Oleh Haryani/ Mahasiswa Doktoral Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang
PERIBAHASA Minang dengan peringatan ‘kok takuik dilamun ombak, jan barumah di tapi pantai’. Yang artinya kalau takut terkena ombak jangan membuat rumah ditepi pantai, sehingga harus siap menghadapi risiko sebuah perbuatan. Falsafah ‘Alam Takambang Jadikan Guru’ adalah agar selalu belajar dari tanda-tanda alam dan kejadiannya.
Tulisan ini akan menjelaskan tentang bagaimana sebuah nagari pesisir di Sumatera Barat yang terancam abrasi pantai, mengelola lingkungannya sehingga dapat bertahan dan jauh dari bencana abrasai pantai. Walaupun jika dilihat dari karakteristik pantai terbuka pada umumnya, mustahil dapat bertahan sehingga dapat mengurangi tingkat ancaman abrasi pantai. Karakteristik abrasi pantai pesisir Sumbar Telah terjadi abrasi pantai di Balai Naras Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman Mei 2020 sejauh lebih kurang 20 meter sehingga menyebabkan jarak rumah dengan bibir pantai kurang 6 meter lagi. Dua buah batu krip yang dibangun di pantai tersebut kini sudah berada ditengah laut. Lokasi permukiman ini dulu adalah hasil dari ‘pasia mahelo’ (tanah tumbuh/akresi pantai). (Sumber: Antaranews.com 6 Mei 2020).
Pada 2003 – 2016 di pesisir Provinsi Sumatera Barat telah terjadi abrasi pantai sehingga menyebabkan luas pantai berkurang dan pada sisi lain terjadi akresi, luas pantai bertambah (pasia mahelo). Dalam kurun waktu 13 tahun pengamatan terjadi di 32 titik abrasi dan akresi yang tersebar di enam Kabupaten dan Kota pesisir. Yaitu abrasi seluas 732.69 ha dan akresi seluas 55,4 ha. Abrasi menyebabkan berkurangnya daratan Sumbar yakni rata-rata 56,3 Ha/tahun, sedangkan penambahan daratan hanya 4,26 Ha/tahun. Angka ini membuktikan tidak signifikan antara luas abrasi pantai dan akresi pantai. Selama 13 tahun pengamatan tersebut luas abrasi yang terjadi di Kota Pariaman adalah luas terkecil 2,03 ha dan akresi seluas 4,84 ha jika dibanding dengan wilayah pesisir lainnya di Sumatera Barat disamping memang memiliki garis pantai yang lebih pendek dibanding wilayah pesisir lainnya.
Salah satu kota pesisir di Provinsi Sumatera Barat adalah Kota Pariaman, dimana karakteristik abrasi pantai 15 tahun menyebabkan berkurangnya daratan yaitu rata-rata 13,18 ha/tahun, sedangkan
penambahan daratan 19,03 ha/tahun. Abrasi tersebar di 13 titik dengan luas 197,65 ha tersebar di 8 desa/kelurahan dan 11 titik akresi dengan luas 285,38 ha tersebar di 9 desa/kelurahan. Faktor fisik yang paling mempengaruhi abrasi dan akresi pantai Kota Pariaman yaitu faktor arus, bentuk garis pantai, tipologi pantai dan tutupan vegetasi sedangkan yang cukup mempengaruhi, faktor gelombang. Hasil pengolahan Arc Gis 2018, kelas ancaman abrasi pantai dengan parameter tinggi gelombang, bentuk garis pantai, arus, tutupan vegetasi dan tipologi pantai maka Kota Pariaman termasuk kedalam kelas ancaman abrasi kelas Sedang seluas 5.411 ha dan kelas ancaman Tinggi 1.302 ha.
Terjadi ‘pasia takikih’ di Kota Pariaman sejauh rentang 4,53 m s/d 109,24 m sedangkan ‘pasia mahelo’ terjadi sejauh rentang 8,54 m s/d 41,06 m. ‘Pasia takikih’ terjauh terdapat di titik 22 Kelurahan Taluak yaitu sejauh 109,24 m atau rata-rata 7,28 m/tahun dan terdekat di titik 12 Kelurahan Lohong sejauh 4,53 m. ‘Pasia mahelo’ terjauh terdapat di titik 21 Kelurahan Naras Hilir yaitu sejauh 41,06 m atau rata-rata 2,74 m/tahun. Panjang pantai Kota Pariaman yang mengalami ‘pasia takikih’ adalah sepanjang 0,28 km dan panjang pantai yang mengalami ‘pasia mahelo’ sepanjang 0,47 km.
Pada Desa Manggung, Desa Apar dan Desa Ampalu yang merupakan desa pesisir Kota Pariaman yang termasuk kedalam Kenagarian Manggung tidak mengalami ‘pasia takikih’ tetapi mengalami ‘pasia mahelo’ saja pada hal jika dilihat karakteristik fisik pantainya adalah sama sehingga seharusnya mengalami ‘pasia takikih’.
Pertanyaan besar yang perlu dijawab mengapa hal itu terjadi. Walaupun di 3 desa pesisir Kenagarian Manggung tersebut tidak terjadi ‘pasia takikih’ namun dalam kajian tingkat ancaman ‘pasia takikih’ dalam kategori Sedang terdapat di Desa Manggung sementara di Desa Apar tingkat ancaman abrasi kategori Sedang sampai dengan Tinggi. Terdapat wilayah yang terancam ‘pasia takikih’ kategori Sedang di Desa Manggung seluas 9,3642 ha sedangkan di Desa Apar tingkat ancaman sedang seluas 15,3888 ha dan tingkat ancaman tinggi seluas 0,1535 ha.
Perkembangan Wilayah Pesisir dan Pengetahuan Anak Nagari
Wilayah pesisir Kota Pariaman yang tersebar di 14 kelurahan memiliki luas 14.56 km2 (1.456,474 ha), tersebar di Kecamatan Pariaman Utara, Kecamatan Pariaman Tengah dan Kecamatan Pariaman Selatan.
Wilayah terbangun dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan mengingat Kota Pariaman merupakan kota pesisir yang cukup pesat pertumbuhan penduduknya. Dilihat dari laju pertumbuhan wilayah terbangun dari tiga kecamatan pesisir, maka Kecamatan Pariaman Tengah memiliki pertumbuhan yang sangat tinggi dalam kurun waktu 13 tahun pengamatan yaitu 70,47 persen wilayah sudah terbangun atau rata-rata pertumbuhan wilayah terbangun 5,4 persen pertahun.
Hal ini disebabkan Kecamatan Pariaman Utara termasuk pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di Kota Pariaman. Berbeda dengan Kecamatan Pariaman Utara dan Kecamatan Pariaman Selatan dimana laju pertumbuhan wilayah terbangun mengalami penurunan dimana periode 2003-2007 pertumbuhan luas wilayah terbangun Kecamatan Pariaman Selatan rata-rata 9,62 ha/th, namun periode 2007-2016 turun menjadi 8,24 ha/th.
Begitupun di Kecamatan Pariaman Utara di mana periode 2003-2007 pertumbuhan luas wilayah terbangun 10,38 ha/th, mengalami penurunan pada periode 2007-2016 menjadi 8,58 ha/th.
Dilihat dari daerah asal penduduk (anak nagai) pesisir Kecamatan Pariaman Tengah, sebanyak 80 persen penduduk merupakan asli Kota Pariaman begitupun pesisir Kecamatan Pariaman Selatan sebesar 73,02 persen merupakan masyarakat asli Pariaman.
Sedangkan di Kecamatan Pariaman Utara antara jumlah penduduk asli dengan penduduk pendatang hampir sama dimana penduduk pendatang yaitu berasal dari luar Kota Pariaman sebesar 51,65 persen.
Kondisi ini menggambarkan wilayah pesisir Kota Pariaman didominasi masyarakat asli Pariaman. Hasil pengolahan data bahwa mereka sudah sangat lama sekali tinggal bahkan ada yang sampai empat keturunan tinggal di pesisir.
Berbagai alasan mengapa anak nagari di pesisir Pariaman bermukim sangat dekat dengan pantai. Hasil pengolahan data setidaknya ada 6 alasan mengapa anak nagari bermukim dipantai. Yakni tinggal dengan orang tua yang bermukim dipesisir pantai (28,31 %), dekat dengan tempat bekerja (nelayan, pedagang) sebanyak 26,48 persen, tidak punya lahan/tanah lain yakni 18,72 persen, diberi lahan ‘pasie mahelo’/akresi pantai 11,87 persen dan lain-lain.
Pengetahuan anak nagari pesisir terhadap penyebab ‘pasia takikih’, diantaranya pengaruh ombak besar, pasang air laut besar, pengaruh cuaca/siklus tahunan, pemasangan batu pemecah ombak oleh Pemko yang salah, rasi bintang kalo/’panganaian” bulan dan bintang, kelalaian manusia (membuang sampah kelaut), pengaruh angin, kekuasaan Tuhan, gempa dan banyak orang berbuat zina/maksiat/asusila.
Bencana akan terjadi jika alam mengeluarkan tanda-tandanya awan koyak, tercabik-cabik di bagian arah laut, perubahan cuaca, dilihat dari rasi bintang/siklus tahunan, angin kencang, ombak ‘gadang’/besar, ‘pakisahan’ (perputaran) bulan, ‘cawang ka naiak’ (awan akan naik), dilihat dari warna bintang yang memerah/badai, adanya garis melintang di laut, pertanda akan badai.
Tindakan anak nagari pesisir untuk mengurangi ‘pasia takikih’ yang paling sering dilakukan adalah penanaman pohon waru, cemara, bakau dan pinago, menjaga lingkungan, tidak melanggar adat.
Menurut anak nagari pesisir ekosistem mangrove dapat menjadi pelindung alami dari ancaman ‘pasia takikih’ dan tsunami, pengendalian erosi pantai, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari gempuran ombak, melindungi terumbu karang, habitat biota laut terutama ikan, kepiting dan udang.
Fakta ini didukung terjadinya penambahan luas ekositem mangrove di pesisir Kota Pariaman, dimana jika pada 2004 luas ekosistem mangrove hanya seluas 5 ha, lalu meningkat pada tahun 2006 menjadi 20 ha dan pada tahun 2016 dalam RTRW Kota Pariaman meningkat tujuh kali lipat atau setara 35,1 ha dalam kurun waktu 12 tahun.
Dari pengolahan data tiga Kecamatan pesisir di Kota Pariaman memiliki hutan bakau seluas 18,25 ha yaitu seluas 16,5 ha berada di Kecamatan Pariaman Utara sedangkan sisanya tersebar di Kecamatan Pariaman Tengah 0,5 ha dan Kecamatan Pariaman Selatan 1,5 ha.
Pengelolaan wilayah pesisir terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari
Tingginya pertumbuhan pembangunan di wilayah terancam ‘pasia takikih’ yang dilihat dari perkembangan kawasan terbangun baik untuk permukiman, perkantoran, pariwisata dan perdagangan maka model pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan anak Nagari Manggung Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman dapat menjadi contoh bagi wilayah pesisir lainnya. Pengelolaan wilayah pesisir terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari merupakan upaya mengoptimalkan potensi sosial dan nilai-nilai lokal yang dimiliki untuk memudahkan proses penanganan wilayahnya.
Falsafah ‘alam takambang jadikan guru’ diterapkan, sebagai metode atau cara yang tepat bagi anak nagari memperlakukan atau mengolah sumberdaya alam dengan manfaat sebesarnya tanpa berlebihan sehingga hidup dapat berkelanjutan sampai anak cucu. Alam menjadi guru terbaik bagi kehidupan anak nagari sehingga menghasilkan gagasan dan tindakan agar anak nagari tidak tunduk pada alam tetapi hidup selaras dengan alam, mengantisipasi perubahan alamiah pesisir seperti ‘pasia takikih’, badai, banjir rob, gempa bahkan potensi tsunami. Kepercayaan anak nagari memperlakukan alam semena-mena akan berakibat terganggu dan rusaknya fungsi alam yang berujung pada timbulnya bencana.
“Alam takambang jadikan guru’, belajar dari alam semesta akan menghasilkan pemahaman akan keniscayaan keteraturan yang tidak bisa diintervensi oleh tindakan manusia. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir yang terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari dengan memperkuat nilainilai agama dan adat yang tergabung dalam kearifan lokal anak nagari adalah suatu keharusan karena melalui optimalisasi potensi sosial dan kearifan lokal yang dimiliki, akan memudahkan pengelolaan wilayah pesisir.
Peran serta Kerapatan Adat Nagari (KAN) yaitu lembaga yang merupakan perwujudan permusyawaratan perwakilan tertinggi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan ninik mamak dan unsur alim ulama Nagari, unsur cadiak pandai, unsur Bundo Kanduang, dan unsur parik paga dalam Nagari sesuai dengan adat salingka Nagari.
Model pengelolaan wilayah pesisir terancam ‘pasia takikih’ berbasis anak nagari di Manggung Pariaman, yaitu dengan mengatur pemanfaatan lahan dan pola ruang serta menerapkan konsep pembentukan nagari secara konsisten hingga kini. Zona konservasi; yang terdiri dari pantai, kawasan hutan pinago, cemara pantai dan hutan bakau ditetapkan sebagai ‘hutan nagari’ dengan ketebalan lebih kurang 50 m dari garis pantai serta ‘talao’ (talaga), dimana jarak zona ini dari bibir pantai kedarat sejauh lebih kurang 50 m. Zona ini berfungsi sebagai garda terdepan pengaman utama pantai karena berbatasan langsung dengan laut dan hanya difungsikan (terbatas) yaitu sebagai wisata edukasi/wisata mangrove. Zona penyangga, merupakan zona lapis kedua setelah zona konservasi dengan penetapan fungsi sawah (‘nan basah dipasawah’) dan ladang (‘nan kariang di paladang’) sebagai kawasan penyangga dengan ketebalan 250 m, sekaligus sebagai kawasan untuk bercocok tanam bagi anak nagari dengan jarak dari garis pantai lebih kurang 300 m. Sesuai dengan pepatah Minang ‘Nan lereng ditanam bambu, nan miriang ditanam tabu, nan bancah buek kolam, nan rawa buek sawah, nan kariang buek ladang, nan munggu buek pandam kuburan’ (yang lereng ditanam bambu, yang miring ditanam tebu, yang berair dijadikan kolam, yang berawa dijadikan sawah, yang kering dijadikan lading/kebun).
Pemanfaatan lahan sesuai dengan karakteristik fisik alami merupakan zona penyangga berfugsi sebagai lahan pertanian dan perkebunan/ladang tempat ‘anak nagari’ berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Zona budidaya, merupakan zona lapis ketiga dengan penetapan kawasan permukiman sebagai ‘huma’ (rumah) tempat tinggal anak nagari yang dilengkapi dengan sarana prasarana. Semua nagari harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana permukiman nagari seperti ‘labuah’ (jalan), ‘balai/pakan” (pasar), ‘balai-balai’ (tempat pertemuan), “musajik’ (masjid), ‘pandan pusaro’ (tempat pemakaman/pusara) dan ‘tapian’ (sungai, sumber air bersih).
Jarak zona budidaya dari garis pantai lebih kurang 350 m sehingga sampai saat ini aman dari ancaman abrasi pantai. Jika dilihat karakteristik ‘pasia takikih’ di Kota Pariaman sejauh 109,24 m, maka zona budidaya sangat aman dari ‘pasia takikih’. (sumber: Haryani, 2020)
Implementasi pola dan pemanfaatan ruang nagari pesisir yang sejalan dengan konsep pembentukan nagari di Minangkabau serta kearifan lokal, merupakan model pengelolaan lingkungan pesisir berbasis anak nagari di Kota Pariaman yang sangat efektif, karena merupakan mengejawantahan dari pendekatan kesisteman yang holistik dan terintegrasi. Anak nagari bersama KAN dan pemerintah kota sebagai pelaku sekaligus sebagai pengawas pemanfaatan ruang di kawasan pesisir terancam abrasi, berjalan secara harmonis serta sejalan dengan perencanaan tata ruang.
Model ini terbukti efektif dalam pengelolaan lahan sehingga dapat meredam tingkat ancaman abrasi pantai.
Pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dan daya tampung sejalan dengan proses pengembangan sebuah Nagari di Minangkabau, dilatarbelakangi lahan di nagari lama sudah sangat sempit sehingga tidak ada lagi ruang untuk bermukim, pengembangan pertanian menyebabkan luas lahan tak cukup lagi bagi kaum (paruiksuku). Inisiatif kepala kaum (tungganai/saudara laki-laki tertua) dan beberapa keluarga dalam satu suku atau beberapa suku mencari lahan baru dan dibuatlah perkampungan baru. Belajar dari proses pembangunan nagari baru di Minangkabau bahwa pembangunan sebaiknya tidak melebihi daya dukung dan daya tampung lahan agar tidak terjadi bencana. Lokasi untuk pembangunan nagari baru yaitu pada lahan baru yang belum berpenghuni (ekstensifikasi lahan) dan menerapkan konsep pembentukan sebuah nagari. Demikianlah model pembangunan yang selama ini berlaku di kenagarian pesisir Kenagarian Manggung Kota Pariaman sehingga mampu mengurangi risiko bencana abrasi pantai.
“Mulonya dari taratak, dari taratak menjadi dusun, dari dusun menjadi koto” (artinya, awalnya/mula-mula dari taratak/kampung, dari taratak menjadi dusun, dari dusun menjadi koto) dan koto menjadi pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung dan disepakati menjadi nagari baru. Adapun struktur wilayah sebuah Nagari adalah terdiri dari kampung (koghong, korong, jorong) dan Nagari. Tiga desa pesisir di Kecamatan Pariaman Utara yang masih memiliki hutan bakau sampai saat ini (Februari 2019) adalah Desa Manggung, Desa Apar dan Desa Ampalu yang merupakan bagian dari Kanagarian Manggung. Hasil studi selama 15 tahun terakhir di tiga desa tersebut ternyata tidak terjadi ‘pasia takikih’abrasi namun hanya terjadi ‘pasia mahelo’ yaitu di desa Manggung seluas 13,58 ha dan Desa Apar 28,97 ha.
Fakta ini membuktikan bagaimana anak nagari Manggung dapat mengelola lingkungannya yang terancam ‘pasia takikih’ secara arif dan bijaksana. Kondisi ini membuktikan hipotesis konsep pembentukan nagari dan kearifan lokal dalam pemnfaatan lahan serta keberadaan ekosistem mangrove dapat mengurangi tingkat ancaman abrasi. ‘Alam takambang jadikan guru’ dan ‘jiko takuik dilamun ombak jan barumah ditepi pantai’ adalah filosofi di Minangkabau yang masih relefan dalam mengelola lingkungan pesisir yang terancam abrasi pantai saat ini. (*)
(Artikel ini ditulis berdasarkan Disertasi untuk penyelesaian S-3 pada Prodi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Tim Promotor Prof.Dr.H.Agus Irianto dan Co Promotor Dr.Nurhasan Syah,M.Pd)
Komentar