Kisah-kisah Saya Sepanjang Prosesi Haji

×

Kisah-kisah Saya Sepanjang Prosesi Haji

Sebarkan artikel ini
Saya dan istri foto di halaman Masjidil Haram dengan latar belakang Zamzam Tower (lst)
Saya dan istri foto di halaman Masjidil Haram dengan latar belakang Zamzam Tower (lst)

Laporan Khairul Jasmi dari Tanah Suci

Ini adalah kisah tentang rahasia-rahasia kecil saya, saat menunaikan ibadah haji di Tanah Suci:

Seperti pemain bola, kedua lutut saya pakai engkel dan sebelumnya dilumuri analgetic cream. Di kloter Padang 1, (mungkin) hanya saya yang seperti itu, tapi yang pakai krem apalagi skim krem untuk kulit dan telapak kaki, hampir semua menggunakannya. Engkel itu, hadiah dari teman sekamar saya, Noor Aris Syamsu, ayah dari jemaah paling muda. Di Tanah Suci kemana-mana saya memakainya. Enak dan nyaman.

Demi mendengar cerita orang-orang yang pulang haji ditambah saat manasik, jauh di dalam hati, saya yakin akan menemukan masalah fisik saat naik haji, terutama kalau berjalan jauh di bawah suhu 40 derajat. Sampai hari ketiga atau keempat di Medinah tak ada masalah, namun pada suatu hari lutut kiri saya sangat sakit. Lutut itu sudah lama bermasalah jika jongkok, mungkin doeloe pernah kena hantam saat  sliding tackle ketika main bola, atau oleh sebab lain. Kini sakitnya luar biasa, tak bisa dituliskan.

Rasa sakit itu, muncul ketika  berada di toilet jongkok. Waktu itu “beban” berat sekali. Tak kuat lagi menahan. Toilet terlihat berderet panjang dan berlapis-lapis. Semua pintunya ditutup, di depan tiap toilet, antre sedang padat. Saya akhirnya dapat giliran dan tak terpikirkan, ternyata di sana ada WC duduk.

Rasa sakit itu muncul menjelang  selesai berwuduk. Luar biasa denyutnya. Saya tidak memberitahu pada siapapun, disurukkan dan diidapkan sendiri, tapi pada teman sekamar tak bisa. Saya memijat lutut, melumuri dengan krim dan mereka bertanya. Dalam hati saya bertekad, biarlah apapun yang terjadi, terjadilah. Meski begitu, pada Tuhan saya mengadu. “Tuhan, lutut saya amat sakit. Jika engkau membolehkan aku berhaji maka hilangkanlah rasa sakit itu.”

Tak terpikirkan bagaimana cara menghilangkannya, kecuali memakai krim saja. Maka saat bangkit dari sujud, saya bertekan pada kedua tinju dengan mengalihkan berat badan ke kaki kanan, namun sesekali tak berhasil dan berat dibagi rata di atas lutut. Ketika itulah, rasa sakit mendera lagi.  Tiba-tiba saja, Noor Arias sehabis dari Mabawi membawa engkel. “Iko untuk Om wak bali tadi,” katanya. Apa yang hendak saya katakan? Rembulan jatuh di pelukan.

Sejak itu saya pakai terus pemberiannya dan  sakit itu  tak terasa lagi, termasuk jika sujud di lantai masjid tanpa karpet, tanpa sajadah. Di tembok. Termasuk jika berjalan bolak-balik ke Nabawi dan kemudian ke Masjidil Haram yang berjarak 1,3 Km dari hotel. Jika saja  tak masuk toilet, jika saja lutut  tak sakit di Medinah bisa jadi akan muncul masalah besar ketika proses haji berikutnya. Dari kejadian itu, didapat hikmah, ketakutan saya akan masalah lutut diatasi oleh lutut itu sendiri. Tuhan memang maha hebat dan saya temukan buktinya saat naik haji. Rupanya ini jalan keluarnya. Alhamdulillah. Sejak itu pula, pada beberapa orang saya sampaikan, sebaiknya pakai engkel. Mereka tertarik, belinya dimana? Saya tak tahu.

Ke toilet adalah ujian

Dari foto, bacaan dan nasihat sebelum naik haji, salah satunya ini: di Armina antre di toilet sangat panjang. “Ka toilet sabana ujian, bisa ndak tahan,” kata seorang teman sesaat sebelum naik bus dari Mina ke Makkah, Kamis (23/8). Kabarnya memang ada yang tak tahan dan lepas….

“Jangankan beribadah, ke toiletpun kita diuji,” kata saya.

Baca Juga:  Perantau Minang Eropa Baralek Gadang di Hamburg

“Batua tu, tulislah,” kata kawan lain.

Yang paling saya cemaskan untuk semua prosesi haji, ternyata dimudahkan Allah SWT. Kecemasan pertama: kalau-kalau pakaian ihram tangga surang se ketika sedang berjalan. Atau lungga dan melorot. Alhamdulillah ini tak terjadi. Kedua, jika tak ada toilet duduk. Nyatanya di Arafah dan Mina tersedia, antrenya pun tak panjang-panjang amat. Jikapun panjang saya menghindar dulu.

Kecemasan berikut apa kuat jalan kaki 6 Km dari makhtab di Mina ke Jamarat untuk melontar? Hampir saya badalkan saja. Maka tatkala sampai di Mina, untuk melontar hari pertama, saya coba. Bisa! Tak ada masalah. Bahwa capek, betis rasa akan naik, itu dialami hampir semua orang, telapak kaki ngilu, orang lain juga merasakan. Bahwa kemudian balik ke kemah dan istirahat sejenak  rasa sakit itu hilang. Lutut yang ngilu itu tak bermasalah karena selalu pakai engkel dan krim. Dua jam lebih balik ke kemah. Tuhan punya cara membantu saya. Kecemasan yang saya bawa dari Tanah Air, tak terjadi. Amiin.

Nah ini dia: melontar hari kedua. Orang lebih banyak dan jalan lagi 6 Km. Maka kami melontar pukul 00.00 kurang dan dilanjutkan melontar hari ketiga lewat pukul 00.00. Saya bergerak bersama ratusan orang jemaah Padang, Rabu (22/8). Sesuai saran tim kesehatan untuk semua jemaah, saya pun membawa air mineral dan dicampur oralit. Tiap sebentar, seteguk demi seteguk saya minum air itu. Sepanjang jalan pergi, sepanjang jalan pulang.  Minum sedikit-sedikit itu saya buktikan, mengeleminir dehidrasi. Selama di kemah berjam-jam malah dehidrasi, terbukti dari air kencing.

Saya terus melangkah, tanpa sadar  mendahului ratusan orang satu kloter itu. Saya tak hendak memisahkan diri tapi melaju saja.

Sampai di Jamarat. Melontar! Ula, Wustha, Aqobah. Untuk diri sendiri dan untuk istri. Selesai. Malam sudah tegak tali, sebentar lagi lewat pukul 00.00. Untuk melempar hari ketiga bisa dilakukan. Maka guna mewujudkan itu, jemaah harus memutar sekirar 1 Km sesuai informasi dari pembimbing haji. Itu artinya saya harus jalan 7 Km. Ondeh mak.

Tak boleh mengeluh. Ini ibadah, Tuhan tak memaksa datang, sayalah yang datang memenuhi panggilan Tuhan. Kincir-kincir saya langsung jalan. Balik kanan saja melawan arus. Kebetulan setengah jam lebih sebelum lewat pukul 12 malam, agak sepi di Jamarat maka saya pun balik kanan, seperti beberapa jemaah Timur Tengah. Jika dihadang tentara,  pasti mentok. Yakin saja, melangkah saja, ternyata dibiarkan. Sesampai di lokasi melontar pertama, bertemu jemaah dari Makassar, suami-istri. Ia juga menunggu lewat pukul 12.

Lewat! Dan saya pun melontar 7 kali untuk saya sebanyak itu pula untuk istri dikali tiga. Berapa jumlah batunya? Ha ha ha.

Selesai dan berdoa. Saya menemukan suami istri jemaah satu kloter yang memakai taktik serupa, Can Gapensi.

Apa yang terjadi dengan lutut? Aman-aman saja. Alhamdulillah. Saya berpikir, siapa yang duluan selesai, Can atau saya. Tak penting. Kami pun melangkah balik ke kemah. Karena Can bersama istri maka saya berjalan lebih dulu, ratusan orang lain masih memutar. Sehebat-secepat apapun saya berjalan, di terowongan kedua, saya disalip oleh Sekda Padang, Asnel. Kerek saya soal kecepatannya. Ia cigin saja ke muka lalu lenyap dalam lautan manusia.

Di ujung terowongan menjelang ke kemah, saya membeli roti cane yang selebar martabak mesir itu. Satu. Malam sebelumnya harganya 10 riyal kok sekarang 5 riyal saja? Berkah.