[caption id="attachment_73513" align="alignnone" width="635"] Gamawan Fauzi. (net)[/caption]TERHAMPAR di sepanjang bibir Samudera Hindia nan biru. Dihiasi sejuta nyiur melambai. Di jajaran Bukit Barisan yang rimbun menghijau, dengan puncak-puncak gunung menjulang ke angkasa, dengan air jernih jatuh di bebatuan, memercik ke udara, bersinar ditimpa matahari, laksana intan bertaburan.
Sawah berjenjang-jenjang bak tangga istana, menguning dimusim panen. Di perkampungan nagari yang bersuku dan beradat, gonjong-gonjong rumah gadang, seperti busur-busur panah berlomba menggapai langit, menjadi spirit kehidupan untuk selalu menjadi terdepan.Di tengah-tengah komunitas adat yang beradat itu, selalu ada masjid dan surau, menjaga jiwa nagari yang saleh dan tunduk patuh kepada sang khalik.
Kehidupan spiritual yang menaungi jiwa itu, adalah rujukan atas segala kebebasan dunia agar tak liar, menjadi furqan terhadap salah dan benar agar tak jatuh pada dosa dan candu hingga alur dan patut tegak berdiri menjaga nagari. Indahnya nagariku. Laksana sorga sesungguhnya.Tahun bertukar, musim berganti, (seperti syair ditulis Dr. Agus Taher, intelektual seniman itu yang didendangkan oleh alm Zalmon dengan mendayu -dayu), serbuan teknologi informasi melanda jagat raya, temasuk nagariku, gaya hidup baru dipertontonkan televisi dan segala jenis alat komunikasi 24 jam sehari, merasuk sampai ke saku baju.
Kehidupan yang hedonis, menjadi triger untuk memacu setiap manusia mengejar materi melebihi kelayakannya. Kaki Jadi kepala dan kepala jadi kaki. Waktu 24 terasa singkat untuk mendapatkan uang lebih banyak.Gempuran perubahan itu terus berhadapan langsung dengan tatanan sosial nagariku yang dulu kokoh memegang nilai adat bersandi sarak.
Akan kah Minangkabau akan kalah ? Akankah cupak diganti urang manggaleh dan jalan dialiah urang lalu? Atau di permukaan Minangkabau tetap ada, tapi secara substansial sudah berubah?Seperti disindir dalam pantun, disangko bulek si daun nipah, kironyo bulek bapasagi, diliek lipek indak barubah, kironyo lah tabuak tiok ragi.
Rasanya mustahil bila masyarakat tak berubah, karena Minangkabau yang kita kenal itu juga hasil perubahan dari kondisi sebelumnya yang mungkin tak beradat dan animisme.Kajian ini akan panjang dan berlarut larut larut. Dimensinya sangat beragam, sudut pandang juga akan sangat banyak.
Tapi, saya terlanjur bangga dengan Minangkabau yang saya kenal, saya telalu sayang dengan Minangkabau yang saya hidup di dalamnya, saya terlalu bahagia dengan alamnya, dengan kehidupan sosialnya, dengan pergaulannya, dengan tata kramanya, dengan tali temali hubungan kekerabatannya, dengan pergaulannya, dengan baso basinya, dengan tradisinya, dengan kulinernya dan dengan banyak hal lain yang tak tertuliskan semuanya.Malam-malam menjelang mata terpejam, kadang datang rindu mendengar "galitiak" saluang, cerita "kaba pasisia" yang serasa menghanyutkan jiwa.Semua mengingatkan saya tentang masa-masa kecil yang indah dan damai.Terbayang tapian tampek mandi, hamparan sawah saat manggaro, mairiak padi, berlarian dengan teman di sepanjang pematang, saat-saat mengaji di surau atau mandi-mandi di sungai yang jernih.
Semuanya mungkin akan menjadi masa lalu bagi saya dan sesuatu yang tak dijumpai generasi kini dan akan datang.Itulah perubahan. Kadang membahagiakan dan kadang mengecewakan. Dan, perubahan sepertinya sesuatu kepastian.
Tapi.... apakah semuanya harus berubah ? Kalau boleh meminta, janganlah......Berubahlah adat istiadat, berubahlah adat yang diadatkan dan bahkan bila saatnya memang harus berubah, berubahlah pula adat yang teradat. Tapi janganlah berubah Adat Sabana Adat. Yang diamanahkan leluhur kita yang arif bijaksano. Itulah yang tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh. Dicabuik indak mati, di asak indak layua.
Editor : Eriandi