In Memoriam Jakob Oetama, Pertemuan 90 Menit Bagi Nasib Pers Sumbar

×

In Memoriam Jakob Oetama, Pertemuan 90 Menit Bagi Nasib Pers Sumbar

Bagikan berita
Foto In Memoriam Jakob Oetama, Pertemuan 90 Menit Bagi Nasib Pers Sumbar
Foto In Memoriam Jakob Oetama, Pertemuan 90 Menit Bagi Nasib Pers Sumbar

Oleh: H Basril DjabarPers di Padang panas-panas dingin, karena Harian Tribun (Kompas Grup) akan membuka kantor di Padang. Beredar cerita harganya satu eksamplar seribu perak, bandingkan dengan koran lokal yang Rp3.500 dan Rp4.000 per eksamplar. Pasar sempit, pemain banyak, kini datang raksasa bernama Kompas.

Saya tak takut berhadapan dengan Kompas. Jakob Oetama (JO) adalah sahabat, karena itu mesti ditemui, jika ia sendiri bicara kepada saya bahwa Kompas Grup akan masuk Padang, maka saya baru percaya. Kemudian Pemred Singgalang Khairul Jasmi (KJ) kontak-kontak dengan wartawan Kompas di Jakarta, Yurnaldi.Waktu itu awal Januari 2010, saya dapat telepon dari Naldi tentang pesan saya untuk ditolong agar bisa bertemu dengan Jakob. Sebentar saja, tanggal pertemuan sudah didapat, maka saya pun terbang ke Jakarta dengan Bung KJ. Esoknya pada pukul 10.00 saya dan KJ ditunggu Yurnaldi dan terus ke lantai 6 ruang kerja pak JO di kantornya, Kompas Gramedia Jalan Pal Merah.

"Jangan lama-lama ya Pak, kondisi beliau kurang sehat," kata sekretaris JO kepad saya."Ya nanti tergantung Pak Jacoblah," jawab saya.

Kami masuk ke ruang kerja JO nan lega. Ia sambut kami dengan keramahan dan bahasa yang halus."Hai Bung gimana kabar," sapanya sembari mempersilahkan duduk. Di kalangan pers, panggilan Bung sudah sangat lazim.

"Baik Mas," jawab saya sembari memperkenalkan Bung KJ.Lalu, JO berkisah tentag Sumatera Barat kepada kami orang Sumatera Barat. Sudah lama ia kagum pada provinsi yang satu ini, kesannya begitu mendalam, terutama pada bapak-bapak bangsa yang urang awak. Sebelum dan sesudah Proklamasi, ia lapazkan nama-nama tokoh itu dengan fasih dan hampir tidak ada yang tercecer. Lalu ia bercerita pula tentang ekonomi Sumatera Barat.

Ceritanya tentang kebudayaan dan budayawan serta sastrawan Minangkabau malah lebih mendalam. Ia menghormati para sastrawan, seperti AA Navis. Tentu saja kami kagum atas pengetahuannya yang luas."Wak bali se galeh Pak JO ko lu," bisik saya sama KJ. Dan, 30 menit berlalu, saya mulai mambantangkan lapiak tentang kondisi media cetak saat ini di Padang. Saat kami bertemu itu, Mas JO masih menduduki posisi Ketua Dewan Pertimbangan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) dan saya wakilnya. Kantor SPS ada di gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih. Di sini juga berkantor PWI pusat.

"Bagaimana Singgalang Bung?" Dalam sepersekian detik, komunikasi isyarat saya dan KJ selesai, maka mulailah ""mission impossible" kami.Kemudian saya ceritakanlah bagaimana kondisi Singgalang dan pandangan saya atas kondisi rata-rata pers daerah. Hampir semuanya sudah berafiliasi dengan media-media besar nasional seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia dan Bisnis Indonesia. Yang non afiliasi tersisa tak seberapa seperti Singgalang dan Haluan di Padang, Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Suara Merdeka di Jateng dan lainnya. Kondisi ini menunjukkan, pers daerah sudah "sekarat" dan mendapat infus dari pers yang sehat. Yang non afiliasi mencoba bertahan dengan mencoba konvergensi, menghadirkan media lainnya dalam grup seperti Singgalang, dengan radio Sushi dan singgalangonline. Agak lama terdia, dan dalam waktu diam itu saya langsung ke pokok masalah.

"Apa benar Mas JO mau masuk Sumbar?"Tak ada jawaban, ia malah memutar kursinya agak serong, memencet bel dan sekretarisnya segera masuk. JO minta agar dihadirkan wakilnya, Mas Agung dan Koordinator Kompas wilayah Sumatera, Herman Darmo. Tak lama benar, kedua tokoh penting Kompas itupun masuk.

"Mas Agung dan Pak Herman, ini Bung Basril dan bung KJ dari Singgalang Padang datang pada kita dan barusan tanya saya apakah kompas mau masuk sumbar.Saya sengaja undang bung berdua untuk ikut pembicaraan ini dan mendengar langsung semuanya."Lalu saya lanjutkan uraian tentang kondisi pers di Padang. Saya paparkan tentang kesanggupan Singgalang dan media yang lain di Sumbar untuk sarana komunikasi sesuai missi media pers dalam mendukung pembangunan, pemerintahan dan bidang kemasyarakatan dalam arti yang luas baik ekonomi,sosial, seni dan kebudayaan.

"Nah begitulah kondisi kami di Sumbar, jadi saya minta Mas JO agar Kompas Grup jangan masuk Sumbar karena kue yang ada sangat kecil, tidak elok kalau Kompas ikut berebut pula, jelas akan mempersulit pers di Padang," kata saya. Oh ya, yang dimaksud dengan "masuk Padang" itu bukan Kompas dan Tribun beredar di Padang, tapi ada koran baru terbit di Padang, namanya Tribun. Tribun itu, milik Kompas, harga jualnya seribu perak, bahkan ada yang perai 3 bulan. Pers Padang tak sanggup melawan gaya bisnis seperti itu, akan sanggup kalau harga jualnya sama.Terjadi dialog antara kami berlima dan saya melihat Pak Herman Darmo keningnya berpeluh karena dia tidak mau terdorong bicara mengingat Mas JO selalu bicara kedekatan kami dan simpati serta hormatnya pada tokoh- tokoh Minangkabau. Mereka hanya bicara seperlunya tapi tidak menyinggung substansi pembicaraan.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini