Flipped Classroom, Model  Pembelajaran Daring untuk  Perguruan Tinggi

×

Flipped Classroom, Model  Pembelajaran Daring untuk  Perguruan Tinggi

Bagikan berita
Foto Flipped Classroom, Model  Pembelajaran Daring untuk  Perguruan Tinggi
Foto Flipped Classroom, Model  Pembelajaran Daring untuk  Perguruan Tinggi

Oleh Dr. Hastria Effendi, M.Farm., Apt., AIFO(Dosen Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Padang)

 Flipped classroom menjadi model pembelajaran paling bernilai di perguruan tinggi saat ini  (Yanxia Du’, 2018).

Flipped classroom yang diterjemahkan menjadi “kelas terbalik” adalah model pembelajaran yang kegiatan pembelajarannya kebalikan dari kelas biasa. Kegiatan pembelajaran pada kelas biasa dimulai di dalam kelas, di mana dosen memberikan atau mahasiswa memperoleh pengetahuan/materi yang dipelajari di kelas, kemudian pendalamannya dilakukan di rumah dalam bentuk tugas atau pekerjaan rumah (PR). Sementara, kegiatan pembelajaran flipped classroom, dimulai di rumah di mana mahasiswa sebelum kegiatan pembelajaran di dalam kelas, terlebih dahulu diberi tanggung jawab mempelajari materi melalui berbagai video, kemudian pendalamannya dilakukan di dalam kelas dalam bentuk diskusi, latihan dan atau kegiatan laboratorium.Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat saat ini memungkinkan dosen mengembangkan berbagai variasi model flipped classroom. Misalnya kegiatan pembelajaran di rumah sebelum di kelas bisa membaca buku teks, menonton program televisi, mendengarkan radio, dan melalui sumber-sumber lain secara online. Praktik-praktik seperti  ini bisa disebut sebagai  pembelajaran dalam jaringan atau pembelajaran daring.

Pembelajaran daring di perguruan tinggi menjadi salah satu model pembelajaran yang semakin penting di masa-masa mendatang. Hal ini dikarenakan selain TIK yang berkembang dengan begitu cepat, juga bisa membantu memecahkan banyak masalah dalam pemberian layanan pendidikan tinggi seperti masalah waktu, jarak dan kebutuhan belajar mahasiswa yang beragam. Di Indonesia pembelajaran daring memiliki arti penting yang khusus karena dikaitkan dengan ketersediaan, keterjangkauan, kepastian, kesetaraan dan kualitas pendidikan tinggi dalam upaya pemerintah meningkatkan partisipasi masyarakat untuk belajar di perguruan tinggi yang saat ini masih rendah.Sebagaimana diketahui bahwa salah satu masalah yang dihadapi Indonesia dalam bidang pendidikan tinggi saat ini adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat yang belajar di perguruan tinggi. Besarnya partisipasi masyarakat belajar di perguruan tinggi ini dapat dilihat dari Angka Partisipasi Kasar atau disingkat dengan APK Perguruan Tinggi. Angka partisipasi kasar adalah angka yang menunjukan perbandingan antara jumlah mahasiswa dengan penduduk yang berumur 19-24 tahun. Data tahun 2019 menunjukan bahwa APK masyarakat Indonesia yang belajar di perguruan tinggi baru pada angka 34%. Hal ini bermakna bahwa jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di perguruan tinggi baru sekitar 34% dibanding dengan jumlah penduduk yang berumur antara 19-24. APK 34% ini termasuk salah satu yang terendah di Asia Tenggara. Hal ini mengakibatkan daya saing Indonesia di dunia global rendah.

Pada tahun 2019 peringkat daya saing global Indonesia turun dari peringkat 45 menjadi peringkat 50. Sedangkan Singapura menempati peringkat pertama dengan menggeser Amerika Serikat. Negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia menempati posisi 27 dan Thailand di posisi 40. Kalau dikaitkan dengan APK perguruan tinggi, ketiga negara ASEAN ini jauh melampaui Indonesia. Mudah-mudahan data ini tidak menjelaskan sepenuhnya keadaan real hubungan APK perguruan tinggi dengan daya saing global suatu bangsa. Tapi seandainya memang seperti itu, bisa dibayangkan betapa sulitnya Indonesia untuk meningkatkan daya saing kalau peningkatan jumlah penduduk berpendidikan tinggi tidak berjalan secepat yang diharapkan.Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk  peningkatan akses pendidikan di perguruan tinggi. Upaya tersebut antara lain melalui pendirian perguruan tinggi baru, penegerian perguruan tinggi swasta, pemberian mandat untuk melaksanakan program studi baru, pendirian akademi komunitas, pemberian beasiswa, pemberlakuan uang kuliah yang lebih ramah sosial, dan pemberian bantuan operasional perguruan tinggi negeri. Namun demikian peningkatan APK pendidikan tinggi masih terasa lambat.

Pengalaman selama ini menunjukan bahwa perguruan tinggi masih melaksanakan pembelajaran secara konvensional, yaitu dengan model pembelajaran klasikal di mana penyelenggaraan pembelajaran mata kuliah hampir sepenuhnya diselenggarakan di kampus, kecuali untuk mata-mata kuliah pengalaman lapangan. Model pembelajaran ini belum cukup ampuh untuk meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, kepastian, kesetaraan dan kualitas pendidikan tinggi sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk belajar di perguruan tinggi. Ini terutama disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya seperti dosen, ruang kuliah, laboratorium, dan fasilitas lainnya yang dimilki oleh kampus-kampus konvensional untuk bisa menjalankan suatu program studi. Di samping itu, dalam penerimaan mahasiswa baru, kampus-kampus juga harus memperhatikan perbandingan banyaknya mahasiswa dengan sumberdaya yang dimiliki. Keadaan objektif seperti ini bisa diduga sebagai penyebab mengapa perguruan tinggi konvensional sangat lambat dalam meningkatkan APK pendidikan tinggi.Pengalaman Universitas Terbuka (UT) menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa pada program studi yang diselenggarakan dengan sistem pembelajaran daring dapat melayani mahasiswa yang jauh lebih banyak dibanding program studi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi konvensional dengan model pembelajaran klasikal. Data semester Juli-Desember 2019 menunjukkan jumlah mahasiswa UT yang terdaftar adalah 312.656 orang.  Universitas Negeri Padang, sebagai universitas terbesar di luar Pulau Jawa, pada waktu yang sama hanya memiliki mahasiswa sebanyak 43.400 orang.

Model Pembelajaran Flipped Classroom Berbasis Web (MPFCBW), sebuah model yang penulis kembangkan dalam penelitian disertasi, adalah sebuah model yang ditawarkan untuk menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan APK perguruan tinggi Indonesia yang masih rendah. Model ini mengkombinasikan pembelajaran klasikal yang sudah ada dengan pembelajaran online. Melalui penggabungan kedua model pembelajaran tersebut (online dan klasikal), pembelajaran MPFCBW dapat memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang ada pada masing-masing model pembelajaran tersebut, dan juga dapat menghilangkan kekurangan-kekurangnnya. Kelebihan-kelebihan pembelajaran klasikal seperti adanya bantuan belajar dari dosen yang bisa segera diperoleh, mendidik hidup bermasyarakat, keakraban dengan dosen bisa dipertahankan  dengan MPFCBW. Kelebihan dari pembelajaran online seperti dapat memecahkan kendala waktu dan tempat, bisa melayani mahasiswa yang jauh lebih banyak, tersedianya hubungan dan informasi global yang luas, pembelajaran berpusat pada mahasiswa dan kecepatan belajar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa juga bisa dipenuhi dengan MPFCBW. Selain itu, kelemahan pembelajaran klasikal seperti pembelajaran yang berpusat pada dosen, adanya kendala waktu dan tempat, serta terbatasnya jumlah mahasiswa yang bisa dilayani;  dan kelemahan pembelajaran online seperti memerlukan waktu yang lama untuk mempersiapkan, berpotensi membuat mahasiswa frustrasi dan membingungkan, dan koreksi yang tidak segera bisa diperoleh dapat dihindari dengan MPFCBW.Kegiatan pembelajaran dengan MPFCBW harus dimulai dengan  pembelajaran secara online di mana mahasiswa belajar dengan membaca teks, menonton video, mempelajari powerpoint, mempelajari sumber lainnya yang relevan, diskusi secara online, dan mempersiapkan pertanyaan untuk diskusi di dalam kelas. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari materi yang lebih mudah yang tidak perlu bantuan orang lain untuk mempelajarinya dan mempermudah kegiatan di dalam kelas. Berikutnya belajar dilakukan di kelas dalam bentuk presentasi, diskusi, latihan dan praktik di laboratorium dengan bimbingan dosen. Kegiatan ini terutama sekali bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa membentuk kemampuan yang lebih tinggi yang mungkin memerlukan bantuan orang lain, seperti dari dosen dan teman. Terakhir pembelajaran akan dilanjutkan di rumah untuk pendalaman lebih lanjut dalam bentuk tugas rumah yang diharapkan menghasilkan gagasan-gagasan baru berdasarkan apa yang sudah dipelajari sebelumnya.

MPFCBW telah diujicobakan selama delapan minggu dalam mata kuliah Biokmia Olahraga pada Jurusan Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan UNP. Uji coba dilakukan dengan  4 sesi (50%) pembelajaran secara online dan 4 sesi (50%) pembelajaran di dalam kelas. Supaya MPFCBW ini bisa meningkatkan rombongan belajar dan jumlah mahasiswa, pembelajaran online harus bersifat substitusi dan bukan sebagai suplemen kegiatan pembelajaran di kelas. Banyaknya rombongan belajar yang bisa ditingkatkan melalui MPFCBW ini tergantung kepada persentase pembelajaran online yang dialokasikan. Kalau alokasi untuk pembelajaran online adalah 50% seperti pada penelitian ini, maka rombongan belajar bisa ditingkatkan 100%. Semakin banyak alokasi diperuntukkan untuk pembelajaran online semakin banyak rombongan belajar bisa ditambah.Hasil uji coba MPFCBW menemukan bahwa model ini sangat praktis untuk dilaksanakan. Hal ini terbukti dari komentar mahasiswa yang menyatakan bahwa belajar dengan MPFCBW sangat bermanfaat, tidak sukar untuk diikuti, dibutuhkan, dan menarik.  Selain itu mahasiswa juga menyatakan bahwa belajar dengan MPFCBW membuat mereka lebih mudah dalam memahami materi mata kuliah karena metode yang digunakan memudahkan mereka belajar, memotivasi mereka untuk belajar lebih giat, dan sistem penilaian yang digunakan adil dan transparan. Lebih lanjut, MPFCBW ini juga telah dinilai oleh para ahli yang terdiri dari ahli perancang pembelajaran, media pembelajaran, materi, evaluasi, dan ahli bahasa.  Para ahli ini berpendapat baik dari sudut metodologi pengembangan, landasan teori yang digunakan, dan hasil yang dicapai sudah benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah sebuah penelitian ilmiah.

Hasil uji efektifitas MPFCBW juga menemukan bahwa model ini mampu mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan sebelumnya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar kelompok mahasiswa dengan MPFCBW sama baiknya dengan kelompok mahasiswa yang belajar dengan model pembelajaran klasikan (MPK). Bahkan dalam beberapa kasus model ini juga bisa meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Temuan ini menunjukan bahwa MPFCBW dapat dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran di perguruan tinggi di samping model pembelajaran yang sudah ada.Selain dari praktikalitas dan efektivitas yang sudah disampaikan di atas, MPFCBW juga memberikan manfaat lain, yaitu bisa melayani lebih banyak mahasiswa, tergantung kepada berapa banyak mahasiswa diberi tanggung jawab untuk belajar daring; bisa digunakan untuk  memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa yang karena berbagai sebab tidak bisa mengikuti pembelajaran  tatap muka di kampus; atau mengganti sebagian perkuliahan tatap muka yang juga karena berbagai sebab tidak bisa dilakukan di kampus, misalnya karena bencana alam atau ada wabah seperti covid-19 pada tahun 2020. Hal ini sudah dibuktikan bahwa sejak wabah covid-19, hampir seluruh pembelajaran di berbagai tingkat persekolahan termasuk di perguruan tinggi di seluruh dunia dilaksanakan melalui pembelajaran daring.

Berdasarkan uraian di atas, MPFCBW bisa digunakan sebagai salah satu model pembelajaran untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dalam meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, kepastian, kesetaraan dan kualitas pendidikan tinggi. Dengan kata lain, MPFCBW dapat meningkatkan APK perguruan tinggi yang saat ini masih rendah. Namun demikian, efektivitas model ini sangat tergantung pada perencanaan pembelajaran yang dibuat oleh dosen. Dalam hal ini dosen harus membuat perencanaan pembelajaran yang baik, yang dilengkapi dengan materi ajar yang menarik dan mudah dipahami mahasiswa. Selain itu, aspek lain yang lebih penting dari keterlaksanaan model ini adalah aspek aksesibilitas dan akseptabilitas. Aspek aksesibilitas menunjuk pada ketersediaan fasilitas TIK yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran daring. Sementara aspek akseptabiltas yaitu penerimaan atau kesediaan mahasiswa untuk belajar secara daring. Inilah, antara lain, kunci sukses dari pembelajaran daring. (*)Artikel ditulis berdasarkan hasil penelitian Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang dengan Ketua Promotor: Prof. Nurhizrah Gistituati, M.Ed., Ed. D., dan co-Promotor: Prof. Dr. Azwar Ananda M.A.; dengan para Penguji Internal: Prof. Dr. Ahmad Fauzan, M.Pd., M.Sc., dan Dr. Darmansyah, M.Pd., serta Penguji Eksternal dari Universitas Negeri Medan: Prof. Dr. Albinus, M.S.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini