Andaikata Hari Raya Setiap Hari

Foto Harian Singgalang
×

Andaikata Hari Raya Setiap Hari

Bagikan opini

Sekalipun disanggah penasihatnya, Nashruddin tetap memutuskan melakukan perjalanan. “Sebaiknya tunda dulu melancong ke negeri orang. Rakyat kita sedang mengalami kesulitan hidup. Setidaknya, mereka harus ditemani,” ucap seorang penasihatnya, namun Nashruddin kekeh dan tetap berangkat.Di tengah perjalanan yang berminggu-minggu itu sampailah ia di sebuah kota yang asri. Ia seketika merasa takjub melihat penduduk kota itu bersuka ria dalam kemegahan hidup. Mereka semua berpakaian baru dan wangi. Mereka sungguh riang menikmati suguhan makanan yang serba lezat.

Nashruddin mulai heran dan bertanya: “Mengapa penduduk kota ini bisa hidup dalam kemakmuran di saat kota-kota lain mengalami paceklik? Semua penduduk di sini sepertinya kaya-raya dan bahagia, sementara negeri saya dirundung krisis sepanjang hari?”Salah seorang warga kota yang mendengar gumaman Nashruddin berkomentar: “Tahukah Anda bahwa kami sedang berhari raya? Semua orang sengaja berpakainan baru, saling sapa, bersalaman, dan menghidangkan makanan paling lezat dari makanan dalam setahun….”

Nashruddin tersentak. Ia perlahan sadar dan bergumam lagi: ”Oh Tuhan, andaikata hari raya setiap hari, tentu penduduk di negeri saya akan bebas dari krisis dan bisa hidup dengan riang gembira.…” 

Kisah ini dipetik dari anekdot Nashruddin Houja, seorang sufi yang lahir 1206 Hijriah di desa Hortu dekat kota Sivrihisar di bagian barat Anatolia Tengah (Turki Tengah). Kisah humor tentang tokoh ini cenderung membuat pembacanya tersenyum ironis. Paradoks dan kesatiran logikanya mampu mengusik ketegangan yang bercokol pada nalar manusia modern yang sibuk mengejar target pekerjaan dan peningkatan fiansial sepanjang hari.Seni retorika yang ditaksir sebagai seni paling tua sepanjang peradaban manusia tertoreh sangat halus pada ketokohan Nashruddin. Persis namanya, nashru berarti penolong; pencerah dan ad-din berarti utang atau tanggung jawab spiritual. Nalar pembaca disentuh untuk mengembangkan tafsir dan kritik susastra. Misalnya, prinsip berhari raya pada anekdot yang sengaja dikutip tulisan ini berkisar di seputar bagaimana mengekspresikan kemenangan spritual tanpa menanggalkan gairah sosial. Pertanyaan yang melatarinya: mengapa hanya pada hari raya saja orang bisa berbagi dan bahagia bersama?

Di hari-hari yang lain, orang kembali masuk dan berkurung di ruang-ruang privat dan masyuk dengan gawai di tangan serta rutinitas pemenuhan kemakmuran jasmani masing-masing. Orang-orang kembali terikat pada sistem sosial tertentu yang berjarak dari visi keilahian. Kesibukan itu membuat seseorang mudah lupa pada makna yang tersirat dari berhari raya. Individualistik mendominasi nuansa hidup bermasyarakat. Jika dalam setahun hanya sekali dua kali orang bisa bersama layaknya pada hari raya, betapa banyak hari-hari yang berlalu dalam kemasing-masingan. Hari-hari yang suram, bahkan seram.Prinsip berhari raya yang ingin dipesankan Nashruddin menginginkan pembongkaran gaya hidup yang terjerembab ke dalam kekosongan batin. Sebagaimana ruang zahiriyah, aspek bathiniyah sesungguhnya juga membutuhkan pemenuhan-pemenuhan; makan-minum, pakaian baru dan wangi; jalinan kasih-sayang, dan nilai-nilai universal lainnya.

Ritual hari raya mencita-citakan suasana di ruang batin yang sejuk. Organisme sosial-keagamaan hanya akan berdialektika dalam keindahan bila diatur oleh sumber nilai kemanusiaan universal. Keuniversalan ini, tentu tidak akan memberi pengaruh apa-apa bila hanya terjadi dua kali dalam setahun. Energi ketuhanan harusnya bangkit sepanjang waktu. Jika tidak, bisa dibaca citraannya pada pemberitaan media massa tentang sejumlah ketimpangan sosial dewasa ini, angka kiminalitas yang terus meningkat, atau pada proses persidangan beberapa kasus tindak pidana korupsi di negeri ini. Semua realitas tersebut, menggambarkan bahwa prinsip pemerataan harta melalui distribusi zakat dan prinsip saling menyayangi antarsesama tidak mendatangkan pengaruh kuat pada perilaku penganutnya.Paling tidak, demikianlah turunan rumus-rumus sosial yang tersirat dari anekdot Nashruddin. Arahnya kepada cara menafsirkan ritual keagamaan ke dalam aktivitas kemanusiaan yang tidak hidup sendiri-sendiri. Ritual keagamaan seperti hari raya dalam konteks ini, tidak bisa dipahami semata karena menghambakan diri pada pencipta (hubungan ilahiyah). Khazanah yang terkandung dalam interaksi dan integrasi sosial (hubungan insaniyah) sesungguhnya yang paling penting. Kenapa?

Argumentasi Sayyed Hossein Nasr, ulama pembaharu Iran kelahiran 17 april 1933, bisa dijadikan pedoman. Menurutnya, dalam buku Islamic Life and Thought, pemaknaan aktivitas keagamaan tidak boleh lari dari dasar-dasar humanisme. Sebelum bertemu dan dihisab Tuhan kelak, manusia terlebih dahulu berbaur dengan sesama di bumi. Mementingkan prinsip-prinsip kemanusiaan bukan berarti meniadakan kepentingan ibadah kepada Tuhan. Keduanya serupa anak tangga yang mesti dilalui satu persatu. Bagaimana mengorganisir keduanya, membutuhkan kecerdasan manusia yang tidak statis, manut dan kaku pada satu paham saja. Ketika manut dan kaku, yang akan terjadi kemudian adalah cara berinteraksi yang ekslusif, menjauh dari prinsip dasar kemanusiaan, merasa benar sendiri, dan tertutup terhadap pergerakan ilmu pengetahuan, juga terhadap kecerdasan budaya.Pandangan senada juga dikemukakan Nasr Hamid Abu Zayd, ulama kelahiran Mesir, 10 Juli 1943. Sikap beribadah (ritualitas) umat beragama, khususnya Islam, dalam bukunya Falsafah at-Ta’wil: Dirāsah fi Ta’wīl al-Qur’ān ‘ind Muhy ad-Din ibn al-‘Arabī, mesti berlangusng dalam format yang toleran dan berlaku universal terhadap gerak pertumbuhan Islam di banyak tempat dengan akar budaya yang berbeda. Ritual keagamaan, menurutnya berlangsung atas kesadaran bahwa tanpa jalinan interaksi kebudayaan yang beragam, keselamatan dunia-akhirat yang dijanjikan Tuhan mustahil terjadi. Kualitas keamanan, kesajahteraan lahir-batin manusia tidak hadir dari kekosongan, tetapi tercipta dari pergulatan hidup sebagai manusia yang tercipta dari berbagai bentuk fisik, bahasa, dan budaya yang berbeda.

Hari raya, atau hari besar sebuah agama, lazimnya disemaraki dengan berbagai aktivitas dalam suhu interaksi sosial yang meningkat. Sudah bisa dipastikan, tanpa metode pemaknaan dan kerangka acuan pelaksanaan yang mengapresiasi tuntutan dasar kemanusiaan, realitasnya akan tampil sumbang. Para pemegang otoritas agama, budaya, dan negara (ulama, budayawan, dan pemerintah) adalah elemen pertama yang benar-benar harus menguasai konsepsi ini.Komposisi seimbang antara author, text, dan reader sebagaimana dikembangkan Abou Fadhl menuntun kesadaran, kebijakan, dan arah pengontrolan tujuan hakiki dari keberadaan manusia di bumi. Sungguhpun demikian, bukan pula sesuatu yang tepat sasaran ketika elemen-elemen tersebut suntuk mengatur, melarang, tanpa gerakan penyadaran yang menyegarkan. Gerakan penyadaran terhadap segelintir oknum yang seenaknya makan-minum di dekat orang yang berpuasa, misalnya, tidak sepenuhnya berhasil dengan peraturan-pereaturan legal-formal semata.

Begitu juga terhadap aktivitas atau tradisi berhari raya masyarakat yang tidak terkontrol akan hanyut ke dalam euforia. Kemubaziran berpeluang besar terjadi di sini. Sebaliknya, pengontrolan yang terlalu ketat akan mengurangi keindahan bermasyarakat. Dalam diskursus inilah kecerdasan budaya perlu diberdayakan. Penekanannya pada bagaimana aktivitas beragama mengarifi tekakan arus narasi besar globalisasi, kampanye post-truth yang tak bisa dihentikan.Jadi, sungguh ajaib, ketika tiga abad yang lalu, seorang ulama sufi menarasikan imajinasi sosial yang sarat kritik dan hingga hari ini masih dapat dihayati oleh para penganut agama apa saja: Andaikata hari raya setiap hari.(*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Ganefri
Terkini