Khairul Jasmi
Nah kan, akhirnya ribut. Mencukil duri dengan alu. Duh Mas Menteri. Tapi, duh juga, keributan semacam ini tak perlu, jika tak direkam video saat orang tua murid konsultasi ke sekolah. Ribut, sebab orang beragama lain, pakai jilbab pula. Salah sorong diperdiarkan.
Jilbab sejak istri Nabi, Aisyah memakainya, juntainya sampai ke zaman kita-kita ini. Zaman dimana, google jadi guru, guru kehabisan bahan. Zaman ketika Hp pintar, santiang dari orang. Era tatkala sumpah serapah yang dulu tabu itu, kini lepas dari kandang.
Pangkal masalah di Indonesia sangat banyak. Diantaranya kata-kata. Juga video. Negara kita memang sedang terperosok pada keributan. Ada-ada saja bahannya. Sesama rakyat atau dengan pemerintah, heboh saja. Satu sama lain, tak mau dianggap salah. Kadang bak anak-anak main kelereng, sedang asik main, tetiba bacakak saja.
SKB 3 Menteri jahat, kata tokoh dan masyarakat. SKB 3 Menteri tak ada yang salah, kata yang lain. Kepala mulai panas dan hati tak tenang. Lalu curahan hati, tambatan jiwa yang bernama Medsos jadi pelabuhan. Yang tak bisa diucapkan langsung, sekarang bisa ditulis, pas mewakili emosi masing-masing. Lambat laun, adab tinggal dalam kitab.
Kita-kita ini, yang kara-kara ini, punya pengetahuan ketatanegaraan dan aturan-aturan lain, sedangkal air di atas piring. Punya pengetahuan agama, setipis selimut strip-strip putih-biru. Walau mantun, kalau berdebat, jangan disebut, santiang-santiang. Terbukti ketika kasus jilbab anak SMK 2 Padang itu.
Ketika hal itu terjadi, muncul kerisauan. “Rusak nama kita gegara rekam-rekam video itu.” Nama Minangkabau, Sumatera Barat nan harum semerbak ini, rusak. Ini, yang sering dibangga-banggakan. Nama harum. Nama itu ternama kemana-mana karena ulama dan tokoh cerdik pandai. Kita tinggal merasa bangga saja, tanpa peduli kenapa sekarang tak begitu lagi. Ada sih, sekadar dibaca-baca saja. Risau-risau saja.
Jika bobot Minangkabau itu disandang sampai sekarang, maka kita sebenarnya “tempat bertanya” bagi Indonesia, bukan pangkal masalah. Tapi, sudahlah, dimana ketibanya sajalah lagi. Banyak benar yang akan dipikirkan, Jokowi, Anies, Sandiaga, Prabowo, jalan tol, Mahyeldi, politik saja semua. Ini Covid belum selesai-selesai juga.
Dipunta saja lagi, digulung: pening kita. Nah, soal jilbab? Selesai, sudahlah, kata imbauan. Kata yang lain? Tolak. Yang berjilbab, bagus dong. Rambut perempuan Islam adalah aurat.
Makin tahulah kita sekarang, hidup berbangsa bernegara itu indah, damai dan nyaman. Sebaliknya bisa jadi masalah yang ruwet. Sebagai suku-suku bangsa kita masak di batang. Sebagai Indonesia masak dikarbit.
Dan jilbab itu, berkawan dengan jarum pentul. Keindahan dan kecantikan itu, lahir karena natural, tapi perlu hal lain. Pentul dan bedak. Pentul itu tajam, salah tusuk, tangan bisa berdarah.
Komentar