Menumbuhkan Kembali Kehidupan Sosial di Apartemen

×

Menumbuhkan Kembali Kehidupan Sosial di Apartemen

Bagikan berita
Foto Menumbuhkan Kembali Kehidupan Sosial di Apartemen
Foto Menumbuhkan Kembali Kehidupan Sosial di Apartemen

[caption id="attachment_32145" align="alignnone" width="604"]Ilustrasi. (cairnhill) Ilustrasi. (cairnhill)[/caption]Oleh Eriandi

Masyarakat Indonesia secara turun temurun telah diajarkan memiliki rasa sosial yang tinggi. Sikap ramah, tegur sapa, bekerja sama, tolong menolong, dan lain-lain. Namun, seiring perkembangan zaman, perlahan sikap sosial tersebut menipis, terutama di perkotaan.Masyarakat di komplek perumahan saja saat ini sudah mulai banyak yang bersikap individualistik. Apalagi, di apartemen dengan bangunan-bangunan tinggi yang berdiri angkuh dan seakan bersaing satu sama lain. Tak mengherankan bila tindak kriminal yang dialami tetangga sebelah, malah tak diketahui oleh tetangga lainnya.

Kala sebagian orang hidup nyaman dalam segala fasilitas kemewahan di sebuah apartemen mewah, sebagian lainnya yang hanya berjarak selemparan batu malah hidup dalam segala keterbatasan. Kala sebagian orang hidup dengan fasilitas keamanan yang ekstra, tapi sebagian lainnya hidup was-was dalam ancaman kejahatan. Kala sebagian orang makan makanan mahal dan enak, tapi sebagian lainnya susah mencari apa yang hendak dimakan.Apa jadinya bila sikap seperti itu terus dipelihara dan malah membudaya. Empati sudah menipis, tolong menolong makin memudar. Yang penting hanya kehidupan pribadi dan keluarga aman, selamat dan sentosa. Sementara, orang lain tak terlalu dipikirkan. Sungguh memiriskan bila kondisi itu terjadi dan membudaya di negeri yang nenek moyangnya telah mengajarkan hidup bertetangga dan sosial yang tinggi.

Kehidupan yang makin individualistik itu bukan tak mungkin terjadi di masa mendatang. Saat ini saja, hal itu sudah menjadi ancaman. Bukan rahasia lagi jika kehidupan di kebanyakan apartemen sangat individualistik dan tak peduli satu sama lain. Bahkan, meskipun sudah sering bertemu namun mereka enggan bertegur sapa.Pembangunan apartemen sendiri sudah menjadi kebutuhan, terutama di Kota Jakarta dan sekitarnya. Pertumbuhan apartemen masih terus tinggi sejalan dengan tingginya kebutuhan tempat tinggal ditambah mahalnya harga tanah serta keterbatasan lahan. Masyarakat urban yang pada umumnya sibuk bekerja, pergi pagi dan pulang malam, menuntut hunian yang dekat dengan tempat kerja. Setidaknya dengan hunian yang berlokasi tak terlalu jauh dari tempat kerja, membuat mereka tak perlu berlama-lama terjebak dalam kemacetan. Alasan-alasan tersebut membuat apartemen atau kondominium menjadi pilihan strategis.

Apartemen juga menjadi tuntutan gaya hidup modern yang serba praktis dan efisien serta menjadi pilihan untuk instrumen investasi di perkotaan. Di Jakarta dan sekitarnya, pembangunan apartemen terus bergulir. Pada 2016, setidaknya ada 54 proyek yang digarap beragam pengembang properti. Tak heran jika hunian apartemen menjadi solusi sekaligus idaman masyarakat modern saat ini.Sayangnya, solusi hunian tersebut membuat persoalan sosial, yakni tingginya sikap individualisme penghuninya serta memudarnya sikap kebersamaan dan gotong royong yang telah menjadi budaya bangsa selama ini.

Ade Juneidy (34), salah seorang karyawan bank swasta yang berkantor di kawasan Roxy Jakarta Pusat, mengakui minimnya kehidupan sosial di apartemen. Ia baru saja membeli sebuah apartemen di kawasan Ciputat, Banten. Belum menghuni saja, sudah terasa nuansa individualistiknya. Saat proses jual beli dengan pihak pengembang, meski bertemu dengan sesama pembeli yang rata-rata masih seusianya, tidak ada percakapan sama sekali.“Kalau kita sama-sama pembeli rumah di sebuah komplek perumahan, pastinya ada keinginan untuk menyapa dan saling bertanya. Karena, bagaimanapun mereka akan menjadi tetangga. Nyatanya, di apartemen memang jauh berbeda. Meski kelihatannya hampir seusia, masih muda dan belum berkeluarga, tapi terlihat cuek dan tak ingin bertegur sapa,” ujarnya.

Pengakuan alumni Teknik Sipil salah satu universitas ternama di Kota Padang itu, beberapa kali ia main ke rumah temannya yang tinggal di apartemen, kondisinya tak jauh berbeda. Orang-orangnya sangat individualistik dan enggan bertegur sapa. Walaupun ada kolam renang, kafe dan mushala yang memungkinkan mereka bertemu, tapi tetap saja kebanyakan enggan bertegur sapa. Pemilik atau penyewa yang bersebelahan saja tidak saling mengenal.“Mungkin ada juga yang masih memiliki sifat sosial, tapi kebanyakan memang individual. Apalagi di apartemen yang mewah seperti di kawasan Senayan, lift nya langsung menuju kamar masing-masing, bukan lagi lift untuk satu floor. Kapan lagi waktu untuk bertemu dengan penghuni lain?” ujar pria yang sudah hampir sepuluh tahun itu hidup di kota metropolitan Jakarta.

Ade sendiri sebelumnya tinggal di Depok, menggunakan kereta api ke Jakarta. Pergi pagi jam enam kurang seperempat dan tiba kembali di rumah lewat jam sembilan malam. Hal itu menjadi salah satu pertimbangan untuk mengambil apartemen yang agak dekat ke tempat kerja.Hunian vertikal merupakan saduran dari barat. Namun, tidak seharusnya melunturkan budaya luhur nenek moyang kita, yaitu kerukunan hidup bertetangga. Keangkuhan apartemen jauh dari citra bangsa Indonesia yang berwatak sosial dan kegotongroyongan.

Apalagi secara manusiawi, setiap orang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Seperti diungkapkan filsuf Yunani Aristoteles, manusia adalah zoon politicon. Manusia adalah homo socius atau makhluk sosial.Kondisi yang terlalu mengagungkan individualistik berarti telah menyalahi kodrat. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki dorongan dan kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Apa jadinya jika manusia yang begitu ramai malah hidup sendiri-sendiri tanpa interaksi, bagaikan jiwa-jiwa yang mati dan tanpa rasa. Pasti ada kalanya seseorang membutuhkan bantuan orang lain. Selain itu, ada norma sosial yang harus diikuti. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kemampuan, kebutuhan, dan kebiasaan untuk berkomunikasi dan berhubungan serta berorganisasi dengan orang lain.

Cairnhill Nine dari Capitaland, apartemen yang tidak meninggalkan budaya ketimurannya. Terletak di jantung Orchard Road di Singapura yang terkenal bisa menjadi contoh untuk ditiru oleh pengelola-pengelola apartemen di Indonesia. Kehidupan bertetangga dan membentuk rasa kebersamaan melalui kegiatan sosial yang rutin menjadi fokus dari pengembang.Wen Khai Meng, CEO CapitaLand Singapura, seperti dikutip dari capitaland.com mengatakan, Cairnhill Nine menyediakan sejumlah fasilitas seperti kolam renang dewasa, kolam renang anak-anak, spa, area barbeque, tempat gym, ruang simulator golf, ruang musik, ruang serbaguna, ruang anggur dan ruang baca. Semuanya untuk mendukung kegiatan rekreasi dan ikatan masyarakat.

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini