Mengulik Angka 7 Persen

×

Mengulik Angka 7 Persen

Bagikan berita
Foto Mengulik Angka 7 Persen
Foto Mengulik Angka 7 Persen

Oleh: Ronny P SasmitaBaru-baru ini, beberapa tokoh mengajukan teori baru terkait relasi kepemimpinan provinsi Sumbar mendatang dengan perkembangan ekonomi daerah yang seharusnya bisa dicapai (expected provincial economic growth) untuk mengakselerasi kemajuan Sumbar. Dua nama yang telah menyampaikan pendapatnya adalah Profesor Elfindri dan Khairul Jasmi. Teorinya, calon pemimpin Sumbar harus berani mematok dan memvisi-misikan pertumbuhan ekonomi 7 persen, lengkap dengan strategi kebijakannya. Diyakini, angka 7 persen bisa diraih di satu sisi dan bisa pula mengakselerasi kemajuan di Sumbar di sisi lain. Benarkah?

Pertama, apakah angka 7 persen adalah angka yang plausible untuk dicapai, dalam keadaan ekonomi yang cenderung stagnan sebagaimana hari ini? Secara teoritik, tentu ada celah. Setidaknya di tahun pertama, atau minimal tahun kedua berkuasa, angka bisa bergeser ke 6 persenan seperti lompatan yang dilakukan Anies di Jakarta. Dua tahun terakhir era Ahok, ekonomi Jakarta hanya mampu menorehkan angka 5 persenan. Dan di tahun pertama Anies berkuasa, angka sudah berada di level 6 persenan, dengan kenaikan di atas 0,50 persen.Untuk mencapai 7 persen setelah itu, Anies kewalahan, karena memang tak ada lompatan kebijakan yang signifikan di Jakarta, kecuali bertumpu pada investasi megaproyek sekelas MRT dan LRT, penambahan ruas jalan Tol, dan sejenisnya. Walhasil, di tahun ketiga, angka torehan Anies mulai melandai, walau tak sampai "nyungsep" lagi ke 5 persenan. Naasnya, di awal tahun, bencana banjir menghampiri dan diperkirakan akan ikut merontokan denyut perekonomian Jakarta di kuartal pertama tahun ini. Apa boleh buat, Anies mesti ngebut dengan cara yang cerdas jika ingin tetap bertengger di angka 6 persen.

Tentu situasi Sumbar berbeda dengan Jakarta, mulai dari skala, supporting system, dan berbagai kemudahan yang banyak terdapat di Jakarta. Sementara di Sumbar, untuk mendapatkan angka kenaikan di tahun pertama sekira 1 persen, maka dibutuhkan dorongan pengeluaran sebesar rata-rata 6 Triliunan pertahun dalam lima tahun masa pemerintahan gubernur baru, detailnya 4-8 T selama lima tahun (PDRB Sumbar plus minus 62 T). Artinya jika di tahun 2021 angka PDRB sekitar 68 T (asumsi 2019 dan 2020 pertumbuhan 5 persen), maka dibutuhkan PDRB sekitar 72 T di 2021 untuk pertumbuhan 6 persen (6 % dari 68 T adalah 4,08 T). Dan diperlukan pertumbuhan nominal sebesar 5 T (PDRB menjadi 77 T) di tahun 2022 untuk mendapat angka 7 persen. Dan jika angka 7 persen diasumsikan tetap sampai 2025, maka PDRB Sumbar jadi sekitar 94 T di akhir masa jabatan Gubernur baru.Dari gambaran kasar di atas, rasanya memang bukan tugas mudah untuk menorehkan angka 7 persen. Tapi, tidak mudah tidaklah berarti tidak mungkin. Celah masih menganga lebar, jika mau memanfaatkannya (Cagubnya mesti literate dan highly motivated mewujudkannya), maka peluang akan didapat. Untuk itu, kita perlu menyigi kondisi perekonomian Sumbar secara mendalam. Dari sisi kontribusi, konsumsi rumah tangga masih memiliki peran dominan, lebih dari 50 persen. Sayangnya, konsumsi rumah tangga berturut-turut hanya tumbuh 4-5 persen.

Artinya, pertama, sebabnya bisa karena pendapatan masyarakat secara keseluruhan stagnan, baik karena rendahnya pelebaran lapangan kerja dan lambatnya tingkat kenaikan pendapatan, maupun, kedua, karena meningkatnya biaya hidup, dan ketiga, karena ada faktor yang menahan laju konsumsi selain itu, seperti kenaikan tingkat tabungan, dll. Saya cukup meyakini faktor yang pertama dan kedua berperan penting dalam menyebabkan stagnasi konsumsi rumah tangga di Sumbar. Untuk meningkatkannya, tentu dengan kenaikan pendapatan, agar laju konsumsi masyarakat juga naik.Cara paling umum adalah dengan, pertama, pelebaran lapangan kerja via investasi. Bahkan kata para tokoh, investasinya harus besar. Tentu secara teori benar adanya. Tapi secara faktual, Sumbar tak pernah berhasil membuktikannya. Investasi besar hanya jadi teori "lapau". Belum ada investasi besar yang berhasil didatangkan, kecuali yang masuk ke dalam investasi strategis nasional seperti panas bumi. Sementara itu, jalan tol masih terbilang gagal. Jadi strategi ini harus direvisi, sebelum kita semua jadi pemimpi-pemimpi manis yang malas bangun pagi. Yang terbukti adalah investasi sedang dan kecil, maka mau tak mau, arah fiskal harus memberi prioritas ke sana.

Cara lainya, konsumsi akan naik, jika pendapatan naik karena produktifitas juga naik. Mari kita bayangkan, pertama, karena sektor pertanian adalah yang dominan, baik kontribusi maupun serapan tenaga kerja, maka produktifitas faktor produksi pertanian harus naik. Jika sebelumnya satu hektar lahan bisa menghasilkan 6-7 Ton Jagung, maka dua tahun ke depan harus jadi 10-12 ton. Maka penghasilan petani jagung kan naik. Muhamad Rahmad, baru-baru ini berhasil membuktikannya di 50 Kota, walau secara nasional 12 ton adalah angka rata-rata nasional.Artinya selama ini profuktifitas lahan jagung masih berada di bawah nasional. Jadi tidak perlu berlebihan, cukup menyamakan dengan nasional menjadi 12 ton per hektar. Agar tidak menggerus harga jagung, pemerintah harus mendorong bertumbuhkembangnya industri pakan, yang juga akan menambah peluang kerja dan pendapatan di sektor pakan ternak. Penataan via regulasi dan insentif di sentra-sentra ternak mutlak diperlukan, agar investasinya berkembang. Sokongan infrastruktur, kemudahan usaha, insentif pajak, dan lainya, harus dirumuskan. Sementara dari sisi petani jagung, untuk meningkatkan hasil, dibutuhkan investasi tambahan, maka sokongan regulasi, insentif, dan kemudahan harus dirumuskan pula, mulai dari rekayasa teknik cocok tanam (teknologi), insentif pupuk dan pemeliharaan, dan jaminan pasar yang didapat dari pertumbuhan usaha pakan ternak tadi.

Hal yang sama bisa dilakukan pada petani sawit yang prudiktifitas lahannya sangat rendah, jauh dibawah perkebunan besar. Kenaikan produktifitas lahan sawit akan meningkatkan pendapatan petani sawit di satu sisi dan akan memperlebar volume ekspor CPO di sisi lain. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi seperti petani jagung di atas di (sisi petani), dan di sisi industri CPO pun demikian. Lalu subsektor holtikultura. Harus ada intervensi kebijakan, fiskal, dan kelembagaan di sentra-sentra holtikultura seperti Alahan Panjang. Selama ini, kenaikan hasil panen disambut dengan kejatuhan harga, karena terlalu banyak supply.Maka jalan pertama adalah menyiapkan kelembagaan penyimpanan, storage, agar hasil panen bisa ditahan sampai harga kembali stabil. Rencana ini bisa dengan melibatkan swasta atau bisa juga dengan intervensi langsung via BUMD, ataupula bauran keduanya, joint-venture. Kedua, dibutuhkan investasi hilir seperti pabrik saus, misalnya, sebagaimana yang pernah diceritakan Dony Oskaria di salah satu Grub WA. Atau ketiga, memfasilitasi hasil panen masuk ke pasar yang baru, seperti provinsi lain, atau keluar negeri.

Karena dengan kepastian permintaan seperti itu akan menyambut pertumbuhan hasil panen holtikultura yang kemudian akan mengangkat pendapatan petaninya, lalu akhirnya meningkatkan konsumsi. Hal serupa bisa di-copy paste untuk komoditas unggulan lainya. Termasuk untuk subsektor perikanan, baik darat maupun laut. Dengan kata lain, revitalisasi pertanian (perikanan) harus dirumuskan secara komprehensif di satu sisi dan dorongan fiskal, regulasi, serta insentif harus diarahkan ke sana secara terukur, mulai dari infrastruktur pertanian, teknologi, kelembagaan dan SDM, di sisi lain.Selanjutnya, menghidupkan sektor potensial yang tertidur, yakni pariwisata. Potensi Sumbar tak perlu diragukan lagi, tapi destinasi-destinasinya tak berkembang, sehingga investasi pariwista pun bergerak bak siput. Jadi arah fiskal daerah, setelah sektor pertanian, mesti ke arah pariwisata. Infrastruktur, regulasi, dan insentif, di destinasi-destinasi potensial harus diprioritaskan. Penyempurnaan 3 A (aksesibilitas, amenitas, dan atraksi) di semua destinasi unggulan mesti dibereskan. Pasar-pasar utama, seperti Malaysia, Singapura, China, Vietnam, Thailand, Timur Tengah, dan lainya, harus diperjuangkan untuk mendapat akses mudah ke Sumbar. Langkah pertama sudah dimulai oleh Marawa Grup yang berencana menginisiasi beberapa penerbangan charter dari beberapa kota di China ke Padang dan mempersiapkan beberapa destinasinya. Semoga menjadi penerbangan resmi dalam waktu mendatang dan diikuti oleh penerbangan-penerbangan langsung lainya.

Sektor pariwisata adalah salah satu quick win Sumbar, tapi tidak semudah membalik telapak tangan. Dengan asumsi minimal satu turis membelanjakan uang 1-2 juta di Sumbar, maka hasilnya tinggal dikalikan dengan volumenya. Itulah kue ekonomi untuk kita. Bukankah menggiurkan. Uang tersebut akan menyebar untuk akomodasi, transportasi, kuliner, oleh-oleh, tiket masuk destinasi, dan lainya, yang porsi pajaknya bisa dihitung dengan mudah. Tapi sayang, Marawa Grub berjuang sendiri. Masih untung Ownernya orang Padang, jadi beliau tak memilih Sumut atau Riau atau Batam Kepri untuk berinvestasi. Jadi ke depan, fiskal, regulasi, insentif dan disentif, mesti mengarah pada penyiapan ekosistem pariwisata Sumbar, yang akan memberikan segala kemudahan di sektor pariwisata, baik untuk wisatawan, pengusaha pariwisata (rerata investor menengah) , UMKM Pariwisata, Kelembagaan Pariwisata, maupun masyarakat yang terimbas.Bauran kebijakan yang apik, komprehensif, dan terukur untuk meningkatkan pendapatan di satu sisi dan meningkatkan permintaan di sisi lain (supply side dan demand side), termasuk meningkatkan kualiatas SDM dan kelembagaan di dalamnya, yang terkait dengan sektor dominan, sektor unggulan, dan sektor potensial, adalah cara terencana untuk menggenjot angka pertumbuhan menjadi 7-9 persen di tahun ketiga berkuasa dari gubernur baru dan selanjutnya. Goresan ini hanya kalkulasi di atas kertas. Secara tak langsung, akan terjadi pula bauran komponen pertumbuhan selain konsumsi, seperti investasi, belanja pemerintah, dan ekspor-impor

Bahkan jika diperlukan angka-angka detailnya pun, sebagai roadmap tematik, masih bisa digoreskan sembari duduk minum kopi, tapi di atas kertas. Karena secara faktual, selain keberanian pemimpin daerah, juga diperlukan kearifan dan kelincahan berdiplomasi dari seorang Gubernur dengan kepala-kepala daerah kota dan kabupaten, untuk menyamakan persepsi, visi misi, strategi, regulasi, dan kebijakan. Rencana strategis yang bagus di atas kertas akan menguap jika pemimpin-pemimpin daerah di Sumbar, terutama koordinator provinsinya (gubernur), berjalan sesuai arah pusar masing-masing. Syarat ini jadi variable lanjutan dari pertanyaan apakah 7 persen angka yang mungkin di raih. Uraian saya menjawab mungkin, tapi itulah syarat lanjutannya. Kalau pemimpinnya tak lihai, maka arah kebijakan masing-masing daerah bisa bertabrakan. Dibutuhkan gubernur yang mantap bergandengan dengan semua kepala daerah.Jadi sebagaimana uraian saya di atas, jawabannya tidak terletak ada pada investasi besar, karena investasi besar tak lahir begitu saja, tapi lahir dari kalkulasi-kalkulasi makro-mikro, yang menghendaki pembenahan di segala lini kebijakan di satu sisi dan dari raihan ekonomi yang progresif di sisi lain. Kalau Sumbar bisa menorehkan angka 7-9 persen stabil dalam beberapa tahun, maka peluang investasi besar untuk masuk juga semakin besar. Ini logika bisnis biasa, yang dipakai oleh investor manapun. Tidak mungkin ada investasi besar kalau kita gagal membuat kue ekonomi kita menjadi besar. Nah, itu pointnya.

(Warung Kopi, 5 Januari 2019)

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini