Ilmu yang Sedikit, Menyesatkan

×

Ilmu yang Sedikit, Menyesatkan

Bagikan berita
Foto Ilmu yang Sedikit, Menyesatkan
Foto Ilmu yang Sedikit, Menyesatkan

Khairul JasmiJumat, beberapa tahun silam di batas kota Padang, pada sebuah pelataran masjid, saya simak dialog keras antara dua orang:

“Bapak tidak sah shalatnya karena pakai jeans.”“Memang kenapa Pak? Ini buatan Bandung”

“Tidak sah!”“Kenapa tidak?  Bapak jangan mengada-ada!”

Lalu kedua orang itu bertengkar hebat. Biarlah, sebab dimana-mana orang memang suka bertengkar. Di media sosial, pertengkaran mudah tersulut. Di sana banyak sampah, sama banyaknya dengan emosi. Telepon pintar, santiang dari orang.Pertengkaran soal agama lebih hebat lagi di dunia maya dan bahkan menikam ke jantung hati. Ini tentu saja mengkhawatirkan, sebab medsos dengan mazhabnya sendiri, mirip uang, punya ibukotanya sendiri pula. Jika kita membuka medsos atau beralih ke percakapan WAG di telepon genggam, maka banyak sekali ajaran-ajaran agama yang diposting. Mulai dari soal jin dan setan sampai bagaimana memuliakan orang tua. Tentu saja tips masuk surga. Lalu muncul hoaks tentang agama.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho, mencatat dua tahun terakhir hoaks di Indonesia masih jadi kendala yang cukup besar. Setiap bulan kurang lebih 60 sampai 100 hoaks  mengotori ruang publik digital kita. Yang paling masif itu masih politik dan agama. Ketiga, diikuti dengan topik kesehatan yang di dalamnya termasuk isu obat dan makanan," jelas Septiaji sebagaimana dikutip detikcom, Senin (21/10/2019). Kompas.com (5/6/2021)  melansir: Editor in Chief Direktorat Jenderal Bimas Kementerian Agama RI Ahmad Syamsuddin menilai betapa berbahayanya jika hoaks agama, kesehatan, dan politik saling berkelindan karena potensi daya rusaknya luar biasa. "Hoaks yang bertema agama tidak hanya menyerang akal, tetapi juga menancap di hati. Sangat sulit membujuk orang yang sudah termakan hoaks agama. Karenanya, upaya kolaborasi melawan hoaks sangat penting dilakukan.”Satu Paket.

Dalam Islam, iman dan amal saleh hadir dalam satu paket, sama seperti hati dan kalbu. Hari ini, iman lebih kuat, amal saleh terabaikan. Padahal amal saleh itu buahnya adalah,”sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”Itu urusan kitab-kitab sajalah. Urusan hari ini adalah, bagaimana meluapkan emosi di dunia yang dibantu internet itu. “Laknatullah” Itu sering terbaca jika ada satu peristiwa yang kemudian dimaknai sendiri. Memaknai satu peristiwa secara serampangan di medsos, membuat lelah.  Tak hanya datang dari awam, tapi juga dari pejabat pemerintah. Paling mutakhir pernyataan Menteri Agama soal kementerian agama, yang kemudian diluruskan kembali.

Karena lidah tak bertulang dan jempol lebih dulu masuk neraka, maka berhati-hatilah. Imbauan itu sudah teramat sering dilontarkan. Walau begitu, antara ustad dan ustad di medsos masih saja bertengkar. Ilmu-ilmu yang semestinya dibahas surau dan di ruang akademis muncul di youtube, sehingga menguncang pemahaman keagamaan khalayak yang rata-rata air. Bak burung, mengirai-ngirai bulu saja, membuat masalah yang beranak pinak.Mazhab youtube ini berkulindan dengan mazhab google, maka lengkaplah ilmu tanpa sanad. Siapa saja bisa memahaminya sedalam atau sedangkal akalnya. Ilmu yang ia dapat itu, dijinjingnya hilir mudik. Kata kawan saya, Bachtul, mengutip pepatah Inggris, “ilmu yang sedikit menyesatkan.”

Media apapun itu, sudah lama jadi ruang publik dan itu berbiaya.  Karena ruang publik, banyak yang buang sampah di sana. Onggoknya lebih tinggi dibanding hal-hal baik. Sampah intelektual itu, melengkapi pengkhianatan intelektualitas. Kadang keduanya bertemu dalam satu moment, maka mucullah fitnah dan “ajaran-ajaran baru.”Tapi, di sisi lain telepon genggam yang pintar itu, apapun yang diperbuat oleh si pemilik dengan pesan-pesannya adalah bisnis. Data menyebutkan, pulsa telepon seluler di Indonesia sudah menjadi kebutuhan pokok keempat, setelah sandang, pangan dan papan. Nilai bisnis operator seluler setahun Rp 100 triliun (detikcom 21 Desember 2021). Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya di tengah ekonomi yang semakin kusut masai di zaman wabah Covid-19 ini.

Dengan demikian, sebenarnya kita-kita ini adalah pasar yang empuk. Di pasar itulah silang-siur informasi menjadi komoditi. Di sanalah muncul kesadaran kaum terdidik, perlu literasi. Literasi medsos kita lemah, sama lemahnya dengan kesadaran soal “buanglah sampah pada tempatnya.”  Lemah memang, sebab rata-rata pendidikan kita kelas 2 SMP sebagai hasil survei  Indeks Pembangunan Kebudayaan Indonesia (2018).Rata-rata lama sekolah penduduk 25 tahun ke atas di Sumatera Barat sekitar 8,76 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP. Selisih 0,59 poin dari angka nasional (8,17 tahun) namun masih jauh dari target (15 tahun). Dalam posisi pendidikan semacam inilah, pelajaran agama secara individu dilakukan di media sosial. Jika kemudian hasilnya ada yang bagus, itu sudah pasti, sama pastinya dengan hasil yang tidak bagus. Yang tidak bagus itu berada pada kelompok yang gelisah. Ia gerah saja melihat keadaan, apalagi setelah pilpres.

Dan, saya meninggalkan orang yang bertengkar di pelataran masjid batas kota. Mobil saya melaju menuju Bukittinggi.“Tadi saya jamak,” kata kawan di sebelah saya.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini