Ia telah lama pergi, 1921. Yang tersisa hanya satu foto di mesin mencari Google, tapi warisannya berupa surat kabar, disimpan dengan rapi dalam bentuk fisik dan digital di Persputakaan Nasional dan di Amsterdam serta Den Haag, negeri Belanda.
Jumlahnya belasan ribu lembar, bahkan mungkin ratusan ribu. Lembaran koran itu, adalah kekayaan intelektual tentang dinamika Minangkabau abad lampau.
Tokoh ini, Mahayudin Datuk Sutan Maharaja, konglomerat pers dari Padang. Jika bicara pers zaman-zaman awal di Indonesia, maka Minangkabau tak bisa ditinggalkan, seperti untaian lagu medley Nusantara, mana bisa tak memasukkan Ayam Den Lapeh.
Tak bisa tidak, pers Sumbar harus masuk sebab di sini salah satu benang perajutnya. Ketika dicari pada zaman canggih ini di Google, yang keluar sebuah foto pria berpakaian adat Minangkabau. Foto setengah badan.
Hanya itu yang muncul, entah kalau di album keluarga. Tapi, Anda akan lelah sendiri mengumpulkan koran-koran kepunyaannya, sedemikian banyaknya. Ia pantas disebut konglomerat pers dari Padang. Juga tak kuat membaca semua edisi surat kabar kepunyaan datuk ini.
Mahyudin Datuk Sutan Maharadja, yang digelari Datuk Bangkit dan juga Bapak Pers Melayu yang terkemuka itu, dimakamkan dimana? Pusing saya bertanya, akhirnya dtunjukkan oleh sarjana Islam, Khairul Ashdiq, alumni Parabek.
Lalu, pada Kamis (31/8) bersama wartawan Indra Sakti Nauli, meluncur ke Seberang Padang, dekat Teluk Bayur. Terletak sebelum rumah Azwar Anas, ada jenjeng menuju pinggang bukit. Di situlah makam-makam tua warga Sulik Aie.
Makam itu besar dan tinggi, berkeramik hitam, masih agak baru. Yang tua adalah nisan marmer warna putih. Bisa jadi, itulah makam pertama di TPU Sulik Aie ini.
Di sana, ditulis, Peringatan: Mahjoedin gelar Datoek Soetan Maharadja. Dilahirkan di Soelik Ajer Pada 27 November 1860, Berpoelang Krahmahtullah pada hari Chamis 23 Juni 1921. Lalu kalimat lain: Orang jang mangoetkan adat MINANGKABAU.
Makamnya, terletak paling ujung, mungkin itu makam pertama di sana. Ia adalah pengusaha percetakan sebagaimana kebanyakan orang Sulit Air kemudian.
Punya toko buku dan sejumlah media cetak: Ia bekerja dan memimpin koran Pelita Ketjil menjelang pergantian abad. Koran ini terbit 1 Februari 1886, kemudian Tjahaya Soematra (1897).