia, Singapura dan lainnya tanpa disponsori oleh siapa-siapa.