Di Malaysia, mereka disambut oleh Dato Amir Guntur, seorang pensiunan perwira tinggi Angkatan Darat Kerajaan Malaysia yang pernah bertugas di Australia dan berasal dari Kampar (Riau).Sambutan Tari Gelombang memantik perhatian, dan saya pun bertanya. Dengan berkelakar, Iskandar menjawab, “semua bisa diatur, yang penting saku jangan dijahit.”
Iskandar adalah teman bicara yang menyenangkan. Dia punya banyak cerita. Baik dari pengalaman hidup, pengamatan, maupun bacaan. Dia selalu update soal perpolitikan dan isu-isu sosial tanah air, maupun Australia. Dia pun suka bercanda.Berbeda dengan kebanyakan orang tua yang gagap teknologi, Iskandar gesit mengunakan gadget. Ia aktif di sosial media. Bahkan banyak sudah menelurkan tulisan yang menjadi headline di Kompasiana.
Iskandar juga rutin berolahraga, sendirian maupun dengan teman-temannya. Berenang 1 km adalah rutinitasnya sejak pensiun. Berjalan minimal 3 km setiap hari rutin dilakoni sampai terakhir pengobatan radiotherapy beliau sekitar enam bulan yang lalu.MSCC juga rutin bertemu menjelang dan setelah salat Jumat di Masjid Al Hijrah di daerah Tempe, Sydney. Biasanya mereka selalu berfoto bersama. Iskandar sering bercanda, “ini absen, setelah ini kita bisa hitung siapa yang tidak bisa hadir, karena sakit atau meninggal dunia.” Iskandar tentu tidak akan pernah lagi hadir di foto bersama setelah salat Jumat di masjid Tempe. Ia akan selalu dikenang oleh kawan-kawannya di MSCC.
Merantau
Soal merantau, ada pepatah Minang yang mengatakan bahwa, “dari pada sengsara kubawa pulang, lebih baik rantau yang ku perjauh”. Iskandar-pun menambahkan, “kalau senang di rantau ngapain pulang.”[caption id="attachment_164772" align="aligncenter" width="800"] Barbeque MSCC, Maret 2021[/caption]Memang sedikit sekali perantau Minang yang kembali ke kampung halamannya. Yang kembali, didominasi oleh mereka yang kalah di rantau. Itu pun tidak seberapa.
Artinya, merantau menjadi proses one-way ticket. Perjalanan satu arah. Merantau untuk tidak kembali. Iskandar adalah contohnya. Berdarah Pariaman. Lahir dan besar di Padang Panjang. Merantau ke Jakarta. Lanjut ke Singapura selama lebih hampir 30 tahun. Sempat pensiun di Jakarta. Dan, menghabiskan hari tua di Australia.Iskandar Zulkarnaen bin Harun wafat di Sydney, 18 Mei 2023, di usia 87 tahun. Ia dihantarkan oleh banyak orang ke Pemakaman Rookwood. Dalam sambutannya, Ketua MSCC, Surachman Chatib tak kuasa menahan tangisnya.Karena istrinya berasal dari Bukittingi, keempat anak Iskandar Harun adalah tulen berdarah Minang. Menantunya berasal dari berbagai suku. Bahkan seorang menantunya berasal dari Singapura. Empat anak dan sepuluh cucu Iskandar semua menetap di Australia. Sebagian telah berganti kewarganegaraan. Cucunya ada yang menikah dengan gadis berdarah Turki.Keturunan Iskandar Harun telah menjadi global citizen. Ini yang dinamakan diaspora. Begitulah kehidupan bergerak.
Karena merantau didominasi oleh perjalanan satu arah, mungkin pepatah Minang, “merantau bujang dahulu, di rumah berguna belum” perlu direvisi. Kebanyakan mereka, merantau untuk tidak kembali.Diperkirakan, orang Minangkabau lebih banyak yang berada di rantau dibandingkan dengan yang masih tinggal di ranah. Rumusnya sederhana, mereka mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang lebih baik.
Dan, Australia adalah negara domisili perantau Minang terbanyak ke dua di luar Indonesia, setelah Malaysia. (*)