Menyilau Kampung Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi

×

Menyilau Kampung Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi

Bagikan berita
Foto Menyilau Kampung Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi
Foto Menyilau Kampung Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi

Pada suatu masa yang amat lampu, seorang anak berusia 11 tahun pergi ke Mekkah bersama ayahnya. Empat tahun kemudian ia pulang, sebab ibundanya, Aminah, menaruh rindu yang tak tertirukan.Anak bujang itu bernama Ahmad Khatib. Tiga tahun kemudian pergi lagi dan tak pernah kembali lagi. Pria itu bermukim di Mekkah, beristri di sana dan kemudian menjadi tiang tengah Mazhab Syafei. Tokoh itu dikenal dengan Sykeh Ahmad Khatib al Minangkabawi, penulis 45 kitab yang kini tersimpan di perpustakaan Leiden, Belanda.

Ulama ini, adalah guru para ulama tua terkemuka Indonesia. Sebut sajalah dan buat daftarnya. Hampir semua ulama besar Minangkabau belajar padanya di Tanah Suci.Ahmad Khatib, berasal dari Koto Tuo, Nagari Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Ke Balai Gurah itulah saya bertandang, menyilau-nyilau, pada Sabtu (26/2). Ampek Angkek Canduang ( sekarang jadi dua kecamatan) adalah hamparan pemukiman penduduk yang aduhai di kaki Marapi dan dari sana dengan leluasan bisa memandang Singgalang, apalagi cuaca cerah. Sawah berjenjang, jauh lebih hebat dari lukisan, memanjakan mata.

Jalan yang mulus, bersimpang-simpang, membawa saya sampai ke Koto Tuo.Di sana saya ditunggu oleh Mursal, guru sejarah SMA di sana. Kami datang ke Pondok Pesantren Tahfizhul Quran, Ahmad Khatib al Minangkabawi. Kami diterima ustad Jefri dan Dalla. Pimpinannya, Buya Afdhil Fadli sedang ke MAN Koto Baru.

Ponpes ini baru, tak ada jejak ulama besar itu di sana. Yang ada foto coppy karya yang ayahnya orang Koto Gadang, Ampek Koto itu. Tak cukup pula, sebab dicopy dari perpustaaan Leiden oleh seorang dosen yang melakukan penelitian. Selebihnya adalah bangunan bertingkat.Di kawasan ini ada makam Tuanku Nan Tuo, guru para ulama Paderi. Balai Gurah, merupakan salah satu pusat kajian Islam zaman lampau, yang catatan-catatannya tersuruk jauh dalam lipatan sejarah.

Baca juga:

Di sini, di Koto Tuo, sejarah seperti sedang tidur di atas kasur kehidupan, tapi bergemuruh di dunia Islam, dimana saja.Ahmad Khatib misalnya, nyaris tak tertandingi. Inyiak Jambek, Inyiak Rasul, Inyiak Canduang, Inyiak Parabek, Buya Jaho dan lainnya adalah muridnya. Tahu pendiri organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama? Nah, Kiyai Ahmad Dahlan dan Kiyai Hasyim Asy'ari, adalah murid ulama kita ini.

Saya memandang Koto Tuo sekejap, ke hilir dan ke mudik, udara di sini sejuk, cocok untuk pelajar yang sedang menimba ilmu. Ada sebuah SMP di tepi jalan, ada masjid rancak bernama Babus salam. Ada SMA, masuk ke sebuah simpang, tak jauh benar. Sebuah rumah gadang tampak jauh, atap tuanya masih utuh. Kehidupan pedesaan pada umumnya ditemukan di sini.Saya mengontak beberapa cendikiawan muslim dan dosen perguruan Islam, mengabarkan saya sedang di sini, memulai sebuah langkah, untuk sebuah penulisan yang berat. Novel biografi Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Informasi serupa telah saya sampaikan pada cucu almahum di Medinah.

Dan, saya selesai di sini. Bersama Mursal yang lulusan sejarah IKIP Padang itu, saya bergerak ke SMK N 1 Ampek Angkek, di sana ada kawan yang jadi kepala sekolah, Gusti Kamal. Sekolah itu maju. Bahkan produksi batik tulisnya diincar banyak instansi. Waktu saya di sana, terdengar anak-anak bermain musik, yang lain sibuk mengutak-atik komputer. Sebuah sekolah masa depan.Di sana juga sudah menunggu, alumni sejarah lainnya, Nur Edi. Tak lama kemudian datang anak sejarah yang sedang menulis Kebun binantang Kinantan dan Tuanku Nan Renceh, pak guru Irwan Setiawan.

Rumah Makan Tepi Sawah, nasi bungkusnya nan enak, menemani kami bicara soal ulama-ulama Minangkabau dan Kurikum Merdeka Belajar, sembari ditemani segelas kopi.Saya pergi, meninggalkan Ampek Angkek, masa lampau yang amat jauh 1870-an, nyaris tertimbun gulma kehidupan. Pada 1871 Ahmad Khatib pergi ke Tanah Suci. Ia seorang yang sayang sekaligus menggugat Minangkabau. Beberapa kitabnya , justru lahir menjawab pertanyaan yang datang dari Minangkabau. Ulama hebat ini pernah berdebat dengan Datuk Bangkit, bapak pers Melayu, konglomerat pers, pendiri surat kabar Soenting Melajoe.

Ahmad Khatib al Minangkabawi, tak meninggalkan foto, yang diwariskannya adalah 45 kitab dan sejarah hidupnya. Juga kepergiannya nan jauh lalu jadi imam besar di Masjidil Haram sesuatu yang menakjubkan. *

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Terkini