Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Mandul

Foto Harian Singgalang
×

Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Mandul

Bagikan opini

 

Sementara itu, bila mana kita maliek contoh ka nan sudah, kita sangat jarang melakukan sesuatu secara terukur dan bersungguh-sungguh, bahkan kadang-kadang tidak masuk akal. Apa lagi pemahaman sejarah sangat dangkal, budaya tidak dipahami, bahasa dipinggirkan, dan parahnya lagi sering kali kita melakukan sesuatu tidak berdasarkan kepada suatu hasil kajian. Makanya kita sering jalan di tempat, terkesan coba-coba, bak kata orang Inggris: we are sliding down to no where. Artinya, kegiatan tetap berjalan, tapi arahnya entah ke mana, gak jelas. 

  • Keenam, Riki juga kembali mempertanyakan pernyataan saya yang tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana pergeseran yang terjadi dan dampak yang ditimbulkan terhadap adat dan budaya Minangkabau. Apakah pergeseran tersebut merujuk pada hilangnya nilai-nilai adat dan budaya yang menjadi identitas masyarakat Minangkabau? Ataukah pergeseran tersebut merujuk pada perubahan bentuk atau cara penyampaian adat dan budaya dalam konteks kehidupan modern?
 

Dalam hal ini saya mengakui, karena artikel itu lebih menyorot persoalan Minangkabau secara umum, mungkin dalam kesempatan lain nanti saya akan terangkan. Namun di sisi lain, bila Riki mempertanyakan masalah itu,  saya juga tidak dapat menyalahkan, karena pertanyaan terkait pergeseran budaya, sangat erat kaitannya dengan sejarah kebudayaan kita dan pengalaman masa lalu seseorang. Ketika kita harus bicara tentang pergeseran budaya, tentu kita tidak pernah bisa lepas dari sejarah/keadaan dulu dan kini. Pengalaman kehidupan saya yang kelahiran awal 60 an dengan Riki yang kelahiran awal 80an, dengan perbedaan rentang waktu sekitar 20 tahunan, tentu akan sangat logis pertanyaan itu muncul. Namun demikian berarti ada sesuatu yang hilang, yaitu pewarisan. 

Kesimpulannya 

Kalau dirantang amuah panjang, elok dikumpa nak nyo singkek. Artikel ini bukan untuk menyalahkan, mengadili atau menghina, tapi sekadar untuk memperjelas ruang perbedaan pemikiran yang terjadi antara dua atau tiga orang yang sedang berdialektika. Serta berusaha mencari sisi-sisi tertentu sebagai penyebab yang mungkin bisa mengisi kekosongan ruang perbedaan itu. Pada dasarnya kami adalah pemain dalam dialektika ini, sedangkan yang menilai adalah masyarakat pembaca. Sekaligus, sebagai upaya untuk mendorong menyarakat Minangkabau kembali membaca, kembali melatih daya pikir kritis, serta menerima perbedaan-perbedaan tanpa ada rasa bersalah, kalah apa lagi terhina. 

Akhirnya artikel ini dapat disimpulkan dengan berbagai kemungkinan. Perbedaan pandangan saya dengan Dr. Riki Saputra, mungkin disebabkan faktor bahasa, mungkin juga oleh latar belakang yang berbeda, dan boleh jadi juga oleh jurang pemikiran yang dalam antara generasi yang lebih tua dengan yang muda. Andai kata diantara penyebab, ternyata jurang pemikiran ini yang lebih banyak mempengaruhi, maka kemungkinan besar sudah terjadi kemandulan dalam proses pewarisan. Apakah itu pewarisan sejarah, budaya atau bahasa, atau pewarisan lainnya. Maka inilah yang seharusnya menjadi pemikiran dan pekerjaan rumah kita bersama. Wallahualam. (Kuala Lumpur, 19 Maret 2023).

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini