Terjangkit Virus Post-Truth

Foto Harian Singgalang
×

Terjangkit Virus Post-Truth

Bagikan opini

 Oleh Riki Saputra

Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera BaratKehidupan modern dengan kebebasan berpendapat telah menjadikan manusia dapat menjadi guru tanpa harus sekolah keguruan. Manusia bisa menulis lalu membagikan tulisannya, atau men-share tulisan orang lain. Kemudian saling berkomentar, saling kritis dalam rangka menemukan kebenaran. Fenomena seperti ini sejatinya tidak masalah, sebab merupakan suatu kebebasan manusia dalam mengekspresikan apa yang dirasakannya.

Namun, bagaimana jadinya jika tulisan yang dibagikan adalah tulisan yang diragukan kebenarannya, atau tulisan provokatif, hoax, dan tulisan yang mengandung unsur SARA. Hal ini tentu bukanlah hal yang positif dalam dunia literasi, dan kebebasan media. Inilah kenyataan era yang dihadapi manusia sekarang– era post-truth. Era dimana kebenaran dan kevalidan berita atau tulisan bukan lagi menjadi suatu persoalan yang harusnya patut dicermati dan dikritisi.Merujuk kepada Oxford Dictionary menjadikan tahun 2016 sebagai tahun munculnya kata post-truth “Word of the Year”.  Hal ini dikarenakan, tahun 2016 adalah tahun penuh dengan kontroversial dan kejadian-kejadian yang tak terduga, di antaranya terjadi pada panorama politik dan sosial. Post-truth “Pasca Kebenaran” didefinisikan sebagai kata sifat “berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan dimana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan pribadi”.

Jumlah penggunaan istilah post-truth di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan dengan tahun 2015. Alasan melambung tingginya kurva penggunaan istilah post-truth ini disinyalir disebabkan karena dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016; yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) serta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya. Selain ditandai dengan merebaknya berita hoax di media sosial, era post-truth juga ditandai dengan kebimbangan media dan jurnalisme dalam menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari para politisi. Kasus selama pemilu presiden Amerika 2016 menjadi bukti bahwa semakin sering media menyiarkan berita-berita bohong soal Donald Trump, justru membuat nama Trump semakin populer dan kebohongan-kebohongannya tersebar luas.

Penyebaran berita-berita hoax berkembang dengan pesat melalui media sosial, misalnya pada Facebook sebagai media sosial dengan pengguna terbanyak. Berdasarkan data dari situs www.statista.com, menyebut bahwa facebook pada januari 2019 berada pada peringkat pertama sebagai situs jejaring sosial terpopuler di dunia dengan pengguna sebanyak 2.27 miliar pengguna aktif bulanan.Begitupun dengan Indonesia, facebook juga menjadi media sosial yang paling laris digunakan. Berdasarkan data dari www.kompas.com menurut riset dari perusahaan media We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite, menyebut bahwa pada tahun ini ada 150 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah itu naik 20 juta pengguna dibanding hasil riset pada 2018.

Merambahnya facebook sebagai media sosial dengan pengguna terbanyak menjadikan pula facebook sebagai media sosial yang sarat akan penyebaran berita hoax. Situasi seperti ini menjadikan kualitas kebenaran berita bukanlah hal yang ditampilkan lagi. Melainkan bagaimana menampilkan berita yang mampu menarik minat masyarakat sebagai pembaca dan menggiring opininya agar menerima dan terpengaruh dengan apa yang disampaikan.Bahkan, kelompok-kelompok elit politik memanfaatkan situasi ini untuk mempengaruhi pembaca untuk menaikan elektabilitasnya. Dibuatlah berita-berita hoax yang menjatuhkan lawan, mendiskriminasi, menyerang, menyudutkan, dan lain-lain sebagainya. Ini tentunya telah merusak tatanan dan substansi dari adanya media itu sendiri.

Melihat kepada realitas sekarang, terjebak pada arus post-truth akan menjadikan manusia mengalami sakit mental– ada sikap-sikap negatif dalam dirinya yang tak sesuai dengan kaidah-kaidah universal kemanusiaan. Hal ini berdampak pada ketidaksehatan dan ketidakbijaksanaan dalam bersosial media, yang juga merambah ke dalam dunia nyata.Selfish atau keegoisan akut dapat tumbuh dalam diri manusia jika terkena virus post-truth. Dalam pandangannya yang terpenting bukan lagi tentang kebenaran suatu informasi atau berita. Namun, jika informasi atau berita tersebut sejalan dengan kebenaran pandangan pribadinya. Maka, informasi dan berita itu telah menjadi suatu kebenaran objektif, sehingga ia menyebarkan informasi atau berita yang dapat memicu lahirnya kontroversi di kalangan para pengguna sosial media, dan bahkan memicu perdebatan dan konflik dalam kehidupan nyata.

Sikap antipati ini yang tidak mau menelusuri lebih dalam mengenai suatu informasi atau berita menandakan lemah dan kurangnya kekritisan dan literasi seseorang tersebut. Hal ini berakibat pada hilangnya substansi dari penyebaran informasi dan berita tersebut. Tujuannya bukan lagi menambah pengetahuan manusia dan sebagai media bertukar informasi serta berita objektif. Melainkan, lebih kepada mengedepankan kebenaran-kebenaran subjektif masing-masing.Menyalahkan orang lain adalah sikap yang sangat memungkinkan akan muncul jika terjangkit virus post-truth. Sebagai konsekuensi dari kebenaran yang objektif dalam pandangannya– yaitu kebenaran yang berasal dari pemikiran pribadi atau yang sekufu dengannya. Kepentingan pribadi dan kelompok sangat terlihat jelas di sini sehingga menjadikan manusia berjalan bukan lagi demi kepentingan bersama, melainkan atas dasar keuntungan diri sendiri.

Menghilangkan era post-truth adalah suatu keniscayaan belaka kiranya. Walau tidak memungkinkan untuk bisa membendungnya. Perlu usaha keras dan maksimal semua elemen yang terkait– baik pemerintah, pegiat media, dan pengguna media sosial itu sendiri.Menghadirkan kebijaksanaan dan kecerdasan dalam bersosial media di era post-truth, setidaknya bisa menghentikan sedikit demi sedikit arus penyebaran virus post-truth. Sosialisasi mengenai pentingnya tata cara bersosial media di era post-truth menjadi suatu hal yang bermanfaat kiranya, untuk membangun perspektif baru mengenai cara bersosial media yang baik, sehat dan bijak. (***)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini