Oleh Yoserizal
PADANG – Belakangan kekhawatiran warga terhadap virus corona tampak memudar di masyarakat. Padahal, bahayanya corona virus diseases 2019 (Covid-19) masih sama dengan sebelumnya.
Menariknya, meski abai dengan protokol kesehatan, seperti mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak (3M). Tapi masih ada juga yang takut ketika berinteraksi dengan mantan pasien “alumni” Covid-19.
Kondisi itu dirasakan oleh mantan pasien covid-19. Mereka mendapatkan sedikit ganjalan ketika berinteraksi dengan warga sekitarnya. Padahal, selagi waras, rasanya tidak ada orang yang berharap untuk sakit, apalagi sakit parah yang bisa merenggut jiwa.
Semua ingin sehat-sehat saja. Bisa bekerja, berkumpul dengan berkeluarga. Sesekali menikmati liburan. Bahagia.
Tapi bak kata pepatah, untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak. Kadang mereka yang sudah benar-benar memproteksi diri agar tidak sakit, malah sakit parah. Sementara mereka yang abai, malah sehat-sehat saja.
Itu pula yang terjadi pada Rona Meiga Fitria (37) di Padang. Ia yang tidak kemana-mana. Menghabiskan sebagian besar waktu mengaduk adonan kue di rumah dinyatakan positif COVID-19. Sementara banyak orang yang berseliweran di luar bahkan kadang tanpa masker, terlihat sehat-sehat saja.
Ia harus menghabiskan 13 hari dalam ruang isolasi di Rumah Sakit Unand. Berjuang melawan sesak nafas, tensi “drop”, pusing dan muntah-muntah. Semua itu harus dihadapi sendirian dalam kamar isolasi tak berjendela, tanpa sanak keluarga yang bisa mendampingi.
Sungguh, bila membayangkan kembali masa-masa itu ia tidak tahu bagaimana bisa kuat menghadapinya. Beruntung ia masih memiliki keluarga dan sahabat yang terus menyemangati melalui telepon dan video call, satu-satunya saluran komunikasi yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar.
Beruntung pula perawat dan dokter di RS Unand memberikan pelayanan yang sangat baik hingga ia serasa memiliki teman di ruang isolasi. Namun ternyata cobaan COVID-19 itu tidak berhenti begitu ia dinyatakan sembuh setelah dua kali tes swab PCR dengan hasil negatif.
Cobaan itu masih berlanjut di rumah, tempat yang ia kira paling nyaman di atas dunia setelah keluar dari RS. Tempat yang seharusnya ia bisa bercengkrama dengan “dunsanak” dan sahabat, mengobat sepi yang berkarat dalam isolasi.
Tiba-tiba ia merasa isolasi menjadi lebih riuh dibanding di rumah. Setidaknya saat isolasi, ponselnya tiap sebentar berdering. Banyak simpati yang mengalir menghangatkan hati. Tapi di rumah? Selain suami dan anak-anak, ia serasa hidup di dunia yang asing.
Orang-orang seperti mengelak. Menghindar. Anak-anak tetangga tiba-tiba berlari kencang seolah melihat setan saat melintasi rumahnya. Orang yang lewat serasa hanya melempar senyum basa-basi.
“Kita dijauhi, tapi saat beraktifitas mereka tak peduli dengan masker. Seolah-olah kita menjadi menakutkan seperti virus bagi mereka,”ungkapnya lirih, kemarin.
Apakah mereka mengira ia telah berubah menjadi sarang virus yang bisa menginfeksi siapa saja. Bahkan hanya dengan sekadar lewat di depan rumahnya?
Bagaimanapun ia merasa telah benar-benar sehat. Hasil swab PCR memastikan ia negatif COVID-19. Sederhananya virus itu tidak terdeteksi lagi dalam tubuhnya. Lalu apa yang akan ia tularkan pada orang-orang itu?
Kenyataan itu membuatnya benar-benar sedih. Apalagi, anaknya yang tertua, yang berusia sembilan tahun ternyata juga mendapatkan perlakuan yang sama dari teman-temannya.
Suatu kali saat pulang mengaji di TPA di masjid dekat rumah, sang anak bercerita tentang teman-temannya yang tidak lagi mau membawanya bermain. Anaknya disebut kena corona. Duh!
“Ternyata dampaknya tidak hanya saya, tapi juga anak-anak saya,”sebutnya.
Padahal saat ia dinyatakan positif, seluruh keluarga, suami dan anak-anaknya telah tes swab PCR dan dinyatakan negatif COVID-19. Beruntung guru ngajinya di masjid cukup paham arti negatif COVID-19 itu. Ia masih bisa ikut mengaji saban sore, meski tidak berkawan lagi.
Beruntung pula sang anak sepertinya tidak terlalu mempersoalkan semua itu. Ia tetap pergi mengaji setiap hari. Ia tetap terlihat ceria saat bermain dengan adiknya. Teman satu-satunya saat ini.
Stigma negatif yang terlanjur melekat itu seolah menjadi beban bagi Rona untuk bangkit dari keterpurukan dan memulai kembali segalanya dari bawah.
Selama isolasi di RS hingga benar-benar pulih setelah istirahat di rumah, usaha kuenya otomatis terhenti. Memulai kembali setelah hampir sebulan lebih vakum, bukan perkara mudah. Namun ia optimistis, dengan kerja keras semua bisa diatasi.
Ibu dua anak ini ingin membuktikan bahwa “alumni” COVID-19 bukan orang yang harus ditakuti, tetapi orang yang patut dihargai dengan semua kerja kerasnya.
Stigma negatif terhadap “alumni” COVID-19 dan keluarganya itu ternyata tidak hanya dirasakan Rona. Teman satu ruangannya saat isolasi asal Agam, Era (43) juga merasakan kondisi yang sama.
Lingkungan sekitar tidak lagi sama seperti saat sebelum ia dinyatakan positif COVID-19. Tidak banyak lagi teman yang datang bertamu. Tidak ada simpati.
“Padahal kita yang seharusnya takut dengan mereka. Kita sudah tes swab PCR dan pasti negatif COVID-19. Mereka kan belum tentu bagaimana kondisinya? Jangan-jangan malah OTG. Orang positif COVID-19 tapi tanpa gejala?”- Begitu ia terus memotivasi diri.
Ia kemudian jadi cuek dengan kondisi lingkungan. Bodo amat. Asal suami dan anak-anak masih sayang, yang lain ia jadi tidak peduli lagi.
Ia tetap saja melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Mau orang menghindar, mau orang menjauh, ia tidak peduli. Asalkan tidak mengganggu diri dan keluarganya, itu sudah cukup.
Namun bila ada yang terang-terangan menuding jelek diri dan keluarganya, ia akan dengan senang hati memberi ceramah “2 SKS”. Sekadar memberikan pemahaman pada orang-orang yang tak tahu, tapi sok tahu itu bahwa pasien COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh, tidak bisa menularkan virus. Tidak perlu ditakuti.
Rona dan Era hanyalah dua orang yang merasakan stigma buruk “alumni” COVID-19 itu. Hendaknya mereka harus dikuatkan dengan taat melaksanakan protokol kesehatan (Prokes).
Juru Bicara COVID-19 Sumbar, Jasman mengakui pemahaman masyarakat terhadap coronavirus masih belum merata. Masih cukup banyak masyarakat yang salah memahami cara penyebaran, antisipasi hingga perlakuan pada pasien positif dan keluarganya. Banyak juga yang abai dengan bahaya COVID-19. Bahkan ada pula yang tidak percaya.
Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan lain menurutnya telah berupaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa COVID-19 berbahaya, tetapi bukanlah aib.
Masyarakat seharusnya memberikan dukungan pada keluarga yang salah satu anggotanya positif COVID-19, bukannya malah menjauhi atau malah memberikan stigma buruk. Dukungan dari masyarakat itu akan mendorong pasien positif COVID-19, terutama yang menjalani isolasi mandiri di rumah untuk cepat pulih kembali.
Dari beberapa orang pasien yang berhasil sembuh dari COVID-19, selain obat dan vitamin, menjaga pikiran tetap positif juga menjadi salah satu faktor untuk mempercepat kesembuhan.
Dukungan dari lingkungan sekitar tentu akan bisa menjaga pikiran positif dari pasien tersebut. Sebaliknya jika stigma jelek dilekatkan, tetangga menghindar bahkan menyisihkan, psikologi pasien bisa tertekan hingga memperburuk kondisi.
Namun yang terpenting dari semua itu menurut Jasman adalah menjaga diri dan keluarga dari kemungkinan terpapar COVID-19. Gunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak.
“Sekarang mari menguatkan dan mengingatkan pentingnya protokol kesehatan,”harap Jasman.(*)
Komentar