PADANG - Masyarakat Minangkabau sebenarnya memiliki Undang-Undang (UU) Adat yang dikenal dengan Sumbang Duobaleh. Namun, sayangnya UU ini selama ini tidak dinterpretasikan dan tidak disosialisasikan kepada masyarakat.Tokoh Adat dan Bundo Kanduang Sumatera Barat (Sumbar) Prof Dr Raudha Thaib, MP mengungkapkan, UU Adat sebagai penjabaran terhadap Adat Nan Diadatkan terbagi empat kelompok. Yakni, UU Nan Duopuluah, UU Luhak jo Rantau, UU Nagari, UU Dalam Nagari.
UU Nan Duopuluah mengatur masalah hukum pidana, tanpa mencantumkan sanksi hukum atau ancaman kepada pelanggar. Jika seseorang melakukan pelanggaran, maka yang memikul hukuman suku atau kaumnya. Suku atau kaumnyalah yang memberikan hukuman.“Jika tidak teratasi oleh kaum atau sukunya, pelaku diserahkan kepada raja. Dia dijadikan orang hukuman atau abdi yg mengabdi kepada raja,” ungkap Raudha Thaib saat Diskusi Bersama Tokoh Adat Sumatera Barat dengan tema “Lapuak-lapuak Dikajangi, Usang-usang Dipabarui”, Senin (20/3) di Aula Gedung LKAAM Sumbar.
UU Nan Duopuluah terbagi dalam dua bahagian. Yaitu, UU Nan Salapan dan UU Nan Duobaleh. UU Nan Salapan memuat keterangan tentang jenis kejahatan dan tertuju pada laku perangai (fiil) yang terdiri dari delapan pasal.Berikutnya Sumbang terdiri atas 12 yang disebut dengan Sumbang Duobaleh. Yakni, sumbang duduak, sumbang tagak, sumbang bajalan, sumbang kato, sumbang tanyo, sumbang jawek, sumbang caliek, sumbang makan, sumbang pakai, sumbang karajo, sumbang diam/tingga dan sumbang kurenah.
Raudha Thaib mengungkapkan, Sumbang Duobaleh ini perlu diterapkan. “Sosialisasikan Sumbang Duobaleh ini. Bahwa, kita ini punya UU adat, salah satunya mengatur tentang fiil perangai anak laki-laki dan perempuan. Ini yang perlu diberitahu kepada ninik mamak,” ungkap Raudha Thaib.Raudha Thaib juga menambahkan, sebenarnya sudah ada Forum Puti Bungsu dan Bundo Kanduang yang bisa berperan menyosialisasikan Sumbang Duobaleh ini. Bahkan, Bundo Kanduang sudah menggelar sosialisasi dalam bentuk lomba, teater dan lagu. Namun, menurutnya, perlu ada program-program untuk menyosialisasikannya.
“Ini sangat penting sekali dalam zaman sekarang yang amburadul ini. Sementara kita punya tatanan yang sangat luar biasa yang tidak diinterpretasikan dan tidak diberi tahu,” ungkapnya.Aturan Sumbang Duobaleh ini menurutnya, sesuai aturan agama. Jadi, jika dalam kehidupan sehari-hari sudah menjalankan aturan agama, maka sudah menjalankan UU adat dan budaya Sumbang Duobaleh ini.
Raudha Thaib mengatakan, kendala yang dihadapi Bundo Kanduang secara organisasi melakukan sosialisasi Sumbang Duobaleh ini, jangkauannya yang terbatas. Secara organisasi Bundo Kanduang tidak bisa masuk langsung menyosialisasikan ke tengah masyarakat dan kaum masing-masing.Menurutnya yang memiliki peran penting adalah mande-mande sako di kaumnya. Mande-mande sako ini harus jadi bahan bagi ninik mamak dan kaum muda agar bisa sampaikan di masing-masing tempat.Raudha Thaib menilai, keberadaan mande-mande sako ini sekarang justru seakan tidak ada. Nama ada, tapi tidak pernah eksis karena tidak pernah diberitahu hak dan kewajibannya.“Mande-mande sako ini perempuan dalam kaumnya yang memiliki perhatian, waktu yang luang dan tanggungjawab terhadap nilai-nilai adat. Itu yang tidak ada sekarang,” ungkapnya.
Lebih jelasnya, Raudha Thaib menngungkapkan, setiap orang Minangkabau ada dua keluarga, yakni keluarga kaum dan keluarga inti hasil pernikahan. Namun, sekarang menurutnya, keluarga sekarang ini hanya terpaku kepada keluarga inti saja, tidak masuk kepada keluarga kaum. Keluarga kaum dilibatkan hanya saat jelang pernikahan.“Padahal keluarga inti ini harus berinteraksi dengan kaumnya. Makanya terjadi narkoba dan kekerasan seksual, karena orang tua sibuk kerja. Padahal, kalau keluarga dengan pola asuh bersama. Ketika anak ditinggal, ada etek, nenek dan mamak yang mengawasinya,” terangnya.
Raudha Thaib mengingatkan, di mana pun berada, perlu ditanamkan kalau anak-anak berbuat sesuatu apapun, harus pertimbangkan ibunya tidak akan sedih, ayahnya dan mamaknya tidak malu. “Tiga hal ini saja yang harus ditanamkan kepada anak. Namun, sekarang sosok orang yang harus hadir dalam diri anak untuk menanamkan nilai ini tidak ada,”ujarnya.Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Syaifullah mengatakan, tujuan kegiatan diskusi ini intinya penyamaan persepsi tentang adat dan budaya Minangkabau dari seluruh sisi kehidupan, baik dari kalangan pemangku adat dan juga pada generasi muda.
Kepala Bidang Sejarah Adat Nilai-nilai Tradisi, Fadhli Junaidi mengatakan, Diskusi Bersama Tokoh Adat Sumatera Barat diikuti 100 peserta. Terdiri dari rang mudo dan puti bungsu dari Sumbar, mamak kapalo warih dan mande sako dari nagari percontohan di 18 kabupaten kota, akademisi dan mahasiswa di Padang.(yose)