Menilai Bobot Tulisan Ganefri Dalam Mengembalikan Marwah Orang Minangkabau

×

Menilai Bobot Tulisan Ganefri Dalam Mengembalikan Marwah Orang Minangkabau

Bagikan berita
Menilai Bobot Tulisan Ganefri Dalam Mengembalikan Marwah Orang Minangkabau
Menilai Bobot Tulisan Ganefri Dalam Mengembalikan Marwah Orang Minangkabau

Sahabat saya Khairul Jasmi Pemred Singgalang media tersohor Ranah Minangkabau ini mengirimkan naskah asli tulisan Prof Ganefri, sahabat saya juga seperti judul di atas, yang disiarkan oleh Singgalang (2/6/2022). Tulisan yang sangat menarik yang ditulis oleh seorang tokoh cendikiawan yang kini menjabat sebagai Rektor Uiversitas Negeri Padang (UNP).Tulisan Ganefri menjadi menarik, setidaknya bagi saya pribadi, karena ia mengangkat isu “mengembalikan marwah Minangkabau”. Judul yang ia ketengahkan lebih kurang semangatnya sama dengan kata-kata “mambangkik batang tarandam”, yang sering menjadi mainan bibir orang Minangkabau selama ini. Saya katakan mainan bibir, karena “batang apa” yang terendam dan seperti apa pula “bentuk batang” itu seringkali tidak ada gambaran yang jelas. Barangkali ketidak-jelasan inilah yang membuat semangat kebersamaan yang awalnya menggebu-gebu sering menjadi buyar di tengah jalan, akhirnya pecah kongsi dan jalan sendiri-sendiri di bawah pengaruh kekuatan lain.

Menghadapi persoalan “marwah Minangkabau”, dalam tulisan tersebut Ganefri berkata; “…Orang Minang ke depan harus menjadi pemenang. Kalau pemimpin sekarang tidak mampu  memanfaatkan kekuatan yang ada pada orang Minang saat ini, kita perlu mencari pemimpin baru untuk Sumatera Barat, yang mampu membawa perubahan untuk kemajuan. Banyak politisi hebat, pengusaha hebat, diplomat hebat dan praktisi hebat yang punya talenta untuk memimpin Sumbar. Saat ini juga dibutuhkan elit pemimpin yang tidak sibuk mencitrakan diri, tetapi dibutuhkan orang yang memiliki kinerja yang jelas,” demikian paparan Ganefri.Kalimat-kalimat Prof Ganefri tersebut, dalam keadaan tahun-tahun politik menjelang pemilu 2024 sekarang ini, dapat saja diterjemahkan sebagai bermuatan politik oleh orang-orang politik. Untuk itu, perlu saya garis bawahi bahwa tanggapan saya ini sama sekali tidak ada muatan politik. Saya tidak ingin terperangkap dalam sikap politik, namun saya hanya ingin mengulas dan menanggapi isu utama yang menjadi judul tulisan Sang Rektor, yaitu upaya mengembalikan marwah orang Minangkabau.

Namun satu hal yang menggelitik, dalam melempar teguran/kritiknya Ganefri memakai istilah “elit pemimpin”. Kata elit berasal dari kata Inggris yaitu elite, dan menurut kamus artinya adalah sekelompok orang-orang terpilih yang mempunyai keunggulan tersendiri dalam hal kemampuan yang membuat nilai/mutu diri mereka menjadi di atas rata-rata dibanding kelompok masyarakat biasa. Dengan demikian dalam hal ini, Ganefri adalah juga termasuk salah satu dari kelompok elit ini yang tentunya juga perlu menunjukkan kinerja terbaiknya.Pada bait ketiga naskah asli tersebut, awalnya saya merasa senang karena penulis terkesan ingin menggali akar permasalahan mengapa orang Minangkabau tergeser dari pertarungan peradaban dan pemikiran di negeri ini. Namun akhirnya ternyata biasa-biasa saja, ia tidak menjawab secara lugas dan tajam. Hanya menyitir teori Barat tanpa memberikan sumbangan pemikiran yang tegas dan jelas sebagai pilihan jalan ke luar dari suatu permasalahan yang diapungkannya.

Suatu teguran/kritik yang baik dan cerdas adalah jika disertai dengan memberikan pilihan jalan keluar yang jelas, yang sekaligus menggambarkan nilai pemikiran seseorang dalam memberikan sumbangan (pemikiran) nya. Namun begitu, dalam berbagai pembicaraan dan silang pemikiran yang sering terjadi, ditemukan memang ada kecenderungan para tokoh-tokoh kita yang dewasa ini sering memberikan teguran tanpa memberikan pilihan jalan keluarnya, termasuk juga kebanyakan tokoh-tokoh yang sering berkecamuk di gelanggang media sosial.Kembali kepada masalah/isu yang diapungkan Prof Ganefri, saya sangat setuju sekali bahwa politik kepentingan hasil dari sebuah pertarungan politik membuat kita lengah dalam membangunan peradaban berpikir, malah muatan lokal seperti Budaya Alam Minangkabau (BAM) pun hilangan dalam kurikulum kita dan krisis identitas bahasa, hilangnya budaya malu, raso jo pareso dan lain-lainnya, kata Ganefri lagi.

Meskipun pernyataan ini juga tidak memberikan pilihan jalan ke luarnya, namun menurut hemat saya, di sinilah peran penting dan tanggung-jawab sebuah Perguruan Tinggi, yaitu menggali berbagai masalah dan permasalahan, lalu muncul dengan pilihan-pilihan jalan keluarnya. Kapan perlu orang-orang Perguruan Tinggi setempat harus punya keberanian untuk melahirkan satu teori baru yang sesuai dengan keadaan soio-budaya kita, tidak hanya bergantung melulu terhadap teori-teori Barat. Jika tidak mampu melahirkan teori, paling tidak berusahalah melahirkan satu “model” yang dapat merangkum berbagai masalah terkait, sehingga menemukan dan membuka jalan penyelesaiannya.Memang kata Ganefri; “…telah banyak diskusi, kajian dan debat yang dilakukan baik di dimensi formal melalui diskusi dan seminar, serta kajian riset di kampus atau media massa, maupun secara informal dalam diskusi dan celoteh orang di lapau atau surau sebagai medium komunikasi saluran lokal orang Minang, yang menakar dan memperdebatkan tentang degradasi tradisi pemikiran orang Minang yang surut dan bahkan seperti kehilangan ‘taji’, tetapi tak mampu mengembalikan marwah tersebut.” Saya sangat setuju, tapi akar permasalahan ini yang harus dicari dan digali, tulisan dan jurnal akademis seharusnya diarahkan ke sana.

Selanjutnya Ganefri juga menyinggung bahwa kita hari ini seperti kehilangan platform dalam ekonomi, pendidikan, pariwisata, dan seperti lepas dari kearifan budaya lokal. Hal ini benar adanya. Tapi saya tertarik dengan pernyataan penulis yang mengatakan bahwa kita kehilangan mata pelajaran BAM dalam kurikulum, serta mengalami krisis identitas bahasa. Saya sangat berharap mendapat masukan bahwa UNP sudah melahirkan beberapa penyelidikan terkait dampak hilangnya BAM terhadap masa depan anak cucu Minangkabau.Lalu, soal “bahasa”, dari berbagai rujukan ditemukan bahwa bahasa itu bisa merubah budaya (cara hidup) suatu suku/kaum. Kenyataannya hari ini sekelompok generasi baru Minangkabau tidak lagi berbicara dalam bahasa Minangkabau. Saya temukan juga beberapa orang tokoh kampus, pejabat tinggi daerah, perantau apa lagi, bahasa Indonesia sudah sangat melekat dalam diri mereka. Dalam pembicaraan, penat kita berbahasa Minangkabau dan beliau-beliau itu masih juga dipupuhnya berbahasa Indonesia raya. Untuk itu, sudah berapa hasil penelitian agaknya tentang ini, dan sejauh mana peran dan tanggung-jawab Perguruan Tinggi dalam membicarakan masalah-masalah ini dengan pihak Pemerintah?

Lalu masih terkait soal “krisis identitas bahasa” seperti kata Ganefri, tetapi lucunya plang nama Gedung Rektor UNP sendiri tertulis “Rectorate and Research Centre,” kenapa tidak ditulis dalam bahasa Indonesia saja? Bukankah ini sesuatu hal yang berlawanan antara keperluan menjaga jati diri/identitas bangsa dengan keinginan agar terlihat moderen? Dalam tulisan Pak Rektor sendiri juga saya temukan tidak kurang dari 30 kata-kata Inggris yang sudah di-Indonesia-kan digunakan sebagai cara/gaya komunikasi para cendikiawan zaman kini. Hasil penelusuran saya di lapau-lapau kampung pada 2019, salah satu yang membuat orang pinggiran malas baca koran adalah karena mereka sudah tidak mengerti lagi bahasa yang ditulis media zaman kini. Di sini dapat dikatakan, terjadi perbedaan bahasa antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam masyarakat yang ama, karena keduanya tidak lagi berbicara dalam bahasa yang sama, ini sangat menyedihkan memang. Akhirnya motto “media mencerdaskan bangsa” kenyataannya kini ada yang bertukar  menjadi “media membingungkan bangsa.”Pada saat ini nampaknya UNP merupakan lembaga Perguruan Tinggi terbesar di Ranah Minangkabau dari segi jumlah mahasiswa, yakni 40,062 orang (Langgam, 19/03/22). Artinya Ganefri adalah elit yang kini membawa gerbong besar yang berisi puluhan ribu orang tunas-tunas bangsa, para calon cendikiawan dan pemimpin masa depan. Untuk itu, sementara kekuatan dan pengaruh sedang ada di tangan, seandainya Rektor fokus saja membenahi ke dalam, bukan tidak mungkin akan lahir para calon-calon pemimpin yang akan berada di garis depan dalam menghadapi pertarungan peradaban dan pemikiran itu nanti.

Menurut saya untuk mengembalikan marwah Minangkabau itu perlu ada usaha untuk me-minangkabau-kan kembali orang Minangkabau. Artinya, kita hari ini benar-benar sedang menghadapi persoalan “jati diri”, di mana orang Minangkabau zaman kini sudah tidak tau lagi siapa dirinya. Orang yang kehilangan jati diri itu sama keadaannya dengan orang mabuk atau kurang siuman, dan dalam keadaan begitu biasanya orang-orang ini mudah dipengaruhi. Inilah wujud sesungguhnya yang sering diistilahkan sebagai neo-kolonialisme atau penjajahan gaya baru yang menjajah pemikiran bangsa ini.Di akhir tulisan ini saya menawarkan pilihan jalan ke luar dari permasalahan ini untuk dicoba, yaitu dengan memperkuat “jati diri” orang Minangkabau, dan Perguruan Tinggi adalah tempat yang paling sesuai. Caranya dengan memperkuat pemahaman sejarah, namun dengan pendekatan berbeda. Melalui pemahaman sejarah yang benar (bukan sekadar untuk tau sejarah), dengan demikian orang Minangkabau akan kembali mengenal kekuatan dan kelemahannya. Mereka akan kembali melihat betapa pentingnya kebersamaan, pentingnya merawat pusaka, budaya dan bahasa bagi kehidupan generasi yang akan datang. Paling tidak ketiga aspek ini akan sangat membantu dalam usaha mengembalikan marwah Minangkabau dimaksud.

Saya mengusulkannya karena sudah melalui satu kajian, dan saya sudah membuktikannya. Disisi lain, akar permasalahan dari persoalan yang diangkat oleh Prof Ganefri itu, salah satunya adalah sikap dan perlakuan yang berat sebelah dalam sistem pendidikan bangsa ini terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam. Terima kasih.Kuala Lumpur, 3 Juni 2022

(Catatan: agar tidak disalah-pahami pula oleh pihak lain, saya tidak ada masalah pribadi dengan Pak Rektor, beliau teman saya, saya hanya menyorot dan menilai tulisannya dan itu hal biasa).

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini