We'e Si Pono

×

We'e Si Pono

Bagikan berita
Foto We'e Si Pono
Foto We'e Si Pono

Oleh: Duski SamadPenulis diminta berbicara pada Sof Laucnhing naskah Drama We’e si Pono, Karya Sastri Bakri, secara virtual yang diikuti pengkaji sejarah dan budayawan Sumatera Barat, nasional dan mancanegara, Sabtu, (24/10/2020.

Apresiasi terhadap penulis yang dengan cerdik dan berani mengangkat tema sejarah ulama penyebar Islam di Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan dengan menyebut panggilannya saat kecil, si Pono. Realitasnya pengikut tarekat Syathariyah menghormati, mengagungkan, bahkan ada yang mengkultuskan dan menyebut beliau keramat. Hebat, karya ini membuat sejarah menjadi hidup, jadi hiburan dan dikalaborasikan dengan seni tradisional randai.Ada beberapa pikiran yang penulis share dan disampaikan langsung dalam acara virtual, tersebut:

1.Buku naskah drama We’e Si Pono ini patut diapresisi dan diberikan penghargaan karena harus diakui mengangkat tokoh lokal, dengan penerimaannya belum maksimal secara akademis adalah tantangan tersendiri, lebih lagi dari mainstream keagamaan modernis dan puritan di Sumatera Barat mendapat kritik tajam, khususnya prilaku keagamaan pengikut Syathariyah yang bersimpul dari Syekh Burhanuddin, alias Si Pono.2. Karya seni dalam bentuk Randai adalah kesenian Minang yang posisinya dalam sistem nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, belum ful diterima, lebih lagi di kalangan puritan yang mulai menggeliat pasca reformasi, bila ia dipakai untuk menyampaikan pesan dakwah, tentu akan menimbulkan masalah yang menjadi diskursus di tengah masyarakat.

3. Penulis mencermati, suasana keagamaan dan jiwa batin, pengikut Syathariyah yang menjadikan Syekh Burhanuddin sebagai pangkal silsilah tarekat yang diyakininya, tetap saja eksistensinya tidak mudah tergerus oleh gerakan moderasi, purifikasi dan kritikan tajam kaum modernis, salafi dan wahabi. Faktanya, setiap hari tetap ada orang berziarah, bernazar, bawa anak turun mandi, ada empat ritual tahunan Syafar Besar, Syafar kecil, Syafar Tuanku Salih Kiramat, Syafar Tuanku Salif dari Batang Kabung adalah realitas keagamaan yang tidak mudah dijelaskan.4. Saya berpandangan, sebagaimana ditulis di buku realitas sosial Sejarah Syekh Burhanuddin seperti yang ada dalam naskah drama adalah hidup dan melekat dalam memory kolektif keagamaan masyarakat di Sumatera Barat dan wilayah lain di Nusantara. Jaringan tarekat Syathariyah di Nusantara setiap kegiatan Syafar dari seluruh Provinsi di Sumatera, Cirebon daerah Jawa Barat sampai Jawa Timur, ada juga yang dari Makassar Sulawesi Selatan.

Maha karya We’e Si Pono: Kisah Perjuangan Syekh Burhanuddin yang ditulis Sastri Bakry dan Editor : Handoko F Zainsam adalah besar kontribusinya bagi pengembangan khazanah sejarah Islam di Minangkabau.5. Pertunjukkan Drama ini sarat dengan kearifan lokal Padang Pariaman, bahasa dan alur cerita, tentu sekaligus menampilkan identitas Minangkabau. Pemangku kepentingan di Sumatera Barat dan lebih khusus lagi Bupati Padang Pariaman, Walikota Pariaman, PKDP, dan segenap urang piaman sangat berterima kasih dan berhutang budi pada penulis perempuan Minang kotemprer Uni Sastri Bakry yang dikenal luas sebagai tokoh perempuan.

We’e Si Pino  Sebagai bahagian umat, akademisi pemerhati pemikiran Islam, dan tokoh masyarakat Padang Pariaman dan Kota Pariaman, saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas Maha karya We’e Si Pono: Kisah Perjuangan Syekh Burhanuddin.6. Berkenaan perbedaan perspektif tentang kisah ini dapat dimaklumi sebagai wujud dari karya ilmiah, dan diharapkan penampilan, kostum, alur cerita dan tata gambar tetap menjunjung nilai religiusitas dan martabat keulamaan Syekh Burhanuddin. Bagi pembaca dan penikmat sastra karya ini adalah imajinasi, ilustrasi dan proses kreatif dari kisah ini adalah bernilai untuk penguatan siprituality dan harap hati-hati agar tidak terjebak pada mitos, fanatisme, dan sikap berkelebihan (ta’ashub).

Novel sejarah ulamaTanggapan dari Khairul Jasmi, generasi milenial tidak memiliki pengetahuan tentang Syekh Burhanuddin dan ulama di atas serta di bawahnya. Jaringan ulama di Sumatera Barat yang luar biasa banyak dan luasnya perlu ditulis dengan mengunakan bahasa milenial, yaitu bahasa novel. Menulis novel sejarah tidak mudah, memerlukan kemampuan talenta yang tidak sama dengan penulis ilmiah, opini.

Uni Sastri mengisi ruang kosong ini menulis sejarah dengan bentuk drama, dan pantas disebut Maha Karya dan tentu akan bermanfaat banyak bagi kaum milenial dan menjadikan ulama Minangkabau diketahui umatnya. Harusnya muncul yang buku Seri Ulama Minangkabau di Toko Buku Utama, sebagai hutang sejarah kaum intelektual.Si Pono

"Entah apa-apa saja kerja Sastri ini. Tak tahunya, meledak. Kadang saya heran juga melihat perempuan yang satu ini," ujar Khairul Jasmi yang akrab dipanggil KJ diakhir pembicaraannyaSeni kreatif dan industri kreatif

Dr. Indra Yudha menegaskan karya Sastri Bakry ini adalah masuk pada kategori Teater Rakyat Modren, Berbasis Randai. Karya ini ditempatkan pada seni kreatif dan industri kreatif. Dari karya ini dapat dikembangkan pada tema-tema kecil, seperti masa kecil, masa belajar, dan jalan dakwahnya."Saya setuju pernyataan Buya Duski Samad ini tokoh agama lokal yang diyakini sebagai figur "keramat", spiritual, dan masyarakat cendrung fanatik pada beliau, maka menulis dan membuat drama harus tetap menjaga kepatutan dan bingkai moral," Ulas Indra.

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini