Jakob Oetama, Nilai Humanis dan Tiga Titik Balik

×

Jakob Oetama, Nilai Humanis dan Tiga Titik Balik

Bagikan berita
Foto Jakob Oetama, Nilai Humanis dan Tiga Titik Balik
Foto Jakob Oetama, Nilai Humanis dan Tiga Titik Balik

JAKARTA – Kepergian Jakob Oetama menghadap Sang Pencipta menimbulkan kehilangan bagi insan pers. Jakob yang sebelumnya disebut sebagai living legend di dunia pers Indonesia banyak mengajarkan nilai-nilai integritas dan humanisme seorang jurnalis.Salah satu quote yang menarik dari Jakob adalah saat ia berpidato pada acara penerimaan gelar doktor honoris causa (HC) di bidang komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003 di Yogyakarta. Dalam pidato bertajuk ‘Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna’, Jakob menyatakan, berita bukan hanya sekadar informasi tentang fakta, tapi juga sekaligus menyajikan akan arti dan makna.

Bagi Jakob, jurnalistik adalah bagian hidupnya. Ia mendirikan Intisari pada 17 Agustus 1963 bersama sahabatnya Petrus Kanisius Ojong (P K Ojong), seorang pria keturunan yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kesamaan pandangan politik dan nilai kemanusiaan membuat keduanya sepakat melahirkan majalah berlandaskan kemanusiaan, yang berisi saripati ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.Dikutip dari kompas.com, Intisari dibuat sebagai pandangan politik keduanya yang menolak belenggu terhadap masuknya informasi dari luar. Intisari menjadi pendobrak politik isolasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno saat itu. Namun, bukan dengan tulisan yang menyerang. Intisari menyampaikan berita dan peristiwa dengan gaya human story, penuh nilai kemanusiaan.

Beberapa tahun setelah itu, saat situasi politik terpolarisasi begitu kuat dalam tiga kekuatan besar, yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat pada Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, kedua Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno dan memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan ketiga kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI.Ide kehadiran koran non-partai pun muncul atas permintaan Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani yang kemudian meminta tolong pada Frans Seda, Mantan Menteri Perkebunan. Duet Jakob Oetama dan PK Ojong dinilai tepat untuk mewujudkan penerbitan surat kabar non partai tersebut. Meski awalnya Jakob dan Ojong menolak permintaan itu karena alasan situasi politik, ekonomi, dan infratruktur yang tidak menunjang pada masa itu.

Namun, keduanya sepakat mendirikan Kompas dengan catatan, koran baru itu bukan corong partai, berdiri di atas semua golongan, bersifat umum, dan mencerminkan kemajemukan Indonesia. Dibentuklah Yayasan Bentara Rakyat. Bahkan, nama Bentara Rakyat sempat akan dijadikan sebagai nama surat kabar itu.Presiden Soekarno yang mendengar tentang rencana pendirikan surat kabar itu tidak keberatan. Malah Bung Karno sendiri yang memberi nama ‘Kompas’ yang terbit perdana pada  28 Juni 1965.

Jakob dan Ojong pun sama-sama membesarkan Kompas hingga PK Ojong berpulang terlebih dahulu pada 31 Mei 1980. Keduanya tetap menanamkan pentingnya nilai kemanusiaan dan etika jurnalistik yang tinggi dalam setiap laporan yang ditulis Kompas.Tiga Titik Balik

Jakob lahir di Desa Jowahan, sekitar 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada 27 September 1931. Ia sempat menjadi guru sebelum beralih profesi sebagai wartawan.Jakob merupakan putra pertama dari 13 bersaudara. Ayahnya bernama Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo, seorang pensiunan guru Sekolah Rakyat di Sleman, Yogyakarta dan ibunya bernama Margaretha Kartonah.

Cita-cita awal Jakob ternyata adalah menjadi pastor dan sempat mengikuti pendidikan seminari di Yogyakarta. Namun, Jakob keluar dan ingin menjadi guru seperti ayahnya. Karena itu, Jakob sempat menjadi guru di SMP Mardiyuwana Cipanas, Jawa Barat pada 1952 sampai 1953. Ia kemudian pindah ke Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung, Jakarta pada 1953-1954 dan pindah lagi ke SMP Van Lith di Gunung Sahari pada 1954-1956. Sekolah-sekolah tersebut di bawah asuhan para pastor Kongregasi Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau disebut Fransiskan.Sambil mengajar, Jakob kuliah B-1 Ilmu Sejarah. Ia kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Publisistik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Tahun 1956, Jakob mendapat pekerjaan sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur di Jakarta dan memutuskan berhenti mengajar. Itulah satu di antara tiga titik balik Jakob dalam hidupnya, yaitu ketika memutuskan berhenti sebagai guru dan fokus menggeluti dunia jurnalistik.Dalam buku ‘Syukur Tiada Akhir : Jejak Langkah Jakob Oetama’ (Kompas, 2011) yang ditulis oleh St Sutanto, titik balik kedua dalam hidupnya adalah pilihan berat untuk menandatangi surat pernyataan dan kesetiaan agar Harian Kompas bisa terbit kembali pada 6 Febrari 1978. Saat itu, Kompas pernah diberedel selama dua minggu sejak tanggal 21 Januari 1978. Pada 5 Februari, pemerintah menawarkan penandatanganan permintaan maaf dan kesetiaan dengan kop surat tertanggal 28 Januari 1978.

Sedangkan titik balik ketiga adalah ketika sahabatnya yang sama-sama merintis pendirian Kompas Gramedia berpulang terlebih dahulu pada 30 Mei 1980. Dari semula lebih bertanggung jawab menangani pengembangan sisi redaksional, ia juga bertanggung jawab dalam pengembangan ke sisi bisnis.Jakob Oetama wafat memasuki usia ke 89 tahun. Almarhum mengalami gangguan multi organ sejak dirawat tanggal 22 Agustus 2020. Direktur Komunikasi Kompas Gramedia, Rusdi Amral mengungkap, kepergian Jakob bukan hanya kehilangan bagi Kompas Gramedia, tapi dunia pers Indonesia. Sepanjang hidupnya, Jacob tak pernah meninggalkan identitas sebagai wartawan, dengan nilai kejujuran, integritas, dan humanisme. (rin)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini