Kondisi pendidikan tinggi Sumatera Barat hari-hari ini perlu mendapatkan perhatian menyeluruh dari berbagai stakeholder. Memang slogan Sumatera Barat sebagai kawah candradimuka “industri otak” tak lagi begitu bergema selepas dipopulerkan oleh Prof. Dr. Irwan Prayitno saat menjabat sebagai Gubernur Sumbar 2 periode. Namun, memikirkan perguruan tinggi di Sumbar agar bisa masuk dalam deretan perguruan tinggi elite dan terbaik di Indonesia menjadi suatu kemestian jika Sumatera Barat ingin mendapatkan limpahan finansial yang luar biasa dari dunia pendidikan di tengah minimnya sumber pemasukan finansial dari sektor-sektor lainnya.Pendidikan tinggi bukan sekedar tahapan lanjutan dari pendidikan menengah dan hanya sebatas mendapatkan gelar Sarjana, Master dan Doktor saja. Tetapi pendidikan tinggi bisa menjadi eskalator peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat. Berbagai negara berhasil menjadikan pendidikan tingginya sebagai sumber pemasukan utama bagi devisa negara. Sebagai contoh, United Kingdom (UK). Negeri dengan sederetan kampus terbaik di dunia ini berhasil mencatatkan pendapatan 39.8 miliar poundsterling atau sekitar 739 triliun rupiah pada tahun 2019-2020 hanya dari sektor pendidikan tinggi. Separoh dari pemasukan itu terdistribusikan untuk uang kuliah. Lainnya tersebar dalam berbagai kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa seperti konsumsi, akomodasi, hiburan, hobi, dan bahan bacaan.
UK sendiri juga berhasil melakukan proses persebaran kampus-kampus terbaiknya tidak hanya pada satu kawasan saja atau malah terpusat di ibukota negara. Di utara ada University of Edinburgh. Di timur ada Cambridge University, agak ke selatan ada Oxford University dan UCL, di tengah ada University of Liverpool dan University of Manchester.Apa yang membuat UK menjadi negara tujuan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia? Tak lain dan tak bukan adalah reputasi. Sebagian besar kampus di UK masuk dalam tataran 500 kampus terbaik dunia. Bahkan Oxford University menjadi kampus terbaik se-dunia versi THE. Cambridge University dan University College London masuk 10 besar kampus terbaik dunia. Kampus-kampus UK lainnya yang tidak masuk 500 besar dunia ikutan kecipratan bonus antusiasme mahasiswa internasional berkuliah di UK.
Dalam tataran level nasional, hal itu juga yang berhasil dilakukan oleh Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dalam menggaet mahasiswa dari berbagai daerah untuk datang ke wilayah mereka. Yogyakarta dengan UGM-nya, Jakarta (Depok) dengan UI-nya dan Bandung melalui ITB-nya. Daya tarik 3 kampus terbaik di Indonesia itu menghidupkan keberadaan kampus-kampus lain baik negeri dan swasta yang berada di kota/provinsi yang sama.Demografi mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi di Sumatera Barat sendiri sebenarnya adalah lulusan SMA/SMK/MA dengan status akademik kelas 2 di Sumatera Barat. Anak-anak pintar Sumatera Barat lebih memilih untuk berkuliah di UI, UGM dan ITB meskipun harus bersaing secara ketat dengan remaja-remaja brilian lainnya se-Indonesia. Bisa dikatakan pengisi kursi-kursi perguruan tinggi Sumbar 70-80% berasal dari Sekolah Menengah se-antero Sumatera Barat sendiri. Atau dalam bahasa lain, mayoritas diisi oleh “urang awak juo”. Dua puluh sampai tiga puluh persen lainnya berasal dari provinsi tetangga seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu yang masih melihat pendidikan di Sumbar lebih baik dari tempat mereka. Sangat jarang kita temukan ada mahasiswa yang berasal dari Jawa. Apalagi yang datang dari Kalimantan, Sulawesi ataupun Nusa Tenggara yang berkuliah di Sumatera Barat. Terlihat ada beberapa mahasiswa Papua. Tapi kehadiran mereka karena program afirmasi yang dilakukan oleh pemerintah. Artinya, dari sisi persaingan untuk menjadi mahasiswa baru di PTN Sumbar tidaklah seketat memperebutkan 1 kursi di kampus-kampus favorit di Jawa.
Secara umum dapat dikatakan bahwa input yang diperoleh oleh perguruan tinggi di Sumatera Barat adalah anak-anak dengan level kapasitas intelektual kelas 2. Anak-anak cerdas Sumbar sendiri sudah terbang ke Jawa atau ke luar negeri bagi orang tuanya yang mampu atau mereka sangat outstanding sehingga mendapatkan beasiswa kuliah S1 di LN. Sementara yang masuk dari luar daerah ke Sumbar juga bukanlah mahasiswa kelas 1. Memang tak bisa dipungkiri, masih ada sebagian kecil para juara umum dari SMA/SMK/MA di Sumbar yang tetap kuliah di PT Sumatera Barat karena kesulitan biaya untuk kuliah di rantau atau ada faktor beratnya hati orang tua melepas mereka jauh dari Ranah Minang.Jika perguruan tinggi Sumatera Barat didominasi oleh anak-anak Sumbar sendiri maka aliran kapital yang masuk tidaklah terlalu signifikan. Karena arus uang yang beredar adalah uang-uang yang selama ini sudah terhitung. Efeknya tentu kemunculan bisnis-bisnis baru seperti kos-kosan, kontrakan, rumah makan dan transportasi masih pada level itu-itu saja.
Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjadikan Sumbar sebagai destinasi utama para calon mahasiswa. Yang paling utama tentulah dengan memperjuangkan ranking kampus-kampus di Sumatera Barat masuk pada level 10 besar se-Indonesia terutama untuk perankingan berbasis THE atau QS. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Kampus-kampus di Jawa yang bertengger sebagai 10 kampus terbaik se-Indonesia mendapatkan insentif anggaran untuk bersaing dalam “pacu lari” ranking kampus dunia. Sementara tak terdengar kabar bahwa Unand dan UNP menjadi kampus pilihan yang dimajukan oleh Kemendikbudristek untuk berlaga ke kontestasi global. Dikarenakan tidak ada perhatian khusus, maka kampus-kampus di Sumbar harus pintar-pintar untuk memberikan alokasi anggaran demi menaikkan ranking mereka. Itu sangat terkait dengan jumlah publikasi nasional dan internasional yang bisa dihasilkan oleh dosen-dosen sebuah kampus.Apabila bersaing dari segi institusi cukup berat, sebenarnya kampus-kampus di Sumatera Barat bisa melakukan strategi berbasis Prodi/Jurusan. Dimana sebuah kampus memilih beberapa prodi/jurusan unggulan yang bisa dinaikkan reputasinya ke tingkat nasional ataupun internasional. Caranya adalah dengan melakukan branding keahlian beberapa dosen pada prodi/jurusan tertentu agar bisa tampil di panggung nasional dan internasional. Artinya, mereka diorbitkan untuk mendapatkan atensi publik nasional dan dijadikan referensi keilmuan oleh masyarakat atau pemerintah di level nasional. Salah satu alasan orang tua ataupun calon mahasiswa memilih sebuah kampus adalah tingkat kepopuleran professor dan dosen yang dimiliki oleh sebuah prodi/jurusan. Ketika dosen-dosen pada prodi tertentu di sebuah kampus Sumbar sering muncul di media dan seminar-seminar tingkat nasional/internasional maka secara otomatis ia melakukan kampanye baik buat prodi homebase-nya.
Belakangan UNP sangat giat membuka prodi-prodi baru kekinian level S1/D4, S2 dan S3. Akan tetapi, semangatnya baru pada menjaring market lewat prodi-prodi yang digandrungi anak-anak milineal. Sementara proses menaikkan derajat dan status sebuah prodi sebagai prodi unggulan di level nasional dan internasional masih terasa minim.Unand sebenarnya punya peluang untuk menobatkan jurusan Pertanian dan Hukum-nya sebagai jurusan unggulan bereputasi nasional. Dimana jurusan Pertanian Unand telah dijadikan oleh Dikti sebagai salah satu tempat studi bagi mahasiswa program unggulan percepatan Master dan Doktor dalam negeri. Sementara jurusan Hukum Unand sudah berhasil mengirim Professor Saldi Isra sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi dan beberapa dosen muda-nya menjadi narasumber/pakar hokum yang sering dimintai pendapat oleh media-media nasional. Nah, jika Unand bisa membuat terobosan pencitraan bahwa Jurusan Pertanian mereka adalah jurusan/prodi terbaik untuk belajar Ilmu Pertanian Tropis di Indonesia yang selaras dengan kondisi topografi Sumbar yang terkenal dengan beberapa komoditas unggulan seperti beras, kopi, tebu, gambir, lobak, bawang, cengkeh dan cabe, maka Unand bisa menyalib reputasi IPB University yang secara menyejarah terkenal dengan trademark Pertanian-nya. Apabila prodi Ilmu Hukum Unand bisa menjadi pusat pengkajian Tata Negara dan Korupsi kawakan di Indonesia maka paling tidak Fakultas Hukum Unand bisa sejajar dengan Fakultas Hukum UI dan UGM.
UIN Imam Bondjol Padang bisa menguatkan Prodi Pendidikan Agama Islam-nya sebagai tempat penyetak guru-guru pesantren terbaik di Indonesia. UIN Bukittinggi dimungkinkan melakukan terobosan dari sisi Fiqih Islam dikarenakan tradisi kitab kuning cukup kuat dipertahankan oleh kampus yang dikelilingi oleh pesantren-pesantren lama kenamaan di Sumatera Barat itu. ISI Padangpanjang bisa muncul dengan Prodi Seni dan Budaya Minangkabau. UNP dimungkinkan untuk menggarap secara serius program Pendidikan Bahasa Inggris mereka untuk masuk deretan terbaik nasional karena sebagian besar dosen-dosennya mendapatkan gelar S2 dan S3 di luar negeri.Nah, dikarenakan reputasi perguruan tinggi terikat erat dengan popularitas dan kedalaman keilmuan para dosennya tidak ada salahnya kemudian perguruan-perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat untuk melakukan perubahan radikal dalam proses rekruitmen dosen. Saya melihat ego almamater dan etnisitas masih menaungi pola rekruitmen dosen di Sumatera Barat. Kondisi ini makin diperparah dengan orientasi pemilihan dosen baru yang berbasis “genk-genk” dosen-dosen senior yang berbasis pada like and dislike serta semangat ashobiyah organisasi tertentu.Diversitas dosen di kampus-kampus Sumatera Barat perlu dilebarkan lagi dengan spektrum dan struktur latar belakang etnis yang berbeda. Bisa kita katakan bahwa 80-90% dosen di perguruan tinggi Sumbar adalah orang Minang. Penyakit akut yang menimpa orang Minang itu, jika disandingkan dengan sesama mereka cenderung untuk menegasikan satu sama lain. Dosen-dosen beretnis Minang yang berkiprah di kampus-kampus multikultur di Jawa sangat mudah untuk terlihat dan menonjol dibandingkan dosen-dosen beretnis lain karena mereka bersaing dan berkompetisi dalam ruang etnis yang majemuk. Sementara, di Sumatera Barat mereka bersaing “awak samo awak”. Sehingga semangat yang terjadi lebih kepada sisi sentimentil. Ditambah lagi pameo “Urang Minang itu susah dipersatukan” makin membuat semangat maju bersama di kampus-kampus Sumatera Barat juga tidak sekuat kampus-kampus di Jawa.Kampus di Sumbar memerlukan keberanian untuk mengubah komposisi dosen Minang dan non Minang pada angka 60:40. Itu akan membuka kran masuknya dosen-dosen terbaik dari wilayah lain di Indonesia untuk merubah kultur akademik di Sumatera Barat. Jika mendapatkan “ruang kompetisi” berlain etnis diharapkan dosen-dosen Minang itu bisa meningkatkan kapasitas mereka lebih cepat lagi.
Terkhusus untuk perguruan tinggi swasta di Sumatera Barat, mereka perlu memperkuat struktur tenaga pendidiknya dengan alumni-alumni luar negeri. Rekruitmen khusus buat alumni-alumni luar negeri perlu digiatkan oleh PTS-PTS tersebut. Karena hal ini yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta terkenal di Jawa untuk bisa menggaet banyak mahasiswa dan menarik hati calon mahasiswa yang berprestasi. Rekruitmen spesial itu bisa dengan tagline “Sumbar Memanggil”. Jika para dosen PTS di Sumbar semakin besar komposisi lulusan LN-nya, maka kampus tersebut juga akan memiliki bargaining position yang makin kuat baik di sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat.Tentu saja anak-anak muda Sumbar yang memiliki bakat dan potensi luar biasa serta lulusan S2/S3 dari kampus-kampus terbaik di luar negeri jangan disia-siakan. Seringkali saya melihat anak-anak muda Sumbar yang S1-nya di Jawa dan S2/S3 nya di luar negeri susah untuk bisa menembus seleksi dosen di perguruan-perguruan tinggi Sumatera Barat. Mereka mendapatkan resistensi karena S1nya bukan di kampus tempat ia melamar dan pihak petinggi kampus lebih menyukai inner circle-nya sendiri untuk menjadi kolega akademiknya. Hingga akhirnya anak-anak muda Minang potensial yang ingin mengabdi di Ranah Minang itu kemudian kembali harus merantau dan mengabdikan ilmu mereka di luar Sumbar.
Intinya adalah perguruan tinggi di Sumbar perlu membuka diri dan melakukan akselerasi agar bisa dijadikan sebagai destinasi utama para anak muda di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di level perguruan tinggi.(*)Penulis adalah Putra Pariaman, Dosen Prodi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif, S1 Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, S2 Publishing Media Oxford Brookes University UK.
Editor : Eriandi