Oleh: Isral NaskaDirektur Pusat Studi Islam dan Minangkabau (PSIM), Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UM Sumbar)
Tulisan ini adalah tanggapan singkat atas tulisan Dirwan Ahmad Darwis (kemudian disebut Pak Dirwan) yang terbit di hariansinggalang.co.id pada 19 Maret 2023. Tulisan yang berjudul “Jurang Pemikiran Antar Generasi di Minangkabau: Pertanda Proses Pewarisan yang Masih Mandul” itu pada dasarnya adalah lebih kepada komentar terhadap tulisan Riki Saputra, Rektor UM Sumatera Barat.Namun, karena dalam tulisan itu nama dan tulisan penulis pun turut serta menjadi topik pembicaraan, maka tentu saja penulis merasa perlu untuk memberi sedikit tanggapan. Tentang ini perlu digarisbawahi bahwa bukan “senggolan” Pak Dirwan itu yang menjadi faktor utama dari tulisan ini, melainkan bahwa senggolan itu tidak sepenuhnya benar sehingga perlu dibantah dengan sebaik-baiknya, sebagai agar “nan janiah ndak babaliak karuah.”
Adalah klaim Pak Dirwan terhadap ide penulis yang dia sebut sebagai “tendensius” dan “masih terperangkap dalam penilaian suka menyalahkan pihak lain” yang menjadi soal utama di sini. Dalam pandangan penulis klaim tersebut tidak sepenuhnya tepat. Penggunaan diksi “tidak sepenuhnya” di sini bukan karena penulis tidak atau kurang yakin, tapi sebaliknya menunjukkan bahwa penulis merasa sangat yakin bahwa penulis tidak sedang dalam keadaan seperti yang dituduhkan Pak Dirwan. Akan tetapi, sebagai manusia biasa tentu penulis mengakui ada kemungkinan salah dalam hal ini.Merujuk pada KBBI, tendensius artinya adalah (1) bersifat memihak dan (2) suka menyusahkan (melawan); rewel. Dengan demikian, klaim Pak Dirwan yang menyebut ide penulis dalam “Kepempimpinan Minangkabau yang Sedang Sakit” mengandung dua kemungkinan makna. Pertama tulisan tersebut adalah tulisan yang berpihak. Kedua, tulisan tersebut rewel dan menyusahkan. Penulis menduga, bahwa yang pemaknaan tendensius oleh Pak Ridwan di sini adalah lebih pada pemaknaan pertama.
Dari sudut pandang pemaknaan pertama, penulis ingin kembali bertanya kepada Pak Dirwan, bagian mana tulisan tersebut yang berpihak? Jika ya, berpihak kepada siapa? Sepanjang ingatan penulis, tulisan itu tidak sedang mempertentangkan dua gagasan, akan tetapi murni sebagai refleksi pribadi penulis tentang sebab fundamental dari kondisi masyarakat Minangkabau saat ini. Ada argumen dan dalil di balik pernyataan penulis bahwa kepemimpinan adalah sebagai salah satu factor fundamental. Dalam tulisan tersebut, penulis sudah mencoba maksimal untuk menerapkan sesuatu yang oleh orang Minang disebut dengan “mancancang balandasan, malompek ba tumpuan.”Perlu juga diketahui kembali bahwa tulisan itu termasuk otokritik, sehingga tidak ada pihak-pihak yang dipersalahkan kecuali diri sendiri. Bukankah penulis sudah menyebutkan bahwa konsep “anak-kemenakan” plus “bundo kanduang” menuntut munculnya pemawahan bahwa setiap orang Minaang adalah “ayah-mamak” dan “ibu”, sehingga apapun keadaan sosial masyarakat Minangkabau, seperti yang dipersoalkan Pak Dirwan, adalah tanggung jawab orang Minang semuanya. Beranjak dari postulat ini, penulis membuat sebuah kesimpulan akhir, bahwa kepempinan adalah salah satu sebab fundamental.Itu pun penulis tidak mendakwa bahwa ini adalah sebagai satu-satunya sebab. Jika para pembaca cermat membaca bagian pendahuluan, di situ tertulis sebuah kalimat yang cukup jelas: “Tentu ada banyak penyebab, namun saya menduga bahwa salah satu sebab utama adalah sedang sakitnya kepemimpinan Minangkabau.” Dengan demikian, penulis tentu bertanya-tanya kenapa sampai muncul pikiran Pak Dirwan yang menyatakan bahwa tulisan itu berpihak? Berpihak pada apa dan kepada siapa?Sekarang penulis masuk pada klaim kedua Pak Dirwan. Penulis juga tidak dapat mengerti kenapa Pak Dirwan menyebut tulisan tersebut sebagai “masih terperangkap dalam penilaian suka menyalahkan pihak lain.” Penulis hendak kembali pada penjelasan sebelumnya bahwa tulisan itu adalah kritik terhadap kita semua, bukan dalam rangka menyalah-nyalahkan seseorang atau sekelompok orang. Yang penulis tunjuk sebagai sebab utama bukan “si Badu” atau “si Atai”, melainkan sebuah institusi yang mana kita semua adalah menjadi bagian darinya, yaitu “kepemimpinan Minangkabau.”
Oleh karena itu pada bagian paling tulisan, penulis membuka ruang untuk pembaca semua agar kita tidak hanya meratap-ratap, (mencaci maki keadaan tanpa solusi) atau sekedar bernostalgia (mengenang-ngenang cerita masa lalu Minangkabau). Ruang itu penulis coba buka dengan beberapa pertanyaan untuk kita semua. Untuk itu penulis menulis kalimat berikut: “apa yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan kekuatan Kepemimpinan Minangkabau itu? Bagaimana peran masyarakat? Bagaimana peran kampus dan perguruan tinggi? Bagaimana peran ulama? Bagaimana peran pemerintah daerah? Bagaimana memaksimalkan UU no 17 tahun 2022 itu? Bagaimana implementasi nyata ABS-SBK itu?”Akhirul kalam, penulis mengucapkan terima kasih banyak pada Pak Dirwan atas komentarnya, yang saat ini harus penulis jawab dengan sejernih-jernihnya. Juga terima kasih banyak kepada Pak Khairul Jasmi karena kebesaran hati beliau lah tulisan penulis itu dapat terbit sehingga terbuka ruang diskusi ini. Juga tak kalah penting terima kasih banyak kepada Bang Magek Piling, karena acara beliaulah yang menjadi salah satu faktor penyebab lapiak diskusi ini terkambang luas. Tak ketinggalan seluruh peserta acara malam itu, atas komentar-komentar luar biasa, yang memicu penulis berpikir lebih banyak. Demikianlah, semoga tulisan ini “menjembatani jurang” yang dirisaukan Pak Dirwan. Amiiin. Wallahua’alam. (***)