Nick Pallfreyman, si Tuli yang Doktor

×

Nick Pallfreyman, si Tuli yang Doktor

Bagikan berita
Nick Pallfreyman, si Tuli yang Doktor
Nick Pallfreyman, si Tuli yang Doktor

[caption id="attachment_19742" align="alignnone" width="650"]Nick Pallfreyman didampingi, Direktur Pendidikan dan Kemasyarakatan British Council Indonesia, Teresa Birks berdiskusi dengan Muhammad Isnaini Nur Hidayat, seorang Peneliti Komunitas Tuli Indonesia, di Basko Hotel, Senin (1/12). (antara/maril gafur)  Nick Pallfreyman didampingi, Direktur Pendidikan dan Kemasyarakatan British Council Indonesia, Teresa Birks berdiskusi dengan Muhammad Isnaini Nur Hidayat, seorang Peneliti Komunitas Tuli Indonesia, di Basko Hotel, Senin (1/12). (antara/maril gafur)[/caption]kalera

PADANG - “Tuli itu bisa. Mereka hanya tidak bisa mendengar, tapi untuk hal yang lain mereka pasti bisa. Dengan bahasa isyarat, anak-anak tuli bisa maju dan berkembang.”Kalimat tersebut yang memotivasi, akademisi tuli asal University of Central Lanchashire (UCLan), Nicholas Pallfreyman, meneliti dan memberikan pelatihan bahasa isyarat di Indonesia.

Nick begitu sapaan akrabnya, merupakan salah satu dari 23 akade­misi yang menerima riset dan pelatihan bahasa isyarat di Indone­sia melalui program Second City Partnership Higher Education Travel Grant dari organisasi internasional asal Inggris Raya yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan British Council.“Riset bahasa isyarat merupakan aspek penting dalam meningkatkan kapasitas masyarakat tuli di seluruh dunia. Pengakuan terhadap bahasa isyarat bagian dari upaya menyakinkan pemerintah terhadap hak-hak para penguna bahasa isyarat di Indonesia,” jelas Nick, kepada wartawan di Hotel Basko, Selasa (1/12).

Menurutnya, bahasa isyarat sendiri belum menjadi subyek riset yang populer di Indonesia. Mirisnya, hanya Universitas Indonesia tercatat memiliki laboratorium riset bahasa isyarat dengan tim riset yang tergolong kecil.Kini, masyarakat tuli Indonesia dihadapkan berbagai tantangan, khususnya dalam bidang pendidikan karena kebanyakan anak yang terlahir tuli tidak mendapatkan pelajaran layaknya anak terlahir normal. Penyebabnya, kurangnya tenaga fasilitator atau guru yang menguasai bahasa isyarat.

Pada November 2015, tercatat hanya ada kurang dari 10  penterje­mah bahasa isyarat yang berkompeten di Indonesia. Justru, katanya berbanding terbalik dengan jumlah penterjemah yang ada di Inggris Raya, mencapai 800.“Angka, tersebut masih belum mencukupi. Tapi lumayanlah diban­dingkan Indonesia,” katanya.

Nick menceritakan kisahnya terlahir tuli bersama seorang kakak yang juga tuli. Namun, kedua orangtua bisa mendengar. Mengembira­kan, kedua orangtua mereka mendukung semua aktivitas dari anak-anaknya.Nick pernah menempuh studi sejarah Strata Satu, di Cambridge University, melanjutkan pendidikan S2 dan S3 program studi Lin­guistik Isyarat dan Tuli di University of Central Lanchashire.

“Saya sangat beruntung. Bapak dan ibu, tidak masalah, mau anaknya tuli, mau anaknya mendengar. Orangtua memiliki pola pikir, kamu mau apa dan saya akan dukung sepenuhnya. Dulu saat masih muda, mereka sangat mendukung sekali, kegemaran saya dengan hal-hal visual. Dari sekolah sampai S1, S2 dan S3. Orangtua dan guru-guru sangat mendukung dan mempercayai potensi yang saya miliki,” cerita Nick yang menguasai bahasa Inggris, Indonesia, Prancis dan Italia secara tertulis.Dikisahkan Nick, ketika memberikan pelatihan ada salah seorang dosen yang kaget ketika melihat dirinya bisa menulis. Ia pun menjelaskan kalau, ia seorang doktor yang sudah lulus S3.

“Nah, dari sana kita bisa melihat kesadaran masyarakat belum terbentuk. Tuli itu pintar, dia hanya tidak bisa mendengar, tapi bisa untuk hal-hal yang lain. Bahasa isyarat setara dengan bahasa lainnya. Dengan bahasa isyarat mereka bisa maju dan berkembang,” katanya.Dengan pengalamannya tersebut, Nick ingin memotivasi masyarakat tuli yang ada di Indonesia untuk maju dan berkembang. Untuk itu, melalui program tersebut, Nick mengunjungi tiga perguruan tinggi di Indonesia,  Universitas Negeri Makasar, dan Universitas Bung Hatta dan Universitas Andalas. Rencananya, hari ini, Nick bersama Muhammad Isnaini akan memberikan pelatihan di Unand.

Selain memberikan lokakarya di tingkat universitas, Nick juga menjalin kemitraan dengan Pusat Penelitian Tuli (Pupet) yang dipimpin Muhammad Isnaini Nur Hidayat, seorang peneliti komunitas Tuli Indonesia.Muhammad Isnaini sendiri pernah ke Inggris selama lima pekan, mengunjungi organisasi masyarakat tuli dan mengikuti proyek riset. Ia pun telah berbagi keahlian dengan komunitas tuli di Indonesia dan pernah mengikuti pelatihan di China dan India.

Dalam hal ini, British Council dukung pengembangan bahasa isyarat di Indonesia. “Lewat program ini akademisi yang berbasis di Inggriss akan mendapatkan dana hibah  3.000 Poundsterling (seki­tar 60 juta rupiah) melakukan perjalanan ke Indonesia dengan mereka harus memberikan pelatihan, lokakarya, seminar serta berbagi aktivitas riset di Indonesia,” ucap Direktur Pendidikan dan Kemasyarakatan British Council Indonesia, Teresa Birks.Dijelaskannya, sedikitnya, 23 akademisi yang penerima Travel Grant asal Inggris telah melakukan perjalanan ke Indonesia dan berkunjung ke berbagai universitas di Indonesia. Dalam rangka membangun kemitraan baru memperdalam hubungan antara perguruan tinggi Inggris dan Indonesia. (Lenggogeni)

Editor : Eriandi, S.Sos
Tag:
Bagikan

Berita Terkait
Ganefri
Terkini