Don't Cry For Me Argentina, Lionel Messi Memang Bukan Diego Maradona

×

Don't Cry For Me Argentina, Lionel Messi Memang Bukan Diego Maradona

Bagikan berita
Foto Don't Cry For Me Argentina, Lionel Messi Memang Bukan Diego Maradona
Foto Don't Cry For Me Argentina, Lionel Messi Memang Bukan Diego Maradona

AWALNYA saya termasuk salah seorang yang cukup yakin, Argentina akan berjaya terbang tinggi di Piala Dunia 2018. Setidaknya mereka punya tampang untuk mengulang hasil empat tahun lalu di Brasil 2014, masuk ke final.

Malah ada sedikit keinginan untuk melihat mereka juara. Rasanya sudah cukup layak, karena negara yang tak pernah berhenti menelorkan pemain-pemain kelas dunia ini sudah cukup lama menunggu untuk menjadi juara dunia lagi. 32 tahun, mereka tak merasakan lagi memegang trophy juara dunia, sejak Diego Maradona melakukannya tahun 1986 silam.Ternyata di Rusia 2018, Argentina tidak seindah yang saya bayangkan. Materi pemain kurang apa lagi? Mulai dari Lionel Messi, Sergio Aguero, Angel di Maria, Gonzalo Higuain, Pablo Dybala dan lain-lainnya ada disana. Pelatih, apa kurangnya sosok Jorge Sampaoli, yang membawa Timnas Chile dua kali juara Copa America terakhir secara beruntun.

Tapi dengan personal-personal sekelas itu, Argentina seperti tak ada apa-apanya di Bumi Kremlin itu. Imbang 1-1 dengan debutan Piala Dunia Islandia, dan hancur dengan skor telak 0-3 oleh Kroasia yang sebelumnya selalu gampang dikalahkan Argentina, menunjukkan Argentina memang dibalut persoalan besar menjelang berangkat Rusia.Untuk turun di sebuah iven, apalagi sebesar Piala Dunia, sejatinya sebuah tim memang sudah siap dan detail 100 persen, baik teknis, fisik, mental, juga suasana internal tim. Tapi Argentina sepertinya terlalu sombong dan yakin, dengan materi pemain gemerlap mereka yakin semuanya akan mudah di Rusia. Faktanya tak cukup mengharungi Piala Dunia dengan itu.

Menyedihkan melihat tim dengan reputasi seperti Argentina seperti tim medioker di ajang level Piala Dunia. Sama sedihnya melihat seorang legenda seperti Diego Maradona yang menangis di tribun melihat timnas negaranya tak berdaya. Argentina tak tampil layaknya juara dunia dua kali (1978, 1986), bahkan jauh dari level permainan mereka yang sanggup maju ke final empat tahun silam.Lagu legendaris "Don't Cry For Me Argentina" terdengar lirih di Nizhny Novgorod Stadium seiring wasit asal Uzbekistan, Ravshan Irmatov meniupkan peluit panjang. Lagu yang dipopulerkan Madonna untuk mengenang kehidupan istri mantan Presiden Argentina Juan Peron, Evita Peron, mengiringi wajah sedih pemain ke ruang ganti.

Don't cry for me Argentina. The truth is I never left you. All through my wild days, my mad existence. I kept my promise, don't keep your distance. (Jangan menangis untukku Argentina. Sebetulnya aku tak pernah meninggalkanmu. Sepanjang kehidupanku yang liar dan kegilaanku. Aku menepati janjiku, jangan menjauhkan diri).Tapi apa hendak dikata, semuanya memang diluar dugaan. Kekalahan telak dari Kroasia yang membuat posisi Argentina sangat kritis. Bayang-bayang gagal lolos ke babak 16 besar semakin nampak nyata di depan mata. Kemenangan atas Nigeria di laga terakhir Grup C, belum ada jaminan lolos, karena nasib Argentina juga harus bergantung hasil pertandingan lain di Grup ini.

Melihat mereka bermain melawan Kroasia, saya melihat fighting spirit pemain tidak tereksplorasi seutuhnya, Bahkan seperti tak niat tampil habis-habisan, sehingga semakin menyiratkan suasana internal tim ini memang berada di titik nadir.Kunci masalahnya mungkin seperti yang sudah menjadi isu umum tim Argentina, bahwa kedudukan Lionel Messi yang terlalu besar dalam tim jadi penyebabnya. Sosok nomor 10 ini memang terlalu dominan, bahkan konon pelatih pun tak berdaya di hadapan sang bintang. Tim seperti diarahkan bekerja untuk Messi, bukan untuk Argentina. Tapi sekali lagi, Messi bukanlah Maradona yang dengan kharisma dan kebesarannya mampu membawa

Argentina juara dunia "seorang diri" tahun 1986. Hal ini menunjukan, kelasnya Messi masih jauh dibawah sang legenda hidup Argentina itu. Untuk kegagalan di Rusia ini, saya menyebutnya Messi bukanlah Maradona, dan Argentina bukanlah Messi.Imbas internal tim itu, nampak nyata di lapangan. Semua lini Argentina tak bekerja sesuai harapan. Lini pertahanan tidak kompak, tidak ada koordinasi di lini tengah, dan lini depan yang tak bisa berbuat apa- apa. Hal ini diperparah oleh kiper yang buruk dengan blunder-blunder konyolnya. Saya masih heran, melihat kiper yang seperti ketakutan ditekan lawan, bisa menjadi nomor satu di Timnas untuk Piala Dunia.

Tapi bisa dimengerti, dalam sejarahnya Argentina memang tak pernah melahirkan kiper-kiper kelas dunia. Semuanya, pemain-pemain muda Argentina berebut menjadi pemain depan seperti Gabriel Batistuta, atau gelandang seperti Maradona, dan pemain belakang layaknya Daniel Passarella.Jadi, memang betul kata Maradona, pelatih Jorge Sampaoli harus bertanggungjawab, karena dia memang tak bisa mempersiapakan timnya dengan detail. Dia juga terlalu berani berjudi dan mengambil risiko besar dengan bereksperimen strategi dan komposisi 11 pemain utama, seperti yang dilalukannya melawan Kroasia.

Sayang memang, jika Argentina harus segera mengepak koper pulang dari Rusia. Berharap Argentina bisa lolos dari lubang jarum, sepertinya harapannya 1 persen berbanding 99 persen. Bisa jadi, sesudah lawan Nigeria di laga terakhir Grup nanti, lantunan lagu Don't Cry for Argentina akan makin bersahut-sahutan di seantero Argentina.(*)*)Penulis, Mantan Pelatih Timnas Indonesia, Semen Padang FC, dan pemegang Lisensi A AFC

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini