Tak Berkategori  

Marwah Minangkabau, Buka Jahitan di Sayapmu

Khairul Jasmi.(ist)

Dipancing oleh Prof Ganefri, maka menulislah sejumlah intelektual “marwah Minangkabau,” di Singgalang. Satu hal yang perlu dicatat, hampir semua orang hebat zaman lampau itu adalah penulis, sastrawan atau wartawan. Intinya, ia memberikan isi pikirannya pada orang lain lewat tulisan, juga dengan oral. Berbicara.

Kita selesaikan sebentar masalah “doeloe” ini. Doeloe, ada dua hulu kehebatan orang Minangkabau, pertama Mekkah dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Muridnya, ulama yang kita kenal sebagai “ulama-ulama besar Minangkabau” yang punya lembaga surau atau madrasah. Murid-murid dari murid-murid itu melahirkan pemikir ulung kaum intelektual Islam Minangkabau. Kedua, berhulu ke Amsterdam. Yang bersekolah sampai ke sana atau di sini saja di sekolah Belanda.

Kedua kelompok kaum terdidik ini, sebagian besar memiliki dasar adat dan kebudayaan Minangkabau. Yang disadari atau tidak, membantuk caranya berpikir. Ada yang menyebut ” surau lapau rantau” sebagai terminal para intelektual itu.

Yang muncul kemudian orator, pemikir, politikus, pejuang, negarawan, ulama, ulama-negarawan, wartawan, sastrawan dan budayawan. Tak kalah hebatnya pemikir-pejuang perempuan, yang jumlahnya sangat banyak.

Kenapa bisa? Karena ada jalan dan kemauan. Jalan yang dimaksud adalah, memang ada madrasah dan surau lantas ada universitas hebat yang hendak dituju yaitu Masjidil Haram di Mekkah. Di sana belajar bertahun-tahun. Juga di Al Azar, Kairo. Juga sekolah sampai ke Belanda yang juga luar biasa banyaknya dari Minangkabau.

Jalan yang lain adalah jalan sesungguhnya, lebuh raya dan jalan kereta api. Menurut catatan Prof Gusti Asnan, sehabis Perang Paderi maka Belanda memperlebar jalan dagang dari Padang ke semua penjuru Minangkabau. Kemudian ada jalur kereta api, yang di daerah lain tidak ada. Jadi akses ke sekolah gampang.

Berikut, di beberapa nagari ada lumbung bea siswa. Dananya dikumpulkan oleh nagari dan siapa yang akan pergi jauh untuk sekolah, dananya dipakai. Nanti kalau sudah bekerja, diganti lagi, baik lansai atau diangsur-angsur. Terakhir, “kemauan.” Di atas semua itu: tantangan. Baik tantangan dari masyarakat ataupun dari keadaan negeri yang dijajah.

Akibat proses itu, lahirlah orang-orang hebat. Mereka kemudian mencurahkan isi kepalanya lewat perbincangan dan menulis. Bukankah di Minangkabau pada era 1910 sampai kemerdekaan, penerbitan muncul dimana-mana. Bukankah Balai Pustaka adalah rumahnya sastrawan Minangkabau?

Dan sekarang

Sekarang, tak ada yang kurang, bahkan lebih. Diaspora Minangkabau luar biasa banyaknya. Sekarang, sekolah tak terbilang. Orang Minangkabau atau orang Minang ada di hampir semua aspek kehidupan dan yang mamacik banyak.

Lalu kenapa disebut atau dirasakan oleh kita “Minang tak seperti dulu lagi?”

Dalam analisa dangkal saya, Minangkabau itu hebat dulu dan (mungkin) tidak sekarang disebabkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, orang pintar dari kampung kita ini, tak membagi ilmunya kepada kita-kita lewat berbagai media yang tersedia. Jika pun dibagi, dilakukan dengan rasa malu-malu atau malas. Kenapa malas? Karena, “mengecek se, cubo banalah. ” Telah dibagi tapi tak ditanggapi dingin. Kenapa dingin? Karena tungku dingin pula. Kenapa tungku dingin? Karena ekonomi tak kunjung membaik. Kenapa tak membaik? Karena yang mesti memikirkan tak memikirkannya, juga tak bertindak. Kenapa demikian? Karena yang kita pilih bukan pemimpin tapi pemenang. Mengapa demikian? Karena kecenderungan umum di Indonesia demikian.
Sejak kapan kita kehilangan pemimpin? Entahlah, bayangkan saja sendiri.

Kedua, Indonesia sedang membangun hal baru melalui pemilu, sehingga cara Minangkabau membangun kapasitas pemimpinnya, tidak terpakai. Sesuatu yang dipilih akan mengantarkan ia ke puncak yang sempit dan untuk itu perlu menyingkirkan banyak orang. Berdiri di puncak yang sempit, sendirian, tidak akan kokoh. Jadi, tidak ada waktu untuk berpikir lain, kecuali tetap di puncak.

Itu jika kita mau menyalahkan sesuatu di luar diri sendiri. Kalau dipandang ke dalam individu-individu, apa yang bersua?
Mesti melihat ke rumah tangga dimana anak dibentuk. Ia akan dewasa sesuai cetakan dari rumah.

Generasi yang sekarang berusia 50-60 tahun lahir di zaman bergolak. Disusul generasi di bawahnya yang lahir 1970-an dan 1980-an. Dua generasi itu yang sebenarnya mesti mewarai Indonesia. Generasi sesudahnya, saya kurang paham, karena cara berpikir dan bertindaknya sudah berbeda.

Generasi saya, telah memburu sekolah hebat, sesuai kehendak orang tua. Golnya, agar kelak, hidup tenang di hari tua. Ada uang pensiun. Tentu tak semua, tapi mayoritas. Maka buruannya adalah PNS atau kerja di sektor bank, swasta dengan gaji besar.

Ketika mereka jadi orang tua dan punya anak, hal itu diharapkan lagi. Istilah Prof Rhenald Kasali orang tua menjahit sayap anaknya dan menukar kepalanya dengan kepala anaknya.
Lalu kemudian muncullah sekolah favorit dan jurusan idaman. Hadirnya les-les mata pelajaran/bidang studi. Dengan sistem semacam ini, talenta seseorang, bisa terkubur atau tak diketahui sama-sekali.

Tapi itu, bisa saja menjadi “alasan” belaka, sebab sebenarnya bukan itu. Lalu apa? Dimana pun orang sekolah “kalau ka jadi mancik, sajak ketek lah bulek ikuanyo.” Seseorang tidak menemukan bakatnya, jikapun ditemukan, tidak diasah. Lalu, takut akan masa depan, “kalau-kalau tidak cerah.” Itu pun sebenarnya masih bisa dipengaruhi, untuk diubah.

Isi kepala

Jika merujuk ke masa lalu, maka para bapak bangsa yang berasal dari Minangkabau, ternyata senantiasa menulis. Peluang itu sekarang terbuka jauh lebih lebar. Jenis media makin banyak. Materi tulisan apalagi. Yang kurang, kemauan.

Memberikan isi kepala kepada orang lain lewat tulisan, akan dibaca ribuan orang, lebh hebat dari bicara dari mimbar. Ini, dibuktikan oleh Abdullah Ahmad pendiri Adabiah. Dibuktikan semua bapak bangsa, belakangan jauh ke sini dibuktikan oleh Saldi Isra dkk dari Universitas Andalas.

Itu pun belum. Belum cukup untuk mengangkat marwah Minangkabau. Banyak benar, lalu apa lagi? Kesepakatan komunal. Ini bisa lahir dari kesadaran bersama. Sekarang, kita mesti mencari alamat untuk menyampaikan kebenaran. Ini yang sulit di Sumatera Barat, kata kawan saya Ade Edward, lulusan ITB. Yang juga sulit, ” mau mendengar.”

Kawan saya yang lain, Ir. Yosviandri direksi di Semen Indonesia, saat bertugas di Padang, berkata: secara bersama-sama dan dengan kesadaran penuh, perlu perubahan pola pikir. Bicara sesuatu harus dimulai dengan aura positif.

Membentuk kesadaran bersama, bukankah pekerjaan gampang. Imbau ke imbau, tulis ke tulis, kata seorang kawan di wag TOP100, “emak-emak ndak baco berita.” Jadi tak sampai pesan ke bawah.

Bagaimana bisa sampai? Lewat saluran serabut. Apa itu? Sekarang ada lembaga selain media yaitu MUI, LKAAM, Bundo Kadang, KAN, Walinagari dan para tokoh.

Tapi apa bisa? Berapa pula ongkosnya?
Saya ingat, ketika MTQ Nasional ke-13 di Padang, semua pria memakai peci, termasuk para sopir. Sekali imbau saja oleh Pak Azwar Anas. Rasa hormat pada pemimpin waktu itu luar biasa. Saya kira kita perlu kembali menjemput rasa hormat itu. Tapi, dijemput-jemput saja, kemana akan dialamatkan?
Maka kita memerlukan seseorang atau lebih untuk membangun (kembali) kesadaran kolektif, tanpa ada embel-embel untuk marwah dan sejenisnya. Sadar saja, pasti akan ada hasil. Padi ditanam, padi tumbuh.

Jangan harap, semua tulisan soal marwah Minangkabau, akan sempurna. Jangan harap pula, akan membuat motivasi hebat pada tiap individu Minangkabau. Apalagi “mambangkik batang tarandam.” Semestinya istilah ini dibuang saja, atau tinggalkan sejenak. Menurut penelurusan saya, istilah itu muncul karena batang (pakayunan) untuk membangun rumah memang direndam berlama-lama bahkan bertahun-tahun dalam lunai di tabek, sambil juga menunggu uang cukup.

“Masa depan adalah sekarang,” ini mesti dipegang, kalau tak mau tak apa-apa. Saya pernah membaca, tapi lupa dimana, “tentukan pilihan sebelum usia 30,” sebab segala sesuatu yang baru dimulai, seringkali jauh dari harapan. Tidak pernah padi ditanam langsung berbuah. Ada tangga kehidupan. Yang jelas, bekerjalah dengan otak. Orang yang bekerja dengan otak, akan menerima penghasilan lebih banyak. Apalagi bicara dan menulis dengan memakai pemikiran, akan luar biasa.

Menjelang tulisan ini saya akhiri : Jangan terlalu asyik dengan politik, nanti dijualnya Anda oleh orang, sehingga kita jadi tukang sorak saja, tidak pernah menjadi pemain. Kita jangan jadi pemain, tapi jadilah manajer tim.

Ketika itulah kita mesti kembali ke rumah, sebagai orang tua, sudah cukup kompetenkah Anda menjadi orang tua?
“Anak-anak tidak tiba-tiba menjadi nakal dan bermasalah. Penyebabnya hanya satu, ayah ibunya tidak memiliki kompetensi sebagai orang tua. Yuk jadi orang tua betulan, bukan kebetulan jadi orang tua,” tulis Yesi Elsandra di Wag MDGN/TF Pendidikan yang saya ada dalam grup itu.

Cocok Kalau cocok, bukan hanya keberhasilan KB yang mesti dinilai oleh pemerintah, tapi tumbuh kembang anak. Sulit memang. Zaman dulu, jangankan tumbuh kembang, bareh se maha, negara terjaga, pitih sarik

Jadi apa nih yang salah babenta-benta tak karuan saja tulisan ini sejak tadi? Rumah tampak, jalan tak ado. Gana se wee. Maghaman je. Tak tentu yang akan dikerjakan. Buka jahitan sayap itu, terbanglah burung kelana Minangkabau. Cubo lah, bisa mah.

Demikian grese pese saya. (***)