Kumandang Azan, Merobek Kantong Air Mata

×

Kumandang Azan, Merobek Kantong Air Mata

Bagikan berita
Foto Kumandang Azan, Merobek Kantong Air Mata
Foto Kumandang Azan, Merobek Kantong Air Mata

Khairul Jasmi“Apabila engkau selesai mengucapkan Asyhadu alla ilaha illahah, asyahudu anna Muhammada Rasulullah, maka janganlah engkau ucapkan Hayya ‘alash shalah, tetap ucapkanlah shallu fii buyutikum. Salatlah di rumah kalian" (HR. Bukhari)

                                                                                    ***Jumat (27/3) nan hening, serasa ada yang direnggutkan. Hening. Jauh sekali, saya mendengar azan, tak tahu apa itu sekadar azan atau tetap berjumat. Di sini, di rumah saya, Kuranji Padang, merenung tentang wabah corona. Jangankan obyek wisata, masjid saja lumpuh. Jangankan masjid kita, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi serta Masjid Al-Jum’ah didekat Medinah, pun tak menggelar shalat Jumat.

Saya tak mendengar lafaz Shallu fi buyitikum di sekitar tempat tinggal, namun seorang kawan berkata, di dekat rumahnya tatkala lafaz itu dibaca, disambut gemuruh Allahuakbar oleh Jemaah. Muazin yang terisak, membuat Jemaah yang berada di rumah sendu.Sejarah baru dimulai.

Tentang Shallu fi buyutikum (shalat di rumah saja), di Bukittinggi merobek kantong air mata. Kota sejuk itu rindang oleh suara azan, tapi jemaah tak ke masjid karena wabah corona yang bagai gergasi itu.Muazin Zubair di Masjid Nurhidayah di Tarok Dipo itu, mengundangkan azan dengan tangis yang pecah, terdengar jelas dari pelantang suara. Sebuah kamera merekam langit nan jernih, di langit itu suara azan seperti membentangkan kesedihan dari selendang maut nan panjang.Videonya dipostingkan di @kaba.bukittinggi.

Video berdurasi satu menit itu, selesai, saya tak mendengar Shallu fi buyutikum. Yang pasti, Bukittinggi menjadi ringkih, suara muazin terus terdengar seperti memberi kabar pada langit.Jumat tanpa Jumat

Saya sudah dua pekan ini tak pergi berjumat. Jumat pekan lalu, suara azan dan kutbah di Padang berebut memancar ke langit. Kemarin, hening. Saya berdebat dengan saudara tentang suara azan yang ditambah. Surat edaran MUI Bukittinggi dan Sumbar, jelas menyebut, tambahkan Shallu fi buyutikum di dalam azan. Saya cari referensi, ternyata hal ini pernah terjadi di zaman Nabi.Jika hujan lebat, jika sakit, jika takut, maka shalatlah di rumah. Tergantung perintah muazin. Hadist Hr Bukhari di atas adalah bukti. Di Kuwait, hal seperti itu sudah dilakukan pekan lalu dan di Masjidil Haram serta Nabawi, Jumat kemarin. Suara azan, adalah panggilan shalat yang disepakati sejak zaman awal Nabi Hijriyah. Muazin paling terkenal di dunia Islam adalah Bilal bin Rabah. Setelah Nabi wafat, ia pergi dari Medinah. Lama kemudian ia kembali. Tatkala cucu Nabi memintanya agar azan sekali saja, karena cucu-cucu Nabi rindu sama kakeknya, maka Bilal pun azan.

Azan itu tak pernah selesai ia kumandangkan karena dadanya sesak dan tangisnya tak terbendung. Ketika itulah Medinah jadi senyap. Dada warga kota bergemuruh, suara yang amat mereka kenal, kini berkumandang kembali.Saking hebatnya, gadis yang sedang dipingit pun mengambur menuju masjid. Bilal datang lagi!“Mungkin inilah yang dirasakan warga Palestina, azan ada shalat tak bisa,” kata seorang kawan pada saya kemarin.

Bisa jadi, kita yang tak pernah merasa perih,diberi rasa itu oleh Tuhan, bak rakyat Palestina.Ternyata: yang penting itu bukan masjid mega, pelantang suara yang mahal, tapi kesehatan. Kalau negeri sedang sehat, kita bisa dengan damai beribadah, nyaman dan tenang. Hikmah lainnya,patuhi ulama dan pemerintah.Hikmah berikut: persaudaraan.

Jika situasi ini berlanjut terus, maka tindak-tanduk ekonomi pasar harus disetop. Kini saatnya berbagi. Yang punya banyak beras, bagi, yang punya uang berlebih maka bagi. Yang mengumpulkan zakat bagi. Pemerintah alokasikan uang untuk rakyat. Kata Prof Elfindri di kolom Singgalang, perlu Rp17 miliar sebulan untuk membantu warga miskin terkena corona dan dampak sosialnya di Padang. Jika bersama ini ringan, jika nafsi-nafsi alangkah beratnya.Pertama

Ini pertama dalam ingatan saya, umat Islam tak melaksanakan shalat Jumat secara resmi. Sebabnya wabah. Sejarah baru ini, adalah tikaman perih dalam kehidupan social dan beragama. Lalu kenapa? Bukan shalatnya yang dilarang tapi berkumpul dan berkerumun. Islam ternyata punya perangkat untuk itu: Shalku fi buyutikum.Kenapa dilarang? Menular. Anda sakit, pindah pada orang, orang itu punya anak bini, dia mati, dengan siapa anak bininya tinggal. Anda sehat, kena bini orang, anaknya siapa yang membesarkan. Anda sehat, kena oleh orang sakit, Anda mati, siapa yang akan menolong keluarga selanjutnya. Jika jumlahnya deret ukur?

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini