Kami warga kota saling sapa satu sama-lain. Kadang tidak juga. Banyak yang kenal wajah, tipikal kota komunal. Kami bertemu di masjid, mushalla, banyak di lapau juga kafe. Kafe kami, terletak di berbagai ruas jalan. Ada yang ramai sebentar lalu tutup. Jalan kami lurus-lurus tapi lalulintasnya nyaris tak beraturan. Hanya di kota kami inilah, ada dua ruas jalan berjauhan tapi namanya sama.
Kami sebagai warga kota, lebih banyak bicara politik. Politik kita, provinsi, negara dan dunia. Tapi biarlah, itu pula gamak kami. Di sini, gadis-gadis kami berjilbab. Yang bukan Islam pernah dipaksa-paksa doeloe. Sekarang sudah tidak. Orang pintar di kota ini, sepintar yang menurut dia pintar. Kaji agama kami lurus, acap berbelok ke politik. Tak sengaja saja. Tentu kami asyik sekali, lupa kerja.
Kami takut pada gempa. Juga hujan lebat. Tapi, kami lebih takut, jika warga kota makin banyak saja yang tak bekerja. Lapangan kerja sebenar sarik. Susah minta ampun. Jika Anda ke kota kami, maka senja datanglah ke pantai Padang. Lihatlah sunset nan indah. Di pantai seribu janji itu, banyak pedagang. Yang untuk Anda ketahui, teramat sering ditertibkan. Tapi, kami bangga punya pantai, seribu janji. Tempat cinta diikat dan diungkai. Inilah kota apa adanya. (*)
