Melepaskan Lumpur Politik Bank Nagari

×

Melepaskan Lumpur Politik Bank Nagari

Bagikan berita
Foto Melepaskan Lumpur Politik Bank Nagari
Foto Melepaskan Lumpur Politik Bank Nagari

Oleh Ilham Aldelano AzreKONVERSI Bank Nagari menjadi Bank Syariah tentu saja tidak bisa dilepaskan dalam perspektif politik dan kekuasaan. Bahkan pada pilkada lalu salah satu paslon gubernur melalui tukang sorak” yang jelas memiliki kepentingan politik elektoral mengeluarkan poster-poster yang melegitimasi bahwa hanya ada satu partai  dan satu-satunya calon yang mendukung konversi Bank Nagari ini menjadi Bank Syariah. Hal ini bahkan sempat memancing debat dalam ruang publik dengan beberapa anggota DPRD Sumbar.

Sebenarnya ini juga merupakan hal yang wajar karena menurut Roe (2003) faktor politik seringkali tidak terlihat dan hampir tidak pernah dianalisis, tetapi justru berpengaruh terhadap bentuk, struktur, dan tata kelola perbankan di banyak negara. Seperti diketahui, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) berperan sebagai pemilik (shareholders) dan DPRD berperan sebagai mitra. Apalagi pemerintah daerah sebagai shareholders ikut dalam mengesahkan peraturan daerah yang terkait dengan Bank Nagari ini.  Tidak terhindarkan keterlibatan pemerintahan daerah memberikan dukungan politik pada proses perubahan ini pada akhirnya dapat menyebabkan munculnya intervensi politik (political interference) dalam pengelolaan Bank Nagari. Menurut Umanto (2011) terjadinya konflik kepentingan utamanya diantara agent yang diidentifikasi oleh Aoki (2001) sebagai polity atau political domain dalam wujud pemerintah daerah dan DPRD. Perlu adanya konsensus politik bersama untuk menyeimbangkan kepentingan (balanced interest) diantara dua lembaga tersebut. 

Penulis ingin memberikan contoh misalnya dalam penelitian Center for Governance, Public Policy and Business Studies Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia mengenai Tata Kelola Perusahaan pada Bank Pembangunan Daerah, menunjukkan temuan mengenai tata kelola BPD berada pada “Tangan-Tangan Gaib” karena adanya Political Leadership dalam hal ini Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan Shadow Authority (DPRD) yang kemudian mengakibatkan adanya risiko politik dalam tata kelola BPD akibat dua hal ini. Namun dalam political leadership ini memiliki peluang yang lebih langsung dalam mempengaruhi tata kelola dengan cara 1.) Pemilihan dan Suksesi Direksi 2.) Intervensi langsung dalam pengelolaan. Bahkan dalam penelitian tersebut dengan mengutip pendapat Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah “ Yang Paling mengkhawatirkan dari Tata Kelola BPD adalah intervensi pemilik (Pemegang Saham Pengendali), intervensi ini sangat politis karena heavy nya paling gede/besar”. Bahkan Gubernur NTT Viktor Laiskodat dalam penelitian yang sama juga menyatakan “ Sebenarnya kalau Gubernur mau korup, dia jangan korup di tender-tender proyek Pemerintahnya, dia korup saja di Bank Daerah. Tergantung sekali dengan Gubernur karena direksi dan komisaris yang ditempatkan tergantung Gubernur. Kalau dia tidak punya visi di sisi perbankan yang bagus, menurut saya itu tidak akan maju”.  Sehingga bukanlah hal yang aneh apabila dalam setiap RUPS mengenai pergantian direksi atau komisaris, publik akan mendengar adanya calon direksi yang kasak-kusuk melakukan lobi kepada pemegang saham pengendali (gubernur) atau bupati/walikota untuk diusulkan menjadi direksi. Selain itu, penulis juga pernah berdiskusi dengan salah seorang pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku Lembaga yang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya perbankan, salah satu kekhawatiran terbesar dari OJK adalah adanya pergantian kepemimpinan kepala daerah setelah Pilkada, yang memungkinkan terjadinya perubahan struktur pengelola BPD secara drastis dengan menempatkan orang-orang terdekat/titipan Pemegang Saham Pengendali (gubernur) baik itu sebagai Direksi ataupun Komisaris. Hal ini tentu saja akan mengganggu sustainability usaha perusahaan, guncangan psikologis terhadap karyawan dan secara tidak langsung akan berpengaruh trust nasabah kepada pengelola/manajemen Bank.

Gambaran di atas menunjukan bagaimana intervensi/tekanan politik Pemegang Saham Pengendali sangat menentukan keberlangsungan ekosistem/ budaya Governance yang ada pada BPD dan itu bukan tidak mungkin terjadi pada Bank Nagari karena karakter serta model serta struktur BPD di seluruh Indonesia tidak jauh berbeda. Untuk mengantisipasi hal ini dalam PP 54 Tahun 2017 tentang BUMD dalam aspek pengawasan juga terdapat keberagaman aktor, keberagaman aktor ini keberagaman aktor (agent) pada satu sisi akan berdampak positif sebagai media check and balances dalam pengelolaan Bank Nagari agar lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun di sisi lain juga akan mempengaruhi kinerja apabila terjadi moral hazard atau praktik rente dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut. Selain itu Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan mampu untuk menegakan aturan-aturan main dunia perbankan sehingga aspek GCG diterapkan secara disiplin dan adanya partisipasi aktif masyarakat untuk mengawasi Bank Nagari sehingga Bank Nagari tidak terjebak dalam pusaran lumpur politik kekuasaan. (***)

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini