Saya tidak tahu pasti apa terjemahan kata ini ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Minangkabau ada yang mirip, seperti “kurenah, parangai, taratik, kabiasaan” dan lainnya. Mungkin saja kecenderungan bertingkat laku.
Tulisan ini menyangkut seorang tokoh walaupun bukan mengenai dirinya, almarhum pak Rustam Anwar.
Bersama ayahnya, Anwar Sutan Saidi ( 1910-1976 pengusaha dan pejuang kemerdekaan di Sumbar), mendirikan penerbit Nusantara di Bukittinggi yang menerbitkan buku-buku sekolah dan buku-buku sastra, di antaranya buku AA Navis” Robohnya Surau Kami”.
Bersama ayahnya juga Rustam Anwar menghidupkan kembali Tenun Padang Asli, yang berhenti karena perjuangan kemerdekaan (lokasinya di sebelah kanan Taman Budaya, sekarang telah berubah menjadi toko-toko), dan mendirikan hotel Minang Internasional di Bukittinggi. Pada masanya, sekitar tahun 50 – 80-an Rustam Anwar termasuk tokoh yang didengar di Padang.
Suatu sore sekitar 1977, menjelang peralihan gubernur Harun Zein ke Azwar Anas, dengan vespa putih, saya lewat di muka Hotel Minang (bekas bangunan Tenun Padang). Waktu itu lebih populer disebut Taman Melati. Saya lihat pak Rustam Anwar duduk di kursi di pekarangan luar hotel. Saya singgah menyatroni beliau. Saya kenal tanggung dengan beliau, sering bicara politik juga.
Sesudah ngobrol pembuka, kami diskusi mengenai pergantian gubernur Harun Zain ke Azwar Anas.
Akhirnya saya tanya pendapatnya mengenai pak Azwar Anas. Sebagaimana biasa dalam omongan politik lapau kita, pemimpin itu “dituahi dicikaraui”, istilah Minangkabau yang dipopulerkan oleh almarhum Prof Imran Manan dalam bukunya mengenai kepemimpinan di Minangkabau.
Pada waktu itu sudah berkembang bermacam komentar mengenai pak Harun, positif atau negatif.
Kadang komentar lapau tentang pemimpin itu mencatat beberapa kesalahan. Kalau tidak tampak kesalahan yang menonjol, maka dicari-cari.
Misalnya kita senang dengan bapak itu, tapi kita sayangkan istrinya, sayangkan temannya kok itu ya. Tidak jarang juga orang gagal ke puncak karena komen-komen begini.
Sesudah ngomong hilir mudik, Pak Rustam yang mengenal saya sebagai dosen Sejarah di IKIP Padang, mulai berkomentar mengenai pertanyaan saya. Pada kenyataannya, menurutnya, yang selalu terjadi adalah tiga hal, pertama menjabat dengan cita-cita bersih untuk kepentingan orang banyak karena itu melakukan pembersihan. Kedua tidak peduli, dia hanya akan membawa misi sendiri dan yang ketiga hanyut dalam kondisi yang tidak benar tersebut.
Orang yang berkemimpinan kuat akan menjalankan misi yang semula dicanangkannya.
Kalau ada yang tidak benar diluruskannya, yang lemah lamban diperkuatnya, kalau perlu diganti. Sebenarnya tentu banyak faktor yang berpengaruh, tapi kepribadian mungkin lebih kuat pengaruhnya. Kepribadian dipengaruhi keluarga dan kondisi asal.
Kata beliau, orang yang berasal dari keluarga berada, tidak akan mencari kaya dengan jabatannya, orang yang berasal dari keluarga berpangkat tidak akan ongeh dengan pangkatnya. Biasa-biasa saja.
Beliau tamsilkan dengan dunia hewan. Kambing yang biasa dikurung sampai sore lalu dilepas ke kebun, melalah semua yang dilewatinya, dan celakanya tanaman yang sudah dirundehan kambing akan mati merana.
Seperti kambing lepas ke kebun kata orang. Sapi yang biasa makan kenyang di kandang tidak begitu. Pokoknya ada basobasinya. Berbeda dengan gajah, walaupun berbadan besar dan perlu banyak makanan, gajah lebih sabar.
Walaupun tidak mungkin seluruhnya begitu, mungkin dengan cara ini kita dapat memahami kenyataan sekarang. Ada orang yang teguh melakukan perbaikan dan berhasil. Ada yang tergoda dengan kesempatan yang ada, lalu melepas semua keinginannya untuk jadi kaya atau jadi orang berpangkat. Ada yang mengakhiri kepemimpinannya biasa-biasa saja, kembali ke masyarakat jadi warga biasa. Ada yang mengakhiri karirnya di penjara karena korupsi.
Ada yang berasal dari keluarga orang terkemuka, ketika menjadi sesuatu dia tidak lagak kuasa, tidak over acting menjurus ke otoriter. Orang yang berasal dari keluarga berada tidak rakus sampai harus berakhir di penjara. Lalu bagaimana dengan pak Azwar Anas, sela saya. ” ya, nilai sendiri saja”, kata uda Rustam.
Namun gejala akhir-akhir ini agak beda. Sudah kaya pun masih rebutan jadi pemimpin agar lebih tambah kaya dan gaya.
Mungkin itu bedanya tokoh-tokoh pemimpin kita masa lalu. Pada umumnya mereka dari keluarga berada dan berpangkat.
Sehingga kita dengar Haji Agus Salim sebagai menteri rela tinggal di rumah kontrakan, Moh Natsir rela berbaju sobek di bahu.
Ada yang berakhir di tahanan, tapi bukan karena korupsi/penyelewengan, tapi karena mempertahankan ideologi, menegakkan prinsip.
Seperti Syahrir yang harus meninggal jauh dari negara yang dia ikut perjuangkan, di Zurich, Swiss, dalam status sebagai tahanan politik, pada tahun 1966.(**)