Khairul Jasmi
Beberapa layang-layang darek berekor panjang tampak meliuk dengan gagah, di udara setentang pertemuan kaki duo gunung, Singgalang dan Marapi. Di bawah layangan itu, ada bangunan bagonjong, dengan atap menusuk langit. Saya menandang hal demikian dari teras The Balcone Hotel, di kawasan Gadut, Bukittinggi, pada Jumat (31/7) sore. Di sini, sore seperi dihamparkan bidadari, sebagai hadiah untuk siapa saja, terutama untuk menemukan nikmat Tuhan dengan amat lekas.
Kaki dua gunung, melandai, memberi ruang pada rakyat di kakinya, untuk membuat pemukiman dan ladang-ladang pertanian. Di hadapan, yang lebih dekat ke sini, rimbun hutan ujung Ngarai Sianok, terlihat seperti juntaian bunga di jambangan. Lebih ke sini, di dekat saya duduk, pasangan ramai menikmati angin yang menjatuhkan anak-anak rambutnya. Di kolam renang, ayah menemani anak-anaknya berenang di bawah suhu yang lumayan dingin. Sepasang suami-istri, duduk di meja kecil berkursi dua, menikmati seduhan hangat dari restoran hotel ini. Pasangan itu menikmati jalan berliku di bawah dan sebuah masjid minimalis dengan warna mencolok nan rancak. Mereka memainkan kamera telepon genggamnya, membidik panorama alam yang aduhai.
Sore menjelang senja itu, matahari tertutup awan tipis. Lalu, ada biang, kemudian terang. Cahayanya, melandai sejuk, menyapu kawasan Gadut sampai ke tugu Avro Anson yang terkenal itu. Cahaya itu, menyapu kulit orang-orang yang ada di sini dan mereka menikmatinya.
Awan turun dengan lekas di kaki kedua gunung panoramik itu. Samar. Bayangkan tubuh Singgalang masih terlihat. Marapi sudah lenyap. Layang-layang masih tampak menari di udara. Layang-layang berekor cindai warna putih telah pergi, tersisa satu layang-layang bondo tanpa ekor, seperti hendak menunggu gelap datang.
Dan pucuk-pucuk pinus itu, bergoyang halus disapa angin sore, di bawah sana, jalan membentang mulus menuju Bonjol, terlihat agak sibuk. Ini Hari Raya Idul Adha,tapi banyak orang sudah berwisata, mungkin telah sumpek di rumah. Lalu pergi keluar mencari angin, pas seperti layang-layang warna biru, yang tiba-tiba dapat angin, lalu naik membubung melewati layang-layang bando yang sedari tadi sendirian mengawani langit.
Sekejap kemudian di dekat layangan itu, muncul pelangi pontong. Satu kaki.Sebentar saja, lenyap lagi. Begitu lenyap, awan di Singgalang, bersibak pula. Kini terlihat jelas lekuk-lekuk tubuhnya yang tua. Panomara alam terbuka lagi. Tampak pucuk-pucuk kehidupan modern, tower dimana-mana. Di dekat sebuah tower yang sepelemparan baru, seekor kuda sedang merumput, melanjutkan tradisi kehidupannya.
Tentang kuda, tadi di Pacuan Kuda Bukit Ambacang, para pemilik kuda, menawarkan wisata khas, naik kuda, keliling pacuan. Rp30 ribu sekali naik. Banyak yang mencoba. Pacuan ini tertua di Minangkabau. Tradisi pacuan kuda paling akrab dengan masyarakat suku bangsa ini.
Avro Anson
Di Gadut ada tugu pesawat terbang, namanya tugu Avron Anson. Tugu di buat dekat lapangan terbang Gadut. Avro Anson adalah pesawat pertama milik Republik Indonesia. Dibeli dengan cara mengumpulkan emas.Ibu-ibu Minangkabau, membuka anting, gelang dan kalungnya untuk disumbangkan pembeli pesawat, sesuai permohonan Bung Hatta. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1947. Karena sejarah berjalan tidak lurus,maka Anvro Anson orang Minang itu diberi nomor RI-003, harusnya RI-001.
Emas untuk membeli dikumpulkan pada Setpember dan pada Desember, pesawat sudah terbeli. Mendarat di lapangan terbang Gadut. Pesawat itu diterbangkan dari Songkhla, Thailand Selatan oleh Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma, untuk mengantarkan kembali pilot yang menjual peswat tersebut. Kembali ke Indonesia, jatuh di Tanjung Hantu. Pilot dan co-pilotnya amat terkenal, namanya jadi nama lapangan terbang, si pembeli pesawat, lama dilupakan. Baru belakangan berkat Mestiza Zed (alm) ditemukan catatan Avro Anson dan dibuatkan tugunya.
Itu dulu, sekarang di sini lapangan terbangnya sudah tidak aktif lagi. Di Ibukota negara RI zaman revolusi ini, sekarang tak ada lagi pesawat melintas. Yang ada ya tugu itu tadi.
Dan, pelangi datang lagi, di sini tak ada yang peduli dengan lukisan alam itu, sebab mereka sedang tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Menikmati cemilan di meja kecil atau berfoto dan ada yang berenang. Angin telah tenang, yang tersisa kini, pendaran cahaya mahatari sore, seolah menyelesaikan tugasnya hari ini, menyapu rata dari pangkal sampai ke Bukitinggi, terus ke kaki Marapi. Saya hendak ke Batusangkar, ke kaki Marapi sebelah sana. Di sini dingin sekali, lain waktu saya akan datang lagi. (*)
Komentar