Feisal Tamin, Juru Bicara Terbaik Indonesia

×

Feisal Tamin, Juru Bicara Terbaik Indonesia

Bagikan berita
Foto Feisal Tamin, Juru Bicara Terbaik Indonesia
Foto Feisal Tamin, Juru Bicara Terbaik Indonesia
Catatan Ilham Bintang Minggu (18/10) DR Feisal Tamin, mengirimi saya buku otobiografinya yang ditulis wartawan senior Kristin Samah. Feisal Tamin, puluhan tahun berkecimpung di dunia birokrasi dengan berbagai jabatan. Pernah menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara masa pemerintahan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Namun, yang paling mengesankan saat Feisal menjadi juru bicara Departemen Dalam Negeri. Saya fokus menulis itu untuk testimoni di bukunya: “Feisal Tamin Benteng Netralitas Aparatur Negara — Pendobrak Keterbukaan Informasi Legenda Juru Bicara”, setebal 342 halaman diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Berikut tulisannya.

*******

Lama tak bertemu, tetiba suatu sore lalu Pak Feisal Tamin mengontak via WhatsApp. Wow! Beliau akan menerbitkan buku, dan saya salah seorang di antaranya diminta (baca: diberi kehormatan) menyampaikan testimoni di buku itu. Saya mengenal beliau sejak menjadi juru bicara / kepala humas Departemen Dalam Negeri puluhan tahun lalu. Di pertengahan tahun 70-an itu saya pun baru bekerja sebagai wartawan di Harian Angkatan Bersenjata (1976). Media belum sesemarak sekarang, stasiun televisi baru ada satu: TVRI. Namun, nama Feisal Tamin sudah sangat sohor —melebihi Mendagri— yang menjadi bossnya. Bidang peliputan saya sebenarnya film dan kebudayaan, tidak berhubungan langsung dengan bidang politik yang menjadi domain Pak Feisal. Tetapi saya tetap menganggap ada kedekatan. Pertama, karena saya pengagum komunikasi publiknya. Keterangannya di surat kabar maupun di televisi selalu saya ikuti. Adem. Berilmu. Penjelasannya mudah dicerna, disampaikan selalu dengan air muka yang tenang. Itu salah satu ciri orang pintar: memudahkan hal yang sulit.Bukan sebaliknya. Diam-diam itu saya pelajari dari beliau secara gratis. Tidak perlu desain pembelajaran macam online yang bikin heboh. Diam-diam saya “adopsi” jadi bekal begitu saya dipercaya oleh Menteri Penerangan Harmoko menjadi Ketua Festival Film Indonesia dan Festival Sinetron Indonesia yang membidangi kehumasan. Pada periode itulah saya sering ketemu fisik dengan Pak Feisal yang “langganan” menjadi anggota Komite Seleksi dan Dewan Juri FFI. Antara 1983-1988. Lebih tigapuluh lima tahun lalu. Sebelum itu yang sering kontak langsung dengan beliau Abang saya, Zainal Bintang yang juga wartawan. Berbicara mengenai reputasinya sebagai humas / juru bicara, sampai hari ini saya masih menempatkan Pak Feisal Tamin sebagai salah satu dari tiga juru bicara terbaik Indonesia. Dua lainnya: Syariful Alam Humas DKI di masa Gubernur DKI Ali Sadikin dan Oye Ratma Humas PJKA. Saya khawatir ketiga tokoh humas hebat itu belum tergantikan hingga sekarang. Lihat saja fenomena mutakhir: para pejabat saling bantah statement. Bahkan bisa keterangan Presiden RI diluruskan stafnya yang bukan juru bicara resminya. Itu sebabnya, meski berbagai jabatan penting pernah dipangku Pak Feisal termasuk Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di era Presiden Megawati Soekarno Putri, tetapi tetap yang melekat di benak :beliau juru bicara terbaik. Terakhir saya ketemu Pak Feisal di restoran Jepang Zhuma di Senayan City.Tapi saya lupa persisnya entah berapa tahun lalu. Itupun secara kebetulan. Beliau bersama Ibu, saya juga bersama isteri bersantap di resto yang berlokasi di lantai dasar Senayan City. Tidak banyak yang berubah dalam penampilannya. Tampak lebih fresh di usia lebih 70 tahun. Raut wajahnya hampir tanpa kerut. Tidak tampak bekas kelelahan pada pria kelahiran Dompu -Sumbawa, NTB 15 Juni 1941 itu. Padahal, pada masanya, beliau mengemban segudang jabatan dan amanah terutama di masa gonjang-ganjing politik di masa peralihan Orde Baru ke Era Reformasi yang menguras energi besar bangsa. Sayang, waktu bertemu saya lupa bertanya resep awet muda dan sehatnya. Padahal, saya pengin betul tahu itu. Saya juga lupa, apa pernah menceritakan, mengapa nama beliau begitu melekat di benak sejak awal sampai bertahun-tahun walau tidak bertemu dan berurusan. Sebabnya, karena ada persamaan dengan nama mertua saya : Ahmad Tamin. Yang satu dari Sumbawa-NTT, yang lainnya dari Bukittinggi, Sumbar. Buku biografinya ini ditulis oleh rekan wartawan senior Kristin Samah. Tentu bukan hanya untuk memperingati ulang tahun ke-79 Pak Feisal yang jatuh pada 15 Juni 2020. Pasti ada banyak pengalaman dan ilmu yang bisa dipetik dari pengalaman Pak Feisal mengabdi pada bangsa dan negara. Niscaya ini bisa menjadi kontribusi besar untuk ikut memperbaiki kehidupan berbangsa yang belakangan mengalami krisis nilai di berbagai sektor kehidupan. Ironisnya itu terjadi justru setelah reformasi — setelah ” Tobatan Nasuha” kita secara berjamah untuk mengoreksi secara total kehidupan di masa Orde Baru. Apa yang salah? Mengapa perjalanan reformasi kita seperti kehilangan arah dan marwah. Begitu lama perjalanan yang sudah ditempuh untuk jarak yang begitu dekat: kembali berhadapan dengan praktek penyalahgunaan kekuasaan yang lebih masif, di semua lini. Rasanya sudah waktunya kita kembali berkaca pada tujuan murni dan idiil reformasi tempo hari melalui penuturan jujur Pak Feisal di buku ini. Masihkah kita teguh berpegang pada nilai perjuangan itu? Lebih limabelas tahun lalu saya sudah menuliskan kegelisahan seperti ini. Saya merasa reformasi 1998 hanya berhasil menurunkan Pak Harto, tapi selanjutnya kita tetap melanjutkan kebiasaan beliau, termasuk penyimpangan yang menurut dugaan kita dilakukan beliau sehingga membuat kita marah dan memintanya lengser. Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini