Di Bukikbatabuah, bahkan di nagari-nagari yang masih hidup tradisi ka Lapau-nya, bisa kita saksikan kebiasaan masyarakat Ka Lapau Sambia Manunggu Babuko Puaso -pergi ke Lapau/warung sembari menunggu waktu berbuka puasa-.Yang menjadi cirikhas dalam aktivitas dan suasana di Lapau adalah terjadinya dialog, saling tukar cerita dan informasi, ada yang temanya tentang pekerjaan, tentang pengalaman hidup bahkan ada juga tentang keadaan keluarga.
Begitupun aktivitas di Lapau sembari menunggu berbuka puasa, perbedaanya lebih pada konten ceritanya yang lebih reflektif, seolah seperti panggung seni, khusunya seni retorika masyarakat Minangkabau ketika menyampaikan perjalanan spritulitasnya dalam meniti kehidupan sehari-hari.Sebagaimana perpaduan antara seni dan spritulitas dalam aktivitas masyarakat Minangkabau di Lapau, peluang tafsirnya pada pengeksplorasian makna dari kebiasaan ka Lapau masyarakat Minangkabau tersebut.
Fokusnya pada pemahaman seni sebagai sebuah refleksi kebersamaan masyarakat yang dipraktikkan untuk sarana komunikasi antar individu atau kelompok. Aktivitas ini erat kaitannya dengan bagaimana penyampaian pesan kehidupan bisa ditampilkan sebagai tuntunan hidup bermasyarakat, beradat dan beragama (spritualitas).Pertanyaannya, seperti apa keterkaitan antara seni dan spritulitas? Apakah kebiasaan dan suasana di Lapau bisa dimaknai sebagai keterkaitan antara seni dan spritualitas tersebut?
Uraiannya saya hubungkan berdasarkan catatan ketika menjadi Pambukak Carito/moderator dalam program Bacarito Sambia Manunggu Babuko Puaso oleh Tarbiyah Pasia Official (https://mtipasia.com/) Rabu 5 April 2023.Beberapa point penting dari uraian Da Zelfeni Wimra sebagai Panyurah Carito/narasumber tentang “Seni dan Spritulitas kemudian direfleksikan dengan pengalaman pribadi dan kebiasaan masyarakat Minangkabau tersebut di atas.
Berdasarkan catatan Muhammad Arkoun, salah satu filusuf Islam Modern yang pemikirannya mempengaruhi reformasi Islam saat ini, bahwa dalam sejarah kelahiran seni, seni retorika merupakan seni tertua. Artinya, ketika masyarakat Minangkabau bercerita di Lapau, bermusyawarah di Rumah Gadang, atau momen-momen yang membuat masyarakat berdialog, sesungguhnya itu bagian dari aktivitas seni, khusunya dalam seni tertua tersebut. Begitupun, dalam pemaknaan yang lebih subjektif, jika berangkat dari pengertian ini, maka semua orang berposisi sebagai seniman. Lalu pertanyaannya, apa hubungannya dengan spritulitas?Penjelasan Khalid Abou Fadl bisa dijadikan rujukan, ia mengatakan bahwa dalam segi keagamaan, tabi’at spritulitas setiap orang itu mujtahid yang menentukan arah dan sikap keberagamaannya sendiri, tentu saja dalam panduan yang bersifat mazhab, merujuk pada pendapat mazhab tertentu. Artinya pada titik ini, seni dan spiritulitas dipahami sebagai dua kutub yang saling tarik menarik, bahkan dalam bahasa yang sedikit ektrim: beragama itu adalah berkesenian.
Salah satu buku karya Hamdy Salad yang berjudul “Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik”, bisa dijadikan refleksi. Bahwa dalam pemaknaan yang detail, Nabi Muhammad Saw., merupakan seniman, buktinya bisa disaksikan pada pengeksplorasian makna panggung mingguan khutbah Jum’at ketika masa kenabian, khutbah juga bagian dari seni yang diinternalisasi dalam mimbar khutbah atau panggung pertunjukan seni, khususnya seni retorika.Artinya, jika seni dan spritualitas itu akan kembali diarus utamakan, maka aktivitas seorang khatib itu adalah momen-momen yang dinanti oleh para jamaah dalam proses internalisasi seni dan spritulitas.Gambaran yang sama juga dijelaskan oleh sejumlah penafsiran mutakhir, mereka mengemukakan sejak semula, sejak wahyu diturunkan, ketika malaikat Jibril akan mengimlakkan wahyu, terlebih dahulu, kepada Nabi Muhammad Saw., dipertunjukkan peristiwa yang dikemas dalam format kesenian retorika.Misalnya, menjelang wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad ditayangkan sebuah panorama mimpi, mungkin sebuah visualisasi estetis di alam bawah sadar yang menggugah cita rasa kemanusiaan Nabi Muhammad sehingga ia bisa berpindah dari alam-akal manusia ke alam-akal malakut.
Sebagai proses internalisasi seni dan spiritualitas, bagi masyarakat Minangkabau, kebiasan lisan merupakan karya seni masyarakat yang mengandung unsur nilai, pesan moral dalam berprilaku, beretika dan berucap. Seni berucap sudah menjadi suatu yang sangat kental dengan kehidupan masyarakat yang berisi petuah berupa nasihat-nasihat yang turun temurun dilestarikan secara lisan sebagai pola dan tujuan hidup orang Minang.Bahkan dalam bentuknya yang lebih khas, masyarakat Minangkabau terbiasa menyampaikan suatu petuah, menciptakan kesepakatan dan bermusyawarah dengan kalimat perumpamaan dan pribahasa, atau disebut juga dengan petatah petitih.
Jadi, berdasarkan pengalaman pribadi dari masyarakat Minangkabau Ka Lapau Sambia Manunggu Babuko Puaso, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa diambil: Pertama, aktivitas dan suasana bertukar cerita, informasi dalam reorika masyarakat Minangkabau merupakan bentuk keterkaitan antara seni dan spiritulitas, bahwa masyarakat Minangkabau sedang berposisi sebagai seniman yang sedang menampilkan perjalanan spiritualitasnya.Kedua, kebiasaan masyarakat Ka Lapau Sambia Manunggu Babuko Puaso dengan konten cerita yang lebih reflektif dan program Bacarito Sambia Manunggu Babuko Puaso oleh Tarbiyah Pasia Official merupakan gambaran ideal bagaimana seharusnya pemamfaatan waktu berbuka puasa itu diisi.(*)