Uang sendirian mengatur dunia, termasuk mengatur dirimu. Orang bisa berkelahi karena uang, juga bisa berkawan. Uang, punya peradabannya sendiri, diluar jangkauan otakmu, hehe.Banyak yang kelebihan uang halal, karena rajin berusaha. Banyak pula yang suka membicarakan kekayaan orang lain. Untuk orang kaya, lebih banyak stok nasihat, namun yang sering dinasihati justru orang miskin. Si kaya, termasuk yang sering menasihati si miskin. Tapi, kalau dia yang diingatkan, biasanya akan marah, walau satu dua orang ada mau menerima.
Misalnya, nasihat tentang,”tak usahlah membangun masjid,karena terlalu mahal dan jumlah rumah ibadah itu sudah banyak. Lebih baik uangnya diberikan kepada orang miskin, melalui mekanisme yang terukur.” Tak mangkus. Cobalah, siapa berani atau mau menasihati orang kaya?Menurut seorang ustad yang Al Qur’an di luar kepalanya, setiap amal manusia kelak di akhirat akan diaudit. Kita mengenal ini sejak kecil, dengan sebutan “ditimbang.” Jika berat ke kiri, banyak dosa, kalau ke kanan, banyak pahala. Soal masuk surga, itu otoritas Tuhan.
Saya tertatik dengan kata audit, sebab ustad ini mengambil contoh membangun masjid. Katanya, banyak yang membangun masjid dengan biaya miliran, sementara di sana sudah banyak masjid, tapi tak berisi. Audit itu, kata dia, akan membadingkan biaya pembangunan rumah ibadah itu, dengan biaya ang dibutuhkan orang miskin di lingkungan masjid. Seberapa besar yang mereka perlukan, agar kehidupannya membaik, agar bisa buka usaha atau menyekolahkan anak dst. Jika saja,kata ustad, uang itu diberikan pada si miskin.Walau saya acap mendengar, membaca soal kepedulian sesama, bahkan biaya naik haji pun semestinya dialihkan, jika ada orang lain yang membutuhkan, karena kemiskinan akutnya, tapi rasa bimbang dalam hati saya selalu muncul. Benarkah demikian? Mungkin saya salah, tapi Al Qu’ran berkata, “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” Kata ‘sebaik-baiknya’ tak ada lagi di atas itu. Lalu, apakah membangun masjid tidak termasuk ‘sebaik-baiknya?’ Kata ustad yang saya dengar itu, lebih baik menolong rakyat yang terjerat kemiskinan, ketimbang membangun masjid, apalagi mewah. Ini tentu, tidak absolut. Jika di suatu tempat belum atau masjidnya jarang, rasanya oke banget, jika didirikan rumah ibadah tersebut di sana.
Yang tidak oke, sepertinya, masjid sudah ada, dibangun lagi yang baru, mewah pula, sementara di dekat masjid, orang jualan dengan gerobak. Entah laku entah tidak. Sejak remaja, sampai bercucu, ekonominya tak kunjung membaik. Ini semestinya memang dibantu. Oleh pemerintah dan oleh orang kaya yang punya uang halal itu.Konsep menolong sesama itu, tidak duduk. Seorang pengusaha rumah makan, suatu hari saya minta zakatnya, untuk menolong anak miskin yang perlu biaya kuliah. “Wak bayia zakat ka kampuang sakali satahun,”katanya. Jadi permintaan saya ditolak. Tapi, pengusaha lain justru bertanya,”Perlu berapa? Kemana diantar?”Intinya adalah kesadaran akan kemelaratan orang lain. Memang, memberi itu tak perlu orang lain tahu. Memang, ada jatah sedekah, ada jatah zakat, ada jatah wakaf, ada pula jatah membangun masjid. Kita tidak berhak menghukum atau menilai seseorang membangun masjid mewah dengan uangnya sendiri, sebagai sesuatu yang tidak tepat. Kita hanya bisa berkata, “sebaiknya untuk orang miskin, kalau si miskin baik ekonominya karena ditolong, maka dia juga akan bisa membayar zakat.”Ini sebenarnya tugas mulia. Mulia atau tidak, tergantung penilaian seseorang. Penilaian ini yang sering bermasalah. Makin bermasalah kalau yang dinilai mempermasalahkan. Kita – saya sering – kalau dinilai jelek, agak dongkol. “Awak lo nan nyo nilai-nilai,” begitulah kalau kita dikoreksi. Tak mau menerima.Lalu mana yang Anda suka membangun masjid mahal atau uangnya dipakai untuk menolong orang miskin? Yang manapun, Anda pasti suka nasi bungkus, apalagi dua kajainya, itu pertanda dua lauknya. Makan berkeringat, soal pahala nanti pulalah, itu urusan Yang Di Atas. Ya begitu sutan? Tapi yang jelas, amal kita memang akan diaulit oleh Tuhan, maka pandai-pandailah beramal. Ini masalah kita, orang Indonesia. Zakat luar biasa potensinya, tapi tak terkelola dengan profesional. Jika pun dikelola, jumlah zakatnya kecil.
Ke masjid shalat subuh yuk? Ini masalah. Aaa ini parah nih….(**)