Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota

Foto Harian Singgalang
×

Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota

Bagikan opini

Pengamalan ABS-SBK Yang Tidak SeimbangSebagaimana sudah dinyatakan bahwa ABS-SBK adalah landasan jari diri budaya orang Minangkabau. Menurut Naim (2000), adat dan agama merupakan dua unsur utama yang membentuk masyarakat Minangkabau menjadi Minangkabau. Oleh karena itu, mana yang adat dan mana yang syari'at dalam banyak hal masih terlihat jelas. Meskipun adat dan syarak berasal dari dua sumber budaya yang berbeda, namun pada dasarnya keduanya memiliki banyak kesamaan dan menyatu dalam budaya orang  Minangkabau secara berproses.

Namun demikian, masih ada pihak yang menyederhanakan permasalahan, lalu menilai bahwa kalau sudah beragama berarti sudah beradat, dengan mengemukakan dalil-dalilnya. Tapi dalam prakteknya, dalil hanya tinggal dalil, sedangkan prilaku generasi semakin hari semakin tidak beradat dan tidak beradab. Ini karena pemahaman dan pengamalan ABS-SBK berat sebelah, tidak seimbang, ini yang membuat orang Minangkabau hari ini ibarat berpikir dan berjalan tengkak alias pincang.Nasroen (1957:24) dalam Dasar Falsafah Adat Minangkabau menyatakan bahwa seorang Minangkabau akan hidup aman dan sentosa bilamana ia menunaikan agamanya yaitu Islam, serta berjalan menurut adatnya yaitu adat Minangkabau. Adat dan agama menyatu dalam diri orang Minangkabau, contohnya; seorang penghulu Minangkabau yang kolot pasti akan marah jika dirinya dikatakan tidak beragama. Sebaliknya seorang haji Minangkabau juga tidak akan terima jika dia dikatakan tidak beradat. Kira-kira begitu lah gambaran sederhananya.

Sekarang dalam pengejawantahan ABS-SBK, adat dan ajaran agama  tidak lagi seiring sejalan dalam diri orang Minangkabau. Adat budaya (yang merupakan bahagian dari hablum-minannas) tanpa disadari sudah terpinggirkan. Pendidikan hari ini hanya terpusat kepada agama saja, dan praktek beragama pula hanya lebih kepada hablum-minallah saja. Nampaknya benar apa yang dikatakan Naim (2019) bahwa  sekarang isi kepala sebahagian besar ulama hanya dipenuhi oleh kitab-kitab saja, tapi miskin pemahaman sosio budaya.Jika kita berkaca kepada sejarah, pandangan Nasroen maupun Naim sangat benar adanya. Kebanyakan para ulama tempo dulu mempunyai pemahaman agama dan adat yang seimbang dalam diri mereka, HAMKA adalah salah satu contoh, selain seorang ulama, ia juga seorang penghulu adat bergelar Datuak Indomo dalam kaumnya. Begitu juga Buya Mansoer Datuak Palimo Kayo (Ketua MUI Sumbar pertama), termasuk Buya HMS Datuak Tan Kabasaran (Sekretaris Umum MUI pertama), hingga ke Buya Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa (Ketua MUI Sumbar sekarang). Begitu juga dengan Buya Masoed Abidin, walaupun tidak menyandang gelar adat, tapi beliau sangat memahami prihal adat istiadat Minangkabau. Dalam pandangan saya, bila berdiskusi dengan ulama-ulama yang paham adat budaya, mereka terasa lebih luas dalam memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan ummat. Agaknya hal yang sama juga terjadi pada tiga orang ulama bergelar Datuk dari Minangkabau yang mengislamkan masyarakat di Tanah Goa Sulawesi Selatan zaman dulu.

 Manfaat dan Mudharat Modernisasi & Globalisasi

Modernisasi dan globalisasi memiliki hubungan yang erat antara satu sama lain. Modernisasi cenderung memperluas jangkauannya, terutama ruang geraknya, dan inilah yang disebut globalisasi. Pada dasarnya, modernisasi mencakup transformasi sosial dari pramodern - dalam arti teknologi dan organisasi sosial - menuju pola ekonomi dan politik yang mengacu pada kondisi negara-negara Barat yang stabil (Martono, 2014:174).Modernisasi dan globalisasi telah membawa manfaat dan mudharat dalam kehidupan kita. Manfaatnya banyak, misalnya berbagai temuan teknologi telah membawa keberkahan dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi di sisi lain, mudharatnya juga banyak, salah satu dampaknya adalah kalah, ini tidak di alami oleh Minangkabau saja, banyak bangsa-bangsa terutama bekas jajahan yang mengalami kekalahan ini. Untuk mengetahui kekalahan, mudah saja, yakni dengan perubahan cara berpikir, berprilaku serta sering terjadi pertengkaran. Seringkali kita terheran-heran, kenapa orang zaman sekarang kurang bersopan santun, kurangnya empati, hilang raso jo pareso dan lain-lain. Proses ini ibarat prilaku  rangik/nyamuk dalam dendangan Tiar Ramon; manyasok darah dalam dagiang, alah padiah sajo mangko taraso.

Senjata “asimetris” yang dimainkan oleh Barat dalam perang budaya ini sangat ampuh. Menghantam dan menguasai alam bawah sadar kita, kemudian mengacaukan pemikiran dengan melahirkan logika-logika sesat, dan kita ikut saja karena sudah terperangkap. Inilah berbagai strategi yang dimainkan oleh mereka dalam menjalankan penjajahan gaya baru (neo-kolonialisme). Sehingga kini lahirlah generasi yang xenomania (terlalu menyanjung segala sesuatu yang datang dari luar, khususnya Barat). Hasilnya, hari ini di Minangkabau lahirlah generasi “indomi” (Indonesia-Minang), yakni anak-anak yang lahir dan menetap diMinangkabau, tapi berbahasa Indonesia dan enggan berbahasa Minangkabau.Rasa bangga menjadi orang Minangkabau itu semakin lama semakin menciut, buktinya para orang tua mereka merasa malu bila anak-anak mereka berbahasa Minangkabau, dan menukar komunikasi sehari-hari dengan bahasa Indonesia, yang katanya agar terkesan moderen dan terdidik. Ini adalah satu kebodohan karena tidak paham sejarah, karena generasi para ibu-ibu dan bapa-bapa muda ini telah tercabut dari akar budayanya, yang dicabut sendiri oleh para orang tuanya. Nanti generasi “indomi” ini tidak lagi akan mewarisi kecerdasan Minangkabau, karena kecerdasan itu terletak pada bahasa, sebab itulah di Minangkabau itu dikatakan; pusako itu adolah  kato.

Sejalan dengan pikiran Naim dalam konteks terkini, Chatra (2019) menilai bahawa dalam proses modernisasi dan globalisasi, telah terjadi benturan antara budaya global dengan dengan budaya lokal. Strategi global dalam membunuh budaya lokal adalah dengan jalan ‘menculik’ generasi muda, namun yang diculik bukan fisiknya melainkan pikirannya. Pikiran mereka diracuni dengan cara-cara yang bertentangan dengan cara berpikir berdasarkan adat budaya lokal. Dampaknya, hari ini kebanyakan generasi muda Minangkabau tidak kenal lagi budaya asli kedua orang tua mereka. Hasilnya, pada satu sisi faktanya para generasi muda ini masih tetap sebagai anak-anak Minangkabau. Namun di sisi lain cara berfikir mereka sudah global dan cenderung meminggirkan budaya asli mereka.Keadaan inilah yang dikatakan jalan dialiah urang lalu, cupak dipapek urang panggaleh. Budaya atau cara hidup kita sudah dirusak oleh pihak luar, terkadang dengan logika-logika sesat, sehingga makna budaya tidak lagi dipahami secara utuh bahkan cenderung diartikan lain dan kurang dipedulikan, membuat berbagai kearifan lokal mulai hilang. Anak-anak tidak lagi kenal dengan kesantunan berbahasa yang ada menurut “langgam kato nan ampek”. Jika hal ini tetap dibiarkan, maka berbagai khasanah warisan Minangkabau secara pelan-pelan namun pasti, akan hilang satu per satu. Ini karena generasi tidak tahu lagi dan tidak paham apa arti sejarah, dan dengan sendirinya mereka juga tidak akan tahu manfaat mengetahui dan memahami sejarah.

Demikianlah tulisan ini sengaja saya buat sebagai sumbangaan pemikiran dalam rangka pelaksanaan acara “International Minangkabau Literacy Festival” di Padang 22-27 Februari 2023. Kedepan, kita belum tahu sejauh manakah dampak positif dari forum-forum seperti ini terhadap persoaln-persoalan mendasar yang dihadapi oleh generasi Minangkabau hari ini dan masa depan. Semoga ada pihak-pihak, atau para tokoh dan pemimpin yang mau memikirkan masalah mendasar ini. Jangan sampai kita hanya gadang ota saja di berbagai forum, tapi kenyataannya generasi ini semakin  hari semakin kanai ota, dan menjadi kelompok generasi Minang hanyuik dan Minang karam,  dan jangan pula sampai kita hanya manang di sorak, tapi kampuang tagadai.Terima kasih, semoga bermanfaat. Ammin ya rabbal alamiin.

(Penulis adalah Pencinta sejarah, budaya dan bahasa Minangkabau)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini