Miris Maraknya Orgen Tunggal, Guru Kirim Surat Terbuka ke Walikota Pariaman

×

Miris Maraknya Orgen Tunggal, Guru Kirim Surat Terbuka ke Walikota Pariaman

Bagikan berita
Miris Maraknya Orgen Tunggal, Guru Kirim Surat Terbuka ke Walikota Pariaman
Miris Maraknya Orgen Tunggal, Guru Kirim Surat Terbuka ke Walikota Pariaman

surat terbuka PARIAMAN - Seorang blogger yang mengaku guru di Pariaman mengirim surat terbuka kepada Walikota Pariaman perihal maraknya orgen tunggal.

Blogger yang bernama Netri Olala sedih, orgen tunggal sudah merusak kesopanan dan nilai etika di Pariaman. Dalam suratnya berkirim surat selaku kemenakan yang sedih dengan orgen tunggal bisa merusak moral masyarakat. Mulai dari kecil sampai dewasa.Untuk itu ia berharap Walikota selaku mamak di Pariaman menertibkan orgen tunggal yang semakin hari semakin tidak sopan. (lek)

https://netriolala.blogspot.co.id/2016/01/2016-pariaman-harus-bebas-orgen-tunggal.html?m=1Selasa, 05 Januari 2016

Tertibkan Orgen Tunggal, Selamatkan Moral Kemenakan!Sebuah Surat Terbuka Untuk Walikota Pariaman

            Aku hanya seorang gadis kecil yang coba menulis sesuatu padamu yang pantasnya ku panggil Mamak, bukan, Pak. Surat ini bukan suatu bentuk pembangkangan, kagadang-gadangan atau sok mengajari pandeka basilek. Sepuluh jari kemenakan susun beserta kepala, memohon maaf apabila ada kata-kata kemanakan yang patut dibimbing ini yang tidak enak Mamak baca.            Mamak, disini aku ingin berbicara tentang orgen tunggal di Pariaman. Kemenakan kecilmu ini kini telah beranjak dewasa, hingga ketika aku menyaksikan orgen tunggal yang menampilkan biduannya berpakaian minim, seolah-olah aku yang sedang ditelanjangi, ditonton dan dijadikan objek tertawa licik para lelaki yang puas menatapnya. Aku malu!

            Hingga sebelum acara itu usai aku sudah lebih dulu pergi karena terbayang apa yang akan aku saksikan selanjutnya. Ya, seperti yang sudah-sudah, seperti yang sama-sama diketahui, seperti yang sudah mulai dimaklumi, para biduan wanita itu akan melecuti beberapa bagian pakaiannya lebih minim lagi, lebih terbuka lagi, lebih memancing hawa nafsu lagi, lalu mereka bersama pemuda-pemuda bahkan mamak-mamak yang tengah mabuk akan berpesta pora. Bergoyang seolah lupa siapa mereka. Apa kedudukan mereka. Seorang mamak akan lupa memberi contoh yang baik pada kemenakannya. Pemuda yang masih sekolah lupa akan apa tanggungjawabnya esok pagi. Dan itu berlangsung hingga pukul empat pagi. Hampir mendekati subuh. Dan hal tersebut digelar diruang terbuka.            Maka akan sangat miris lagi ketika pagi-pagi beberapa bocah usia sekolah dasar menceritakan perihal apa yang dilihatnya dari gelaran orgen tunggal semalam yang ditontonnya itu pada teman sebayanya. Menceritakan bagaimana terbukanya pakaian biduan-biduan wanitanya. Menyebutkan nama-nama orang kampungnya yang mabuk berat malam itu, dan menceritakan siapa-siapa saja yang memeluk biduan wanita seraya memberi beberapa lembar uang saweran. Miris! Bocah sekecil itu menurutku hanya boleh bercerita tentang bagaimana ia menyelesaikan PR Matematikanya semalam. Bukan bercerita tentang tontonan tak pantas yang disuguhkan kakaknya, ayahnya, mamak-mamaknya dan tetangga-tetangganya.

            Lebih miris lagi ku saksikan di kota ini, nasionalisme pemudanya hanya sebatas gelaran orgen tunggal. Mereka menanti datangnya hari peringatan kemerdekaan demi berpesta dengan orgen tunggal  dengan goyangan eotis lengkap dengan minuman keras, lalu acara itu dikemas dengan tajuk ALEK PEMUDA. Apa dengan  begitu mereka akan tahu bagaimana perjuangan para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan mungkin lagu wajib Indonesia raya saja mereka tak tahu. Mereka lebih hafal judul lagu dangdut koplo yang membuat goyangan mereka semakin asyik dan malam mereka semakin panas. Toh kemerdekaan bagi mereka adalah sebatas bebas bermabuk-mabukan dan bebas menikmati aurat yang dipertontonkan.            Aku bukan ahli agama, Mamak. Tapi yang aku tahu mengumbar aurat itu berdosa. Meliuk-liukan badan dengan pakaian super pendek itu berdosa. Melelang harga diri dengan beberapa lembar rupiah yang diserukan dengan pengeras suara itu amat berdosa. Minuman keras itu berdosa. Bukankah oranng Minang terkenal dengan adat istiadat dan agamanya? Lalu kenapa Pariaman kini seolah menjadi Pantura jilid dua?

            Aku teringat himbauan “Maghrib mengaji” yang Mamak serukan dulu. Lalu kenapa tak bisa mamak buat himbauan “Pariaman bebas orgen tunggal”? Jikapun rumah orang baralek dan alek pemuda harus dihibur orgen tunngal, kenapa tak tegas tegakkan aturan orgen tunggal hanya boleh hingga pukul dua belas malam saja dengan menjunjung tinggi adat kesopanan dan nilai agama?            Aku yang bodoh ini menangkap adanya pergeseran nilai di ranah yang begitu ku sanjung ini, Mamak. Jika dulu kemenakan segan bertemu mamak di lapau, kini kemanakan dan mamak duduk bersama bermain domino. Bahkan menonton orgen dilokasi yang sama dengan kelakuan yang sama. Begitu sedih aku mendapati hal tersebut. Seolah-olah Minang kabau kini tak lagi bisa dijadikan panutan. Seolah-olah nilai-nilai kesopanan dipertaruhkan demi tameng “hiburan”.

            Lakukanlah sesuatu, Mamak! Anggaplah biduan wanita itu, pemuda-pemuda itu dan anak-anak kecil yang gemar menonton orgen tunggal itu adalah kemenakan-kemanakanmu juga yang pantas Mamak ajari hal-hal baik dan Mamak lindungi dari segala yang tercela. Tak ku minta biduan-biduan seksi itu lantas berbaju kurung, Mamak, setidaknya buat mereka lebih menghargai badan mereka sendiri. Jjika tidak bisa mamak buat pemuda-pemuda itu kembali ke Surau, setidaknya buat mereka kembali ke rumah orang tuanya lebih awal. Aku menulis surat terbuka ini bukan berangkat dari resahku sendiri. Namun dari resahnya Bundo Kanduang oleh dunia yang tak lagi “talok diaja”. Aku sadar benar, Mamak bukanlah orang yang patut dipersalahkan. Ada orang tua, niniak mamak, dan urang tuo di kampung-kampung yang harusnya lebih paham menjaga anak kemenakannya. Tapi bolehkah aku memohon, Mamak? Datanglah ke lapau-lapau tiap kampung itu, temuai tiap niniak mamaknya, beritahu mereka apa yang seharusnya mereka lakukan. Ingatkan mereka jikalau lupa. Berbincang-bincanglah di lapau dengan mereka, sebagaimana biasa Mamak lakukan di masa-masa kampanye dulu.             Aku mohon diri mengakhiri surat ini, Mamak. Aku masih harus memeriksa hasil ulangan anak didikku yang mengerjakan ulangan dengan mata terkantuk-kantuk ulah orgen tunggal ‘bahoyak’ dikampung mereka semalam….

                                                                                                            Netri Olala…

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini