Kapal cepat Aurelia 2 bergerak dari Pelabuhan Punggur, Batam. Dengan perkasa melaju menggergaji laut menuju Pelabuhan Laut Jaya, Tanjung Pinang di Pulau Bintan. Muka laut bersibak, buihnya yang memutih berderai-derai seperti mencampakkan semua beban.
Laut di Selat Batam ini cukup tenang pada Selasa (15/11) pagi. Kapten kapal menyadarkan tangan kanannya pada jendela yang terbuka.
Ia santai saja. Derau mesin kapal terdengar teratur. Saya seumur hidup, baru kali ini ke Tanjung Pinang, tempat Laksamana Raja di Laut yang bertahta di Bukit Batu seperti didendangkan Iyet Bustami itu.
Di Laut jinak ini jika dibentangkan jembatan Batam-Bintan maka panjangnya 14 Km. Dengan kapal cepat ini diperlukan waktu 45 menit sampai di Pelabuhan Laut Jaya, Tanjung Pinang. Semula disebut lebih baik duduk di belakang ketimbang di depan, sebab kapal akan mengangguk-angguk kuat. Saya lihat tak begitu benar.
Kapal terus menusuk laut dan diperjalanan saya melihat di kejauhan rumah di laut. Saya ingin melihat Suku Kelana, yang berkelana dari pulau ke pulau membangun kehidupan di pulau-pulau kecil di Kepri. Di provinsi ini tercatat 2.408 pulau, terbentang sampai ke tepi-tepi negara tetangga.
Suku Kelana ahli rasi bintang, ahli cuaca dan musim itu, membina rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka di laut. Suku Laut ini, adalah kisah panjang tentang hidup yang perkasa, senyum natural dan rasa kantuk yang tak panjang.
Mereka juga disebut Orang Selat pemilik sah laut bersejarah ini. Pencatat debur ombak dalam sejarah hidup mereka.