Opini  

Kepemimpinan Minangkabau yang Sedang Sakit

Oleh: Isral Naska (Direktur Pusat Studi Islam dan Minangkabau Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)

Belakangan ini, sebagian kalangan orang-orang Minang, baik di ranah dan di rantau, terpicu untuk mendiskusikan tulisan Dirwan Ahmad Darwis yang berujudul “Minangkabau nan Gadang Ota, dan Kanai Ota.” Tulisan yang terbit di hariansinggalang.co.id itu memang memiliki judul yang unik. Dari perspektif saya pribadi, diksi yang dipilih sebagai tajuk provokatif dan menyenggol “harga diri”: Masa kita kana ota?

Tapi seperti membaca banyak tulisan oto kritik lainnya tentang Minangkabau, pada akhirnya kita insaf bahwa, jika tidak secara keseluruhan, ada bagian-bagian yang memang terjadi. Bahkan terkadang, karena menydaari bahwa begitu buruk kondisnya kita cenderung tidak percaya, dan tetap mencari-cari alasan bahwa kita sedang baik-baik saja.

Saya secara umum sepakat dengan pergeseran-pergeseran sosial yang terjadi, sebagaimana yang dinarasikan dalam tulisan Dirwan Ahmad Darwis tersebut. Tulisan ini akan lebih menyorot, apa yang menjadi penyebab dari itu semua. Tentu ada banyak penyebab, namun saya menduga bahwa salah satu sebab utama adalah sedang sakitnya kepemimpinan Minangkabau. Dalam bahasa lainnya, tengah terjadi disfungsi kepemimpinan di Minangkabau.

Unsur Ideal Kepemimpinan Minangkabau

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa nagari-nagari di alam Minangkabau dipimpin oleh tiga unsur yang disebut dengan “tali tigo sapilin-tungku tigo sajarangan.” Yang dimasud dengan tiga unsur ini adalah alim ulama, cadiak pandai dan ninik mamak. Dalam sebuah makalahnya, Taufik Abdullah menyebut tiga unsur ini sebagai kombinasi antara kempimpinan geneologis dan meritokratis. Ninik mamak adalah unsur kepemimpinan dengan karakter geneologis yang cukup menonjol. Bahwa salah satu pertimbangan utama pemilihan seorang datuk adalah garis kesukuan. Sedangkan cadiak pandai dan alim ulama memiliki karakter merit yang menonjol. Pengusaaan ilmu pengetahuan dan agama yang menjadi timbangan utama seseorang layak masuk dalam dua kategori itu.

Ninik mamak, berdasarkan pemahaman penulis, adalah kepempimpinan dasar dan asal di Minangkabau. Dinamika sejarah, seperti yang terlihat dalam banyak buku (misalnya oleh Tuafik Abdullah, Hadler, Dobbin, Hamka dll) mengatar orang Minangkabau memiliki penemuan sosial berupa konsepsi “tali tigo sapilin-tungku tigo sajarangan.” Penggunaan diksi “sapilin” dan “sajarangan” berimplikasi bahwa kepemimpinan ini tidak dapat dipisahkan.

Di luar itu dan tak kalah penting, Minangkabau juga mengenal konsep Bundo Kanduang. Bundo Kanduang adalah konsepsi sosial Minangakabau dimana perempuan dianggap sebagai salah satu simpul utama kesalamatan sosial. Ini sejalah dengan keberadaan sistem matrilineal yang menjadi salah satu fondasi utama adat Minangkabau.

Memperhatikan unsur-unsur kepemimpinan Minangkabau, saya melihat bahwa sistem kepemimpinan alam Minangkabau adalah sistem kempimpinan raso-pareso. Bahwa kepentingan perasaan, tradisi, memori keluarga, ilmu pengetahuan dan pemahaman keagamaan disandingkan dengan sebaik-baiknya.

Peran dan Fungsi Ideal Kepemimpinan Minangkabau

Peran dan fungsi kepemimpinan Minangkabau dapat dipelajari dari berbagai pepatah-petitih yang sebagiannya masih sangat akrab di telinga kita: “Baringin rindang ditangah koto – ureknyo tampek baselo – batangnyo tampek basanda – pucuaknyo cawang ka langik – dahannyo tampek bagantuang – daunnyo perak suaso – bungonya ambiak ka suntiang – buahnyo buliah dimakan – tampek bataduah katiko hujan – tampek balinduang katiko paneh

Ungkapan ini adalah simpulan yang sastrawi bagaimana semestinya kepemimpinan Minangkabau itu berfungsi. Pemimpin seperti pohon beringin atau pohon lebat yang dapat menjadi tumpangan nasib, tempat berlindung dan menjadi solusi bagi berbagai jenis makhluk hidup. Pepatah di atas menunjukkan bahwa tali tigo sapilin bertugas memastikan keperluan dasar orang-orang Minangkabau tercukupi. Setelah itu, dia juga mesti memastikan keperluan tambahan untuk meningkatkan kualitas manusia juga tercukupi. Yang mana itu dapat menghindarkan orang-orang Minangkabau tertimpa masalah yang tidak ada solusinya.

Mengacu pada pemahaman yang berlaku umum, keperluan dasar di sana mencakup keperluan fisik (makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dll) tapi juga mencakup hajat rohani (pendidikan, perlindungan, penghargaan, dukungan penyelesaian masalah). Ini semua adalah untuk memastikan bahwa orang Minangkabau dimanusiakan dengan sebaiknbya, lalu bertindak layaknya sebagai manusia yang memiliki fitrah.

Terdapat banyak ungkapan lain yang menceritakan peran dan tanggung jawab ideal kepemimpinan Minangkabau. Seperti pepatah yang menggambarkan peran khusus alim ulama ini: “ikutan lahia jo batin, suluah bendang dalam nagari, kapanyuluah anak jo kamanakan, panarang jalan di dunia, panyuluah jalan ka akhirat, tampek batanyo hala jo haram, sarato sah dengan halal.” Juga terdapat ujaran lain, yang tampaknya menggambarkan peran dan fungsi cadiak pandai: “Cadiak jo tahu pandai nan arieh bijaksana, tahu angin nan basaruik, tahu di ombak nan basabuang, sarato dahan ka maimpok, runciang ka macucuak, tahu di alamat kato sampai, alun bakiek lah bakalam, bulan lah sangkap tigo puluah.”

Demikianj pula halnya dengan peran kaum perempuan yang disebut Bundo Kanduang. Pepatah menyebutnya: “Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pegangan kunci, pusek Jalo kumpulan tali, hiasan dalam nagari, nan gadang basah batuah, Kok hiduik tampek banasa, kok mati tampek baniyaik, kaunduang-unduang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo”. Sosok ini adalah sosok sentral kasih sayang di rumah, sosok yang menjadi contoh bagi anak-anak tentang kecekatan dan ketangkasan mengurus keluarga, mengajarkan bagaimana bersikap dan berperilaku sehingga anggun, mulia gagah, berwibawa di pandangan orang, sosok yang menjadi tumpuan dan sasaran doa, harapan pengantar manusia ke dalam surga. Bundo Kanduang adalah karakter permpuan ideal Minangkabau, yang diharapkan melahirkan generasi-generasi hebat.

Kepemimpinan Minangkabau memiliki peran penting dalam keputusan-keputusan yang diambil lewat musyawarah dan mufakat. Pandangan dan putusan tentang kehidupan anak-kemenakan, telah diambil lewat dasar-dasar yang matang. Ninik mamak memastikan adanya pertimbangan kekeluargaan dengan seluru memori dan tradisi yang menyertainya. Alim ulama dan cadiak pandai memastikan masuknya pertimbangan sains dan keIslaman. Bundo Kanduang memastikan keperluan dasar manusia dalam rumah tangga terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Hal ini dapat disebut sebagai model yang sangat Islami dan jauh dari sekularisasi.

Kepemimpinan Minangkabau Hari Ini; Hantaman Modernisasi dan Krisis Identitas

Status dasar orang Minang adalah anak dan kemenakan: seseorang -siapaun dia- adalah anak dari ayah dan kemenakan dari Mamak. Jadi, kita ini -sedang dan pernah- adalah tanggung jawab dari ayah dan mamak. Kolaborasi sistemik antar ayah-mamak telah menciptakan apa yang disebut dengan “Minangkabau Bapaga Hiduik.” Jika seseorang bukan anak-ku, maka dia adalah kemenakanku. Oleh karena itu aku harus mengurusnya, mendidiknya, memberikan petunjuk dan pertimbangan.

Aktifitas-aktifitas tersebut (mengurus, mendidik, menunjuki, dan memberikan masukan) tentu saja perlu rujukan-rujukan pemahaman agama dan pengetahuan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, di sinilah unsur alim ulama dan cadiak pandai berperan. Dengan kolabrasi seperti ini, tidak ada sejatinya tanah Minangkabau yang luput dari semangat-semangat kebaikan, semangat amar-ma’ruf nahi munkar. Karena semua orang berada dalam posisi yang saling mempedulikan.

Dengan demikian, ketika muncul berbagai keburukan seperti yang diresahkan Dirwan Ahmad Darwis dalam tulisannya, maka sudah hampir pasti bahwa Kepemimpinan Minangkabau gagal berperan di sini. Jika ia berperan dengan baik, tidak akan mungkin hal banyak hal buruk memalukan seperti marak pada akhir-akhir ini. Beberapa hal bahkan sangat buruk, sehingga tak sanggup rasanya untuk dibicarakan panjang lebar.

Maka pertanyaan paling dasar adalah: dimanakah kepemimpinan Minangkabau itu? Apakah dia sudah meninggal-punah? Atau masih ada tapi sedang sakit-sakitan?

Jika kita amati, Minangkabau masih memiliki ninik mamak, banyak pula alim ulama, apalagi cadiak pandai. Secara kelembagaan, ninik mamak itu bahkan sudah memiliki lembaga yang memungkinkan mereka yang berasal dari berbagai penjuru daerah untuk bermusyarah, seperti LKAAM dan KAN. Alim ulama jangan disebut, sudah banyak PTKI swasta dan negeri yang kurikulumnya ditujukan untuk mempelajari Islam. Di samping itu madrasah, pesantren dan sekolah keIslaman menjamur dimana-mana. Ditambah lagi dengan rumah tahfiz dan pengajian-pengajian. Cadiak pandai pun demikian, sama kondisinya dengan alim ulama. Banyak perguruan tinggi hebat di Sumatera Barat dengan ribuan dosen dan ratusan professor yang semua mereka adalah cerdik cendikia. Tidak hanya itu, banyak juga lembaga-lembaga sosial, bisnis, dan filantropi berjamur dimana cadiak pandai berkumpul. Untuk Bundo Kanduang juga demikian, sudah ada organisasinya, bahkan bercabang hingga luar negeri. Akan fakta seperti yang ditulis oleh Dirwan Ahmad Darwis tetap saja terjadi.

Beranjak dari sini, dapat disimpulkan bahwa Kepempinan Minangkabau itu sedang sakit, sehingga tidak dapat berfungsi dengan semestinya. Pertanyaan lanjutan yang yang mesti didiskusikan adalah apa yang menyebabkan sakitnya.

Diskusi akan panjang dan berjilid. Namun izinkan saya menyampaikan satu perspektif di sini. Bahwa sakitnya Kepemimpinan Minangakbau adalah akibat dari pemaksaan sistemis produk-produk modernisasi terhadap masyarakat Minangkabau. Ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Belanda. Berdasarkan pembacaan pribadi penulis terhadap beberapa buku sejarah lokal, hal ini sudah berlangsung sejak lama. Belanda dulu pernah memaksakan penghulu bersurat dan Tuanku Lareh, menyebabkan kacau balaunya pranatas sosial. Lalu pernah juga dipaksakan sistem pemerintahan desa, menyebabkan tungku tingo sajarangan terpinggirkan, tidak lagi punya kekuatan politis, melainkan hanya kekuatan kultural belaka.

Masuknya era reformasi, kita memang memiliki lagi Nagari. Namun perlu dipikirkan ulang, apakah wali nagari sudah terpilih berdasarkan prinsip-prinsip dasar suksesi kepemimpinan di Minangkabau? Dimanakah kedudukan legal-formal ninik mamak dan cadiak pandai di nagari? Bagaimana pula dengan Bundo Kanduang? Mungkin akan ada penjelasan dan jawaban, namun jawaban dan penjelasan itu sepertinya akan hambar saja, mengingat kejadian-kejadian buruk terus saja terjadi di Minangkabau.

Gempuran modernisasi yang massive menempatkan orang-orang Minangkabau dalam krisis identitas. Bagaimana mungkin bisa bundo kanduang dan calon bundo kanduang tampil tidak patut di media sosial, padahal ia ditakdirkan akan menanggung baban nan barek singgulung batu sehubungan dengan peran sosialnya? Banyak pula orang Minangkabau yang tidak mau lagi bicara bahasa minang, menyebabkan mandeknya transfer kearifan loka Minangkabau.

Pada akhirnya saya hendak kembali pada apa yang menjadi ide dasar dari tulisan ini. Bahwa hal-hal buruk di Minangkabau belakangan ini terjadi karena sakitnya Kepemimpinan Minangkabau. Kepemimpinan itu sedang lumpuh. Selama kepemimpinan Minangkabau tidak berfungsi, jika pun pada akhirnya orang Minangkabau jadi cadiak pandai dan ulama, mungkin tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan arif bijaksana ala filsafat alam Minangkabau dalam dirinya. Selama itu pula muncul ninik mamak yang tidak mengayomi, dan bundo kanduang yang tidak siap. Dan, selama ini pula berita-berita miris tentang orang Minangkabau bermunculan.

Maka pertanyaan paling mendasar dari sini adalah: apa yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan kekuatan Kepemimpinan Minangkabau itu? Bagaimana peran masyarakat? Bagaimana peran kampus dan perguruan tinggi? Bagaimana peran ulama? Bagaimana peran pemerintah daerah? Bagaimana memaksimalkan UU no 17 tahun 2022 itu? Bagaimana implementasi nyata ABS-SBK itu. Ada baiknya kita banyak bertanya, yang lebih penting adalah usaha-usaha nyata. Wallahu’alam.