Khairul Jasmi: Selamat Satu Abad Diniyyah Puteri

Foto Khairul Jasmi
×

Khairul Jasmi: Selamat Satu Abad Diniyyah Puteri

Bagikan opini

Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang pada 1 November 2023, genap berusia satu abad. Inilah salah satu bukti, Minangkabau mengantarkan putera-puteri terbaiknya melalui jalur pendidikan dan cabang-cabangnya. Diniyyah Puteri didirikan oleh Rahmah el Yunisiyyah, seorang perempuan yang mendahului zaman pada 1 November 1923. Dalam usia 100 tahun sekarang, perguruan tinggi justru semakin hebat. Rahmah adalah contoh perempuan yang fokus dengan pilihannya. Menurut Etek Amah, demikian tokoh ini disapa, “sesuatu yang tinggi asal didaki, bisa berada di bawah telapak kaki.” Sejarah bangsa bergerak bengkok-bengkok tapi Rahmah terus berjalan lurus. Rahmah, adik dari Zainuddin Labay ini, adalah ayam betina yang berkokok. Saya menulis bukunya, diberi judul, “Rahmah el Yunisiyyah, Perempuan yang Mendahului Zaman.” Pada 1923 itu, negeri sedang dijajah, belum ada sekolah khusus muslimah di Hindia Belanda, tapi kemudian hadir di Padang Panjang. Sebelumnya ada Karadjinan Amai Setia et Kota Gedang oleh Ruhana Kuddus pada 1912, tapi bukan sekolah muslimah, melainkan kepandaian tangan dan baca tulis. Soal baca tulis, tak ada yang bisa menandingi Ruhana, oleh Kartini sekalipun. Usia 8 tahun sudah jadi guru cilik bagi anak-anak sebayanya di Simpang Tonang, Pasaman selama 4 tahun dan hampir 6 tahun di Koto Gadang. Ia tak pernah sekolah. Rahmah, lebih spesifik, membangun sekolah khusus muslimah, yang dipicu oleh kegelisahan batinnya, karena susah sekali bertanya pada guru soal fikh perempuan. Ini karena dalam kelas yang dibangun Syekh Karim Amrullah dan kakaknya Labay el Yunusiyyah, isinya bercampur murid pria dan wanita. Rahmah adalah bukti bahwa pendidikan memang modal dasar terbaik bagi anak Minangkabau. Dalam beberapa tulisan sudah saya buat, ada dua hal penting bagi kemajuan anak-anak Minangkabau zaman lampau. Pertama surat atau madrasah kedua sekolah umum. Kedua hal ini ditunjang tanpa sengaja oleh Belanda yang membangun jalur transportasi dengan baik seusai Perang Paderi. Maksudnya agar Minangkabau bisa dikontrol dan emas serta hasil buminya bisa diangkut ke Padang dengan mudah. Tapi, kemudian, jalan raya dan jalur kereta api yang dibangun itu, mempermudah anak desa ke kota atau bergerak dari satu daerah ke daerah lain, dalam mencari ilmu. Apalagi mobil sudah banyak ketika itu, menyaingi bendi. Kereta api melintas tepat waktu. Ketika Diniyah berdiri, kereta api bukan hal asing lagi di Minangkabau atau Sumatra’s Westkust. Semua tokoh hebat yang selalu disebut-sebut baik bapak atau pun ibu bangsa, yang berasal dari Minangkabau, bisa sehebat itu karena pendidikan, karena menulis, karena jadi wartawan. Karena disokong oleh keluarganya. Karena kemauannya. Ini 1923, di Sumatra’s Westkust sudah banyak sekolah Belanda, seperti Hollandsch Inlansche School (HIS) hadir sejak 1914, lalu Vervolg School, Kweekschool atau Sekolah Raja di Fort de Cock, Volkschool yang ada di desa. Tentu saja ada Normal School. Juga ada Opleiding School voor Inlandsche Amtenaaren (OSVIA). Di Jawa ada Meer Uitgebreid Laager Onderwijs (MULO); Adabiah di Padang serta nama-nama lain. Madrasah Thawalib di Padang Panjang dan Parabek serta tempat lainnya. Kemudian ada Arab School di Ladang Laweh, Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Canduang. Darul Funun di Padang Japang. Perempuan pertama lulusan sekolah umum di Minangkabau adalah Sjarifah Nawawi anak Engku Guru Nawawi Sutan Makmur. Perempuan pejuang Minang, 90 persen adalah penulis dan wartawati. Rahmah bukan, tapi ia melahirkan murid-murid pejuang dan wartawati seperti Rasuna Said dan Ratna Sari serta Sjamsidar Jahja. Yang perempuan yang jurnalis. Tapi penulis perempuan pertama yang tercatat dari Minangkabau adalah Siti Julia, menulis di koran Poetri Hindia pada 1908, kemudian Halimah di media yang sama pada 1909. Lanjut, Siti Ramalah, 1909. Lalu terbitlah Soenting Melajoe 1912. Di sini hadir bangsakoe perempoean. Para wartawati di media ini, Ruhana Kuddus, Zubaidah Ratna Juwita, Siti Jatiah, Siti Nurma, Siti Nursiah dan Amna. Kemudian muncul Sa’adah Alim, pemimpin surat kabar Soeara Perempoean yang terbit di Padang Panjang. Sa’adah Alim, menikah dengan Alim Sultan Maharadja Besar. Kemudian muncul nama Sja’diah Sjakur, anak perempuan dari Syekh Abdul Sjakur yang punya madrasah di Balai Gurah. Rakyat menyebut marasah itu dengan Surau Camin, karena kolam bening di depannya seperti cermin. Ia adalah penulis dan wartawati untuk majalah yang didirikan ayahnya itu, Djauharah. Selain anaknya juga mengisi majalah perempuan tersebut, Khodijah, Rosmin dan Rasyidah. Ada lagi majalah Asjraq yang didirikan oleh sastrawan Rustam Effendi, tokoh M Rasjid Manggi sastrawan dan budayawan serta Abisin Abbas yang tak lain adalah Andjas Asmara seorang wartawan dan sastrawan. Pengasuh majalah ini, selain nama-nama pendiri juga, Moro, Fatimah, Rawani, S.Ramala, Syarifah dan Andjoes Almatsir, Nurani. Akan Halnya Andjoes Al Matsir adalah anak dari Muhammad Almatsier dari Koto Gadang. Kemudian, hadir majalah Soera Kaoem Ibu Soematra di Padang Panjang pada 1929 dipimpin Encik Djanuar yang diterbitkan oleh Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) di organisasi ini Rahmah el Yunusiyyah adalah anggota pengurusnya. Di medianya, yang menjadi rekdatur Rubrik Putri adalah Aziz Thaib. Berikut Medan Poetri milik Permi organisasi yang ditakuti Belanda. Wartawatinya, Syamsidar Yahya dan Ratna Sari murid Diniyyah Padang Panjang dengan mentor Rasuna Said. Juga ada nama Ambar Saidi, Rokiah Nanim, Djalina Djamil, Djaniar Hakim Djambek, Maimunah Ismail. Seperti juga Rasuna Said dan Rasimah Ismail, maka Maimunah Ismail dan Djalina Jamil dihukum karena menurut pemerintah telah melakukan pelanggaran. Ia dikenakan pasal karet, Spreedelict . Syamsidar Yahya bersama Djanewar Djamil menerbitkan Soera Poetri di Fort de Cock. Berikut majalah Soeara Kaoem Iboe Seoemoenja, masih oleh SKIS Padang Panjang. Seperti disebut terdahulu, pada waktu yang sama dan sesudahnya, kaum perempuan di Minangkabau menyibak langit gelapnya. Sebenarnya itu sudah terjadi sejak berdirinya KAS di Koto Gadang oleh Ruhana Kuddus dan dua kawannya serta 60 orang lainnya, sebuah gerakan hebat yang kemudian melahirkan organisasi yang berusia panjang, lebih tua dari Muhammadiyah yang lahir 1912. Baru kemudian muncul Diniyyah Puteri Padang Panjang, sekolah khusus muslimah pertama di Hindia Belanda oleh. Dari sekolah inilah muncul Rasuna Said, singa podium itu, juga Ratna Sari, perempuan pertama di Indonesia yang jadi ketua parpol yaitu saat Permi berubah jadi parpol sebelum dibubarkan Belanda. Kemudian ada nama penulis dan pejuang Rasimah Ismail yang kena spreedelict bersama Rasuna Said dan sama-sama dikirim ke Penjara Wanita Boeloe di Semarang. Ada lagi nama Tinur, istri Gafar Ismail. Lulusan Diniyyah Puteri Padang Panjang ini menjadi penyiar radio di Jogjakarta. Ia fasih berbahasa Arab, maka oleh siarannya itulah kemudian berita PDRI bisa dimengerti oleh pendengar di Timur Tengah. Bisa jadi siaran itu dipancar-ulangkan oleh radio bangsa lain. Ada nama lain yang keren, Sariamin Ismail yang lahir 31 Juli 1909 di Talu, Pasaman. Ia sering memakai nama samaran seperti Selasih, Selaguri. Menulis di Soera Kaoem Ibu Soematra, Soenting Melajoe, Sinar Soematra dan Bintang Hindia. Perempuan ini novelis perempuan pertama di Hindia Belanda. Novelnya Kalau tak Untung diterbitkan Balai Pustaka 1934. Sampai 2022 roman itu sudah naik cetak 22 kali. Nama-nama perempuan yang disebut itu, belum semuanya dan sebagian adalah lulusan Diniyyah Puteri Padang Panjang, sekolah yang dibangun kembali sehabis gempa 1926 dengan kekuatan Rahmah yang sulit ditiru. Bahkan, orang tak yakin ia bisa membangun kembali sekolah tersebut. Nyatanya bisa. Ini, antara lain karena rasa hormat orang Malaysia pada Rahmah dan Diniyyah Puteri. Juga masyarakat Sumatera darui Aceh sampai Lampung, termasuk warga Jakarta yang ikut membantu agar Diniyyah bisa tegak dengan cantik kembali. Rahmah adalah perempuan Komandan TKR, satu-satunya di Indonesia, pengibar Sang Merah Putih pertama kali di Sumatera Tengah pada 1945. Adalah tokoh yang diseret ke Landraad karena hutang dalam membangun sekolahnya. Adalah tokoh yang disegani Hamka dan Natsir. Sosok yang diberi gelar Syaikhah oleh Universitas Al Azhar Mesir, sehabis universitas itu meniru kurikulum Diniyyah. Memandang Diniyyah Puteri yang satu abad, sama dengan memandang wajah pendidikan perempuan muslimah Indonesia, setidaknya Minangkabau. Ternyata di sini, ada sebuah lembaga pendidikan yang sudah berusia 100 tahun dan makin hebat. Yang ditunggu, Rahmah jadi pahlawan nasional seperti muridnya Rasuna Said. Seabad Diniyyah adalah bilangan tahun yang berat. Pesan moral sekolah ini tak lain, perempuan mesti hebat. Harus berpendidikan. Rahmah yang lahir 1900 dan wafat 1969 itu, telah meninggalkan warisan hebat untuk provinsi ini. Sekarang perguruan itu dijaga keturunanya, Fauziah Fauzan. Selamat Satu Abad Diniyyah Puteri. Sejarah yang baik adalah sejarah yang membuat sejarah baru dan terus melangkah ke masa depan.(**)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini