Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

×

Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

Bagikan berita
Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis
Kontradiksi Karakter dalam Tiga Cerpen A.A. Navis

A.A. Navis, nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir 17 November 1924 di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumaetra Barat. Ia menikah dengan Aksari Yasin dan mereka dikaruniai tujuh anak. Pada usia 79 tahun, tepatnya tanggal 22 Maret 2003, Beliau berpulang pada Sang Khalik.Karya A.A. Navis banyak dan beragam. Ia menulis karya sastra maupun nonsastra. Karya sastranya yang berbentuk cerita pendek dibukukan dengan judul Robohnya Surau Kami, Bianglala, Hujan Panas, Hujan Panas dan Kabut Musim, Bertanya Kerbau pada Pedati, Jodoh, dan Kabut Negeri si Dali. Sedangkan novelnya, antara lain berjudul Saraswati, si Gadis dalam Sunyi; Kemarau; dan Gerhana. Selain cerpen dan novel, Navis juga menulis puisi dan dibukukan dengan judul Dermaga Empat Sekoci dan Dermaga Lima Sekoci. Kecintaannya yang besar pada tanah kelahirannya, ditunjukkan dengan menerbitkan buku kumpulan cerita rakyat berjudul Cerita Rakyat dari Sumatra Barat jilid 1, 2, dan 3.

Penulis yang satu ini juga dikenal sebagai seorang pemikir yang banyak menghasilkan karya-karya ilmiah, antara lain Dialektika Minangkabau; Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau; dan Surat dan Kenangan Haji. Karyanya yang lain berupa biografi M. Syafei berjudul Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Syafei; dan biografi Hasyim Ning —Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Selain itu Navis mengumpulkan 106 makalah yang ia tulis untuk kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri. Makalah-makalah ini kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Yang Berjalan Sepanjang Jalan.Sebagai sastrawan, Navis meraih sejumlah penghargaan atas karya-karyanya, misalnya penghargaan dari majalah Kisah, dari Unesco dan Ikapi, dari Radio Nederland, dan dari majalah Femina. Tak hanya itu, sejak tahun 1992 hingga 2002, cerpennya selalu terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas. Ia juga menerima Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hadiah Sastra SEA Write Award dari Kerajaan Thailand, dan anugerah Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam pergaulan di dunia sastra, Navis diberi julukan "pencemooh nomor wahid" dan "sastrawan satir paling ulung". Gelar "pencemooh” dan “sastrawan satir” ini, disebabkan gaya penulisannya yang penuh sindiran pada sifat dan perilaku manusia. Misalnya dalamcerpen Robohnya Surau Kami, Navis mengejutkan pembaca dengan sindiran amat tajam terhadap pelaksanaan kehidupan beragama. Demikian juga pada novelnya yang berjudul Kemarau, Navis “menertawakan” konyolnya perilaku manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan. Dalam hampir seluruh karya sastranya, ia melontarkan berbagai cemoohan dan bersikap sangat kritis terhadap tradisi, takhyul, kedudukan perempuan, sikap ABS (Asal Bapak Senang), hedonisme, keserakahan, kekejaman, kemunafikan, dan lain-lain. Warna lokal budaya Minangkabau sering dipakai Navis untuk memperkenalkan budaya setempat dan menghidupkan imajinasi pembaca.

Dari sekian karya sastra yang ditulis Navis, kita akan membahas tiga cerpen yang terdapat dalam buku Robohnya Surau Kami. Yang disorot dalam tulisan ini, khususnya tentang karakter-karakter unik garapan Navis, sehingga mengecoh pemahaman pembaca tentang siapa protagonis dan siapa antagonis cerita; serta bagaimana cerpen-cerpennya menjadi sarana baginya untuk mengritisi masalah sosial dan karakter manusia.Yang pertama kita bahas cerpen berjudul Robohnya Surau Kami. Cerpen ini berkisah tentang tokoh Kakek, seorang garin atau penjaga surau yang akhirnya bunuh diri. Kakek yang dikenal sebagai orang baik ini, setiap hari kerjanya menjaga surau dan mengasahkan pisau orang-orang yang meminta bantuannya. Ia melakukan pekerjaannya —menurut pengakuannya— dengan tulus, tanpa mengharap imbalan. Timbul pertanyaan, mengapa orang sebaik Kakek mengakhiri hidup dengan cara tragis dan melanggar ajaran agama? Ternyata, itu semua terjadi akibat Kakek merasa disindir oleh Ajo Sidi, tokoh yang dinarasikan sebagai pembual. Dikisahkan, suatu hari Ajo Sidi membual kepada Kakek mengenai kejadian di akherat. Di sana, Almarhum Haji Saleh dan banyak orang yang dipandang saleh selama di dunia, ternyata dimasukkan ke dalam neraka. Mengapa? Sebab selama hidup, mereka menghabiskan waktu hanya untuk menyembah Tuhan dan melupakan tanggung jawabnya kepada keluarga, masyarakat, serta negara. Mendengar cerita Ajo Sidi tersebut, tokoh Kakek merasa disindir. Ia jadi masygul hingga akhirnya bunuh diri.

Banyak pembaca menilai tokoh Kakek sebagai protagonis yang mempunyai sifat-sifat baik, sedangkan Ajo Sidi sebagai tokoh antagonis yang berseberangan dengan si Kakek. Tinjauan yang menyimpulkan Kakek sebagai tokoh berwatak mulia, diperkuat oleh narasi dan dialog tokoh Aku sebagai pencerita.Dengan menghadirkan tokoh Aku yang berpihak pada Kakek dan bagaimana ia melawan Ajo Sidi, Navis benar-benar berhasil “mengecoh pembaca”. Misalnya saja, dalam uraian tentang Kakek, tokoh Aku menyebutnya sebagai seorang yang taat beribadah dan suka membantu orang lain tanpa pamrih. Sebaliknya, Ajo Sidi dinarasikan sebagai pembual, bahkan sebagai sosok yang menyebabkan Kakek bunuh diri.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget. “Kakek.”“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

 Dari kata-kata tokoh Aku yang berlaku sebagai pencerita, pembaca digiring oleh Navis untuk berpandangan sama bahwa Kakek adalah tokoh mulia, sedangkan Ajo Sidi sebagai tokoh jahat. Namun, tidak semudah itu mengategorikan tokoh sebagai protagonis atau antagonis. Perlu dilihat keutuhan makna atau pesan moral yang ingin disampaikan dan kepada tokoh siapa penulis ‘menitipkan’ pesannya.Seandainya kita memandang Kakek sebagai protagonis dengan karakter mulia, keutuhan cerpen justru tidak terwujud. Bukankah “penyambung lidah” Navis dalam cerpen ini adalah Ajo Sidi, bukan Kakek? Melalui cerpen ini, Navis bermaksud mengritisi manusia yang salah dalam memaknai kata ibadah. Banyak orang merasa sudah beribadah hanya dengan melaksanakan ritual keagamaan, tetapi tidak peduli pada masalah kemanusiaan dan menjadi warga negara yang tidak bertanggung jawab. Bagi Navis, ibadah seperti itu tidak cukup untuk mengetuk pintu surga. Pandangan tersebut disampaikan lewat tokoh Ajo Sidi yang justru disebut sebagai pembual dan biang kerok aksi bunuh diri si Kakek, bukan melalui tokoh Kakek yang digambarkan sebagai orang saleh.

Di sinilah menariknya cara Navis menggarap karakterisasi secara dramatik. Ia mengecoh pembaca dengan membangun narasi yang kontradiktif. Tokoh baik digambarkan sebagai jahat dan tokoh jahat digambarkan sebagai manusia saleh. Namun, pembaca yang jeli pasti dapat menemukan bahwa tokoh Kakek adalah antagonis. Ini ditandai dengan watak- watak Kakek sebagai berikut:

  1. Pendendam

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini