Musim Corona, Memandang Tanah Abang dari Padang

×

Musim Corona, Memandang Tanah Abang dari Padang

Bagikan berita
Foto Musim Corona, Memandang Tanah Abang dari Padang
Foto Musim Corona, Memandang Tanah Abang dari Padang

Khairul JasmiCari baju untuk lebaran, keperluan namanya untuk lebaran, setahun sekali, kepingin aja ajak anak-anak ke Tanah Abang, kan sudah pakai masker,” kata seorang pengunjung Pasar Tanah Abang, Jakarta, Aisyah pada Sabtu (16/5/2020) atau sepekan sebelum lebaran.

***Tanah Abang, ikon tua Jakarta, di layar kaca terlihat penuh sesak, sayup terdengar suara suara PKL menawarkan dagangannya. Ini waktu-waktu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena wabah Coid-19 yang oleh lidah rakyat lebih enak dibaca wabah corona. Pada ujung Mei 2020, globe masih berwarna merah darah, sebagai awal dari takdir baru umat manusia. Di Indonesia, wabah ini diumumkan pada 2 Maret 2020, dengan seorang korban.

Jalan penuh sesak, PKL dan pembeli berdesak-desak, sebagian besar pakai masker, sisanya tidak. Seorang anak muda, mengangkat dagangannya mencari posisi yang pas, dengan harapan bisa berjual-beli. Yang pas itu, di jalan. Inilah Tanah Abang, tempat rakyat berbelanja kebutuhan lebaran. Biasanya dari sini pula berbagai barang dikirim ke daerah. Virus wabah itu, merubah segalanya.Televisi berita nasional sengaja mengangkat keramaian Tanah Abang sebagai berita, karena jika di sini orang sudah sesak maka di tempat lain, setali tiga uang. Bak kata pedagang kali lima asal Minang yang tampil di acara ILC, “mati karena corona atau mati tak makan.” Ia memilih berdagang, dengan harapan bisa dapat uang. Bukankah uang, sendirian mengatur dunia dan bukankah, uang, jika tak bekerja bukanlah uang.

Virus corona yang semula dianggap enteng itu, akhirnya terbukti, memang mematikan. Usai kasus pertama, kisah selanjutnya bak efek batu domino yang rebah, tak henti-hentinya. Segalanya mulai berubah, termasuk di Tanah Abang, pusat PKL dan grosir itu, yang PKL nya banyak urang awak itu, yang penyewa petak-petak rukonya juga. Tanah Abang sepi, tapi pada Sabtu itu, orang menyemut, membeli dan menjual, tanpa mereka takut wabah corona. Sudah habis takut rakyat, setelah berkurung berbulan-bulan di rumah.Aisyah misalnya, ibu berkerudung itu, dengan suara begitu lepas menjawab pertanyaan reporter News TV. Tradisi lebaran, sekali setahun, takkan ia lewatkan. Rengek anaknya untuk berbaju baru harus ia kabulkan. Ia tak sendiri dan tak hanya di sana, tapi juga di tempat lain, seantero negeri. Ini bagian dari pemandangan “Indonesia, terserah,” itu. Pemandangan lain, masjid yang sunyi, jalan yang ramai, pos-pos batas wilayah yang dikawal petugas guna memeriksa kesehatan orang yang lewat.

Indonesia disungkup langit suram, malam-malam berlalu penuh kerisauan, siang apalagi. Pada saat yang sama suara-suara parau dari bawah terdengar hiruk, tentang bantuan sosial dan sejenisnya yang belum kunjung turun. Para pemikir atau tidak, bila malam tiba asyik masghul ber-zoom ria menguliti dunia yang memerah.Dan Tanah Abang itu, seperti terlihat dalam delapan foto yang ditayangkan CNN, memang penuh sesak oleh warga. Saya memandangnya dari jauh, Padang. Sebagian besar pedagang di sana, berangkat dari kota ini, dengan sebuah ransel belaka. Ia menjemput nasib di ibukota, ada kemudian yang kembali pulang kampung karena merasa gagal, tapi ada yang terus bertahan. Lainnya memperjauh rantaunya, entah ke pulau mana lagi.

Mulai ramaiTak hanya Tanah Abang, pasar tradisional dimana-mana mulai ramai, jalanan juga. Ada perang dahsyat dalam diri, ingin melihat suasana, cari angin karena sudah bosan di rumah terus. Mereka keluar dengan protokal kesehatan atau tidak. Pasar memang rentan, sehingga di sini virus mudah berkembang-biak. Pindah dari orang ke orang. Pasar Raya Padang merupakan salah satu contoh nyata untuk hal itu.Penyebarannya sudah sampai level IV.

Indonesia memang tidak memberlakukan kunci mati, tapi genggam-genggam bara, antara iya dan tidak saja, namanya PSBB. Genggam-genggam bara itulah yang terjadi di Tanah Abang. Mereka yang datang, semoga semua sehat, jika menyelip agak satu orang yang positif corona, alamat akan sengsara se pasar itu. Demikianlah rakyat Indonesia yang takut mati, yang takut tak makan. Kalau soal makan, tak usah diperdebatkan, jika dibiarkan namanya lapar jika terus-menerus tak makan namanya kelaparan dan akhirnya mati, atau membuat rusuh. Beras kalau taka da mudah memicu kerusahan.Makanya para dermawan membagi bantuan selalu menyertakan beras, sebab kalau sudah ada yang akan ditanak, makan dengan garam saja pun tak apa-apa, asal makan. Bisa dibayangkan anak-anak makan, suapnya saja belum benar, ruas jemarinya yang kecil dan membuat kita galinggaman melihatnya. Merekalah yang lebih perlu makan ketimbang orang tuanya, begitu dalam sebuah rumah tangga.

Kini, corona sudah berbulan-bukan melanyau negeri ini, korban terus bertambah. Kabar setengah baiknya, aka nada new normal, hidup normal dalam keadaan tidak normal. Jauh ke belakang, 100 tahun silam, ada wabah flu Spanyol, yang membuat tewas hampir 50 juta warga dunia, kini hal itu terulang lagi.Flu Spanyol itu bukan berasal dari Spanyol, namanya saja, sebab pers negeri itulah yang gencar memberitakan karena ketika itu relatif bebas.Corona, bikin merana, rumah tangga jadi sengsara, kita pakai masker kemana-mana, kota-kota besar mati, langit jernih, namun hidup sudah tak seperti dulu lagi. Selamat datang new normal. Ketika tulisan ini dibuat, korban covid-19 di dunia 4,81 juta dan sembuh 1,8 juta sembuh dan meninggal dunia 316.925 orang.**

Editor : Eriandi
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini