Berpulangnya Cendekiawan Azyumardi Azra

Foto Harian Singgalang
×

Berpulangnya Cendekiawan Azyumardi Azra

Bagikan opini
Setiap tanggal 10 bulan Safar orang-orang dari seluruh penjuru berbondong-bondong mendatangi salah satu makam. Makam itu terletak di sebuah surau tuo. Di sana bersemayam jasad seorang ulama yang konon katanya adalah orang yang pertama kali menyebarkan Islam di tanah Minangkabau di abad 17. Makam itu adalah makam Syeikh Burhanuddin Ulakan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Makam itu adalah salah satu simbol betapa kentalnya keagamaan di sana. Selain itu juga ada tradisi hoyak tabuik pada setiap tanggal 10 bulan Muharram. Tradisi keagamaan yang kuat ini juga turut melahirkan cendekiawan besar Islam yang baru saja berpulang kerahmatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE. Azyumardi Azra adalah sosok yang sangat penting dalam dunia intelektual Indonesia Bahkan mendunia. Azyumardi Azra juga orang Indonesia yang satu-satunya pernah menerima penghargaan gelar (CBE) dari Ratu Elizabeth II Inggris. Sumbangsihnya dalam sejarah dan keilmuan keislaman sangat besar. Dia juga turut memainkan peranan besar bagi perkembangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seperti yang diakui oleh Menteri Agama Yaqub Cholil Qoumas. Sang cendekiawan Agaknya dunia akademis dan wartawan tidak dapat dilepaskan dari sosok Azyumardi Azra. Saat meninggal beliau sedang menjabat sebagai kepala Dewan Pers Indonesia. Kiprahnya sebagai seorang akademisi tidak perlu dipertanyakan lagi. Jabatan sebagai mantan rektor dua periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan statusnya sebagai guru besar adalah bukti betapa panjangnya perjuangan Prof. Azyumardi Azra. Tidak adil dan saya kira sebuah penghinaan jika seorang sosok intelektual jika dilihat secara tendensi dari jabatan struktural. Yang paling utama dari sosok intelektual adalah pemikirannya. Nama Azyumardi Azra telah menjadi besar dan akan tetap besar tanpa embel-embel gelar di belakangnya. Lebih menarik untuk meneropong seorang tokoh intelektual dari pemikiran daripada gelarnya sendiri, termasuk dalam melihat sosok Azyumardi Azra. Berikutnya biarlah saya memanggilnya sebagai seorang buya, sebagaimana Syafii Maarif dihormati. Buya Azyumardi Azra dikenal jamak sebagai pakar sejarah Islam. Beliau adalah salah satu rujukan utama di kampus-kampus Perguruan Tinggi Keislaman Negeri. Bahkan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menyebutkan hampir tidak ada cendekiawan dunia yang menjadikan Indonesia sebagai objek kajian tidak beririsan dengan pemikiran beliau. Salah satu yang mengagumkan dari sosok buya Azyumardi Azra adalah bagaimana caranya dia melihat sebuah persoalan. Dia bisa melihat dengan begitu jernih dan proporsional. Misalnya ketika dia berbeda pendapat dengan Ketua MUI Sumatera Barat, buya Gusrizal Gazahar perihal Islam Nusantara. Ketika banyak yang menafsirkan hal ini akan menyebabkan terbentuknya Islam polarisasi, dia membacanya sebagai Islam. Ini adalah hal-hal yang melekat pada banyak sosok-sosok intelektual yang jujur saya kira. Berani melawan arus demi kebenaran yang lebih tinggi. Dalam hal ini Azyumardi Azra menunjukkan sikap yang serupa dengan cendekiawan-cendekiawan Minang lainnya. Seperti Hatta yang berseberangan dengan Soekarno di masa lalu dan memilih mundur dari jabatan wakil presiden. Azyumardi Azra tidak pernah berhenti untuk memberikan sumbangsih kepada keilmuan, masyarakat dan bangsa. Itu dapat dilihat di mana saat beliau meninggal di Malaysia adalah dalam rangka menjadi pembicara di salah satu perguruan tinggi di sana. Dia juga berbicara lantang tentang IKN dan pers yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana ia tumbuh telah membentuk Azyumardi Azra yang dikenal oleh semua orang. Azyumardi Azra milik siapa? Pertanyaan ini seperti penting dan tidak penting untuk dilontarkan. Tidak pentingnya adalah toh beliau sudah meninggal, sehingga tidak perlu lagi memperebutkan identitas dan atributif beliau. Pentingnya adalah untuk memperjelas sebagai apa dia dikenang. Nyatanya bagi sebagian pihak hal ini juga cukup penting. Bentuk ‘penting’ tersebut dalam beberapa waktu setelah ini orang-orang berbicara beliau dengan kalimat ‘Azyumardi azra sang...bla,bla,bla.” Azyumardi Azra bisa dimasukkan ke dalam deretan tokoh intelektual Minangkabau kontemporer yang sedang mengalami fase kering kerontang. Azyumardi Azra adalah milik UIN Syarif Hidayatullah mengingat ikatannya yang begitu mendalam dengan instansi pendidikan Islam itu. Bahkan ketika dia dipulangkan dari Malaysia, dia dishalatkan di aula Harun Nasution. Azyumardi Azra juga memiliki pertalian dengan pers. Ada juga yang bilang dia cendekiawan persyarikatan Muhammadiyah. Namun, sekali lagi sangat tendensi jika mengingat beliau dengan cara yang seperti itu. Kita bisa melihat dan mengakui sosok buya Azyumardi Azra berdiri dengan kakinya sendiri. Sebagaimana Nabi Muhammad bukanlah tentang milik Muhajirin atau Anshar, tapi milik semua orang yang bersaksi kepada Allah dan mengakui kenabiannya. Maka buya Azyumardi Azra adalah milik semua orang yang bisa jujur kepada dirinya sendiri dan keadaan sosialnya. Kita bisa mengenang Azyumardi Azra melalui pemikiran dan tulisan-tulisannya yang begitu banyak. Selamat jalan buya, selamat jalan guru, Buya adalah salah satu sosok tokoh intelektual dan cendikiawan terbaik di negara ini. (*)

Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini