Minangkabau di Persimpangan Jalan

×

Minangkabau di Persimpangan Jalan

Bagikan berita
Minangkabau di Persimpangan Jalan
Minangkabau di Persimpangan Jalan

Masyarakat Minangkabau, sebagaimana pembacaan para pakar, pada dasarnya adalah masyarakat komunal. Yaitu masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai dan prinsip kebersamaan. Secara tradisional, orang Minang adalah anggota sebuah suku, lahir dan tumbuh di rumah gadang, menjalani malam hari masa remaja di surau, menyandang status anak-kemenakan-sumando-ninik mamak. Semua kondisi itu menempatkan orang Minangkabau ikatan-ikatan sosial yang kental dimana hampir semua urusan -termasuk properti- tidak pernah menjadi murni urusan pribadi. Bahkan ketika meninggal, mereka berkalang tanah di kuburan kaum; sebuah pemakaman komunal.Tampaknya, level komunalitas Minangkabau asli termasuk yang paling tinggi. Merantau, merujuk pada Mochtar Naim, adalah cara untuk membebaskan diri dari ikatan komunal sukarela yang terasa terlalu ekstrim. Kendatipun demikian, orang Minang tidak pernah benar-benar mau lepas dari alam kehidupannya kendatipun berada di perantauan. Orang Minang tetap mempertahankan ikatan dengan kampung halaman. Hal ini terlihat lewat banyak ekspresi, seperti lewat berkumpul dengan sesama urang awak, mengenang-ngenang sejarah masa lalu, hingga lewat media kesenian; lewat lagu, tarian dan lain sebagainya.

Agama Islam yang telah masuk ke Minangkabau sejak kurang lebih tiga atau empat abad ke belakang membantu orang Minangkabau mencari formula prinsip-prinsip komunalitas yang lebih moderat. Salah satu formula unik yang ditemukan adalah konsepsi harta, dimana harta dibagi menjadi dua, yaitu pusako tinggi dan pusako randah. Ini memberi ruang yang lebih leluasa untuk individu dan keluarga inti, tanpa perlu mengorbankan ikatan pada komunitas.Komunalitas Minangkabau telah melahirkan kontrol sosial yang cukup ketat bagi seluruh anggota kaum. Semua pihak merasa bertanggung jawab memastikan semua anggota kaum bertindak dalam norma-norma yang telah disepakati bersama-sama. Norma-norma tersebut disusun untuk memastikan bahwa social order berjalan sebagaimana mestinya dan tidak terjadi persoalan-persoalan yang meresahkan. Norma-norma tersebut selain muncul dari proses falsafi orang Minangkabau, juga mendapat pengaruh sangat besar dari Islam.

Hari ini modernisme Barat dikampanyekan secara massive lewat berbagai media. Masyarakat Minangkabau tentu saja menjadi salah satu komunitas yang terpengaruh. Kesediaan jaringan internet mudah, murah dan cepat telah membuat pengaruh modernism merambah hingga ke kaki-kaki gunung. Ia hadri dalam bungkus film, lagu, video-video pendek, dan lain sebagainya.Harvieu Leger, seorang sosilog Prancis, menyebutkan bahwa modernisme Barat telah melepaskan ikatan-ikatan tradisional dan komunal. Sebagai gantinya, ide modernisme menawarkan individu sebagai sentral baru kehidupan. Pada titik ini, muncul humanisme dan individualisme dimana moralitas sangat bergantung pada preferensi individu-individu. Fenomena sexual liberation yang muncul secara popular pada awal 60-an misalnya, menekankan bahwa individu berhak menentukan moralitas seksual sesuai ukuran pribadi masing-masing, tanpa perlu tunduk pada norma-norma tradisional, termasuk norma agama. Dari sini muncullah penerimaan Barat terhadap hidup bersama tanpa ikatan perkawinan hingga hubungan seks sesama jenis.

Sexual liberation hanya salah satu contoh saja, karena modernism itu mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan. Hal sederhana misalnya adalah gaya berpakaian, bahwa itu adalah hak individu untuk menentukan preferensi pakaian seperti apa yang ia pakai. Pengaruh modernism yang lebih rumit adalah pada longgarnya relasi antar anggota keluarga. Orang-orang dapat melihat bahwa hidup dalam kontrol orang tua sebagai pembatasan hak hidup atau hak untuk menjadi diri sendiri.Kembali ke urusan Minangkabau. Belakangan ini, semakin banyak fenomena sosial yang mengindikasikan bahwa komunalitas Minangkabau itu melemah. Orang-orang mulai segan dan takut menegur perilaku yang melanggar norma yang telah disepakati bersama. Sebaliknya, para pelanggar norma juga merasa bahwa orang tidak punya hak menegur dirinya; urus saja moralmu! Hasilnya adalah pantangan-pantangan agama dan adat tidak lagi tabu dilakukan, bukan hanya di kota-kota tapi juga di kampung-kampung. Pengabaian terhadap nilai-nilai tradisional terbukti telah memicu berbagai tindak kriminal, seperti yang marak diberitakan belakangan ini.

Baca juga:

Hidup terus berjalan. Orang Minangkabau dipaksa waktu untuk terus bergerak ke depan. Di depan itu ada simpang. Satu jalan mengarah pada mempertahankan identitas komunal Minangkabau dan yang lainnya mengarah pada nilai-nilai modernism dimana individualisme menjadi salah satu karakter utama. Apakah kita akan menanggalkan komunalitas kita? Atau mempertahankannya sebagai tradisi yang mesti dirawat? Atau kita menjadi komunitas serba tanggung? Wallahu a’lam.(*)

Editor : Eriandi
Bagikan

Berita Terkait
Terkini