Prof Azmi
Saya termotivasi sesudah membaca tulisan sdr Andrinov Chaniago “Tak kenal maka tak suka Borneo “. Sdr Andrinov bercerita tentang Kalimantan yang dilihatnya dan prospek Kalimantan sesudah IKN pindah ke kota baru Nusantara. Tulisan ini melengkapi tulisan Andrinov yang cukup menarik itu. Tidak lagi memasalahkan IKN yang sudah ketok palu. Ungkapan tak kenal maka tak suka atau tak kenal maka tak sayang adalah ungkapan populer. Memang begitulah kebiasaan kita. Sesudah kenal maka makin lama bisa makin sayang tapi dapat juga makin jauh.
Menurut saya mengenai Kalimantan tidak seperti itu benar. Saya dan semua orang yang pernah sekolah dari SR/sekarang SD sudah belajar tentang Kalimantan dari ilmubumi/geografi Indonesia dan sejarah Indonesia. Kita belajar kerajaan tertua ada di Kutai, lokasi kota Nusantara sekarang sekitar 400 – 1500 masehi. Terkenal dengan nama kerajaan Kutai Martadipura dengan raja terkenal Mulawarman, sekarang nama Universitas di Samarinda. Kemudian diteruskan oleh kerajaan Kutai Islam yang terkenal sekarang dengan Kutai Kartanegara yang sesudah Proklamasi bergabung ke dalam Republik Indonesia.
Di Banjarmasin sekitar 1600 berdiri pula kerajaan Banjarmasin dan di Serawak kerajaan Brunei (sekarang bergabung ke Malaysia). Ada pula kerajaan Sambas di Kalbar. Jadi Kalimantan itu sudah tua catatan sejarahnya. Sudah tercakup dalam Kerajaan Sriwijaya dan Mojopahit.
Saya termasuk beruntung dapat mengunjungi beberapa kota di Kalimantan seperti Pontianak, Banjarmasin, Palangka Raya dan Balikpapan dan Samarinda dalam kunjungan saya ke kota tersebut, baik sebagai anggota Badan Akreditasi PT, atau tugas lain dari Dikti. Semua terjadi antara 1990-2010. Tidak banyak memang, tapi mencakup Kalimantan Barat, Tengah, Selatan dan Timur. Dan sepintas pula jadi tamu universitas-universitas yang ada di sana.
Di Pontianak saya sempat ke Singkawang, San Kew Jong dalam bahasa Hakka/Tionghoa, kota yang penduduknya kebanyakan orang Tionghoa dan sekarang walikotanya juga turunan Tionghoa Tjhai Chui Mie. Saya dibawa ke Singkawang oleh keluarga dekat yang bekerja di Bapindo. Dari dia saya dapat cerita bahwa mesjid besar di Singkawang dirancang oleh guru guru SMK lulusan FKT/Fakultas Teknik UNP yang pada waktu itu Dandim-nya juga berasal dari Padang.
Di Palangka Raya saya sempat dibawa tamasya sungai Kahayan, meliuk liuk menghindari kayu gelondongan yang dihanyutkan di sungai, singgah di sebuah perkampungan untuk ditepung tawari. Di Banjarmasin saya dibawa makan lontong pagi di atas perahu di sungai Barito dan berkunjung ke Banjar Baru, kota yang terkenal sebagai kota intan. Di Samarinda saya dibawa makan ikan patin sebesar piring ke Tenggarong. Perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda melintasi bukit Suharto, yang konon pernah jadi proyek Taman Hutan Raya yang hilang saja beritanya, dan sekarang akan menjadi lokasi IKN. Hampir di setiap kota yang dikunjungi ada orang kita, malah ada yang kawin dengan penduduk asli. Tapi kebanyakan mencari kerja kesana dan kalau sudah pensiun pulang kampung atau pindah dari sana.
Saya tidak berkomentar tentang kemungkinan pariwisata di sana, karena sesudah berkunjung kesana saya makin yakin bahwa Sumbar memang indah. Hanya ke Nusatenggara Timur dan Timor saya belum pernah, karena sewaktu ditawari ke sana saya merasa tidak tertarik.
Sebagai orang yang belajar sejarah dan bahkan pernah menjadi guru sejarah saya tertarik dengan pertanyaan mengapa selama ini Kalimantan tidak bertumbuh secepat Sumatera atau Sulawesi, apalagi tidak secepat Jawa, walaupun pulau ini termasuk menjadi pulau terluas di Indonesia? Dulu terjawab dengan pernyataan bahwa Kalimantan tidak sesubur Jawa, Sumatera atau Sulawesi sehingga orang tidak banyak tinggal di sana. Di zaman Orba dicoba membuat proyek sejuta hektare disana, tapi hilang begitu saja, gagal. Baru-baru ini ada pula proyek yang diserahkan mengelolanya pada departemen pertahanan, tapi tidak terdengar lagi kemajuannya menjadi lumbung pangan. Untuk jadi pusat perdagangan pun tidak pula. Walaupun pernah jadi singgahan jalan dagang dari Tiongkok ke Jawa, tapi tidak jadi penting. Malah Makassar lebih maju karena terletak di antara Jawa dan Maluku yang dulu penting karena rempah-rempahnya dan penduduk dapat hidup juga dari penghasilan padi.
Singkawang yang pada abad kesembilan belas tumbuh sebagai penghasil emas tidak juga berkembang karena emasnya cepat habis dan petambang yang berasal dari orang Hakka beralih jadi petani miskin.
Dalam lingkup yang lebih kecil kita dapat membandingkan dan melihat mengapa Minangkabau berkembang sekitar gunung Merapi yang subur, walaupun dalam catatan sejarah Dharmasraya diduga lebih awal dengan ditemukannya patung Amogapasha disana sekitar awal abad 13. Begitulah di Sumbar daerah sekeliling Merapi menjadi ramai, Dharmasraya, Pasaman dan Pessel dulu menjadi tertinggal. Ketika daerah tersebut dicoba dikembangkan dengan mendatangkan transmigran, banyak dari transmigran yang lari. Sekarang baru ketiga daerah itu bertumbuh karena ada sumber kehidupan baru, batubara dan sawit.
Begitulah pada umumnya peradaban tertua bermula di daerah yang subur seperti Sungai Nil, Sungai Euphrat dan Tigris, sungai Huang Ho, sungai Musi, bengawan Solo dan Sungai Ciliwung. Semua letaknya strategis dan didukung oleh sumber pangan yang kuat.
Sumber kehidupan baru seperti sawit, tambang batu bara dan barang galian lainnya seperti minyak tanah tergantung kepada keberlanjutannya. Seberapa lama sawit dapat dipertahankan. Barang galian pasti ada batasnya, Sawahlunto yang dulunya pusat tambang batubara mulai terhenti. Suatu masa yang pasti akan dialami di Kalimantan, batubara akan habis digali, sawit belum diketahui daya tahannya, entah kalau satu saat ada lagi temuan baru.
Dengan demikian cerita Kalimantan pasti mengikuti ini, harus ada temuan/usaha baru agar dapat berkembang. Pemindahan IKN harus didukung oleh usaha lain misalnya industrialisasi. Namun industrialisasi tentu memerlukan dukungan lain pula. Sekarang direncanakan proyek hydroelectric di Kaltara yang tentu tergantung dengan ketersediaan air yang tergantung pula dari pelestarian hutan. Kalau hutan dibabat pula untuk perluasan kebun sawit maka habislah cerita.
Pertanyaannya seberapa siapkah kita menghadapi itu? Pengembangan Kalimantan harus dengan cara baru, tidak cukup dengan memindahkan IKN ke sana. Cara biasa jelas tidak bisa, Kalimantan sudah punya sejarah hampir dua ribu tahun, tetapi tetap biasa² saja. Selama ini ternyata temuan minyak dan batubara tidak banyak menahan orang disana, banyak yang cari kerja kesana namun pensiun pulang kembali ke daerah asalnya. Pusat ekonomi, seperti dikemukakan oleh ketua DPRD DKI Prasetio Edi tetap Jakarta. Bukan berlaku bagi orang Minangkabau saja, pedagang bakso dari Jawa saja yang ada di Sumbar mau pulang kampung!!.