Kisah Kecil Inyiak Canduang

Foto Harian Singgalang
×

Kisah Kecil Inyiak Canduang

Bagikan opini

“Siapa namanya tadi?”“Sulaiman.”

“Ya sekarang kita makan dulu, Sulaiman.”Sulaiman makan dalam diam. Suap demi suap, nikmat sekali. Sudah berbulan-bulan dia tak makan enak. Tuan rumah terlihat puas. Sehabis makan, disuruh pula menikmati gelamai dari beras pulut yang diramu dengan gula aren. Nikmatnya tiada tara.

Sulaimanpun berdoa sehabis makan. Selesai berdoa ia mohon diri.“Sebentar Urang Siak,” kata si ibu. Ibu itu, pergi ke dapur dan mengambil tabung yang terbuat dari bambu. Tabung itu, berisi beras. Itulah beras genggam. Tak hanya di rumah gadang ini, tapi setiap dapur di Minangkabau punya beras genggam, yaitu segenggam beras yang diambil dari jatah beras yang akan ditanak. Tiap akan memasak, diambil segenggam, dimasukkan ke dalam tabung tersebut. Jika ada Urang Siak, pakiah, musafir lewat maka beras genggam itu diambil.

Ia membawa tabung tersebut ke dekat Sulaiman dan memasukkannya isinya ke dalam buntil. Selesai. Sulaiman pun pamit, meninggalkan si ibu yang bahagia karena bisa menjamu Urang Siak dan bisa mengamini doa malin. Malin adalah sebutan lain untuk orang-orang alim. Ia melepas Sulaiman dengan pandangan dari jendela sampai anak muda itu menghilang.Kemana Sulaiman? Harusnya ia bisa mampir ke beberapa rumah lagi sampai sehabis zuhur, tapi tidak. Tak mampir ke pasar yang sedang ramai, meski ingin. Ia berjalan kencang saja menuju Sungayang.

Remaja dari Candung ini sedang belajar ilmu agama di surau Tuangku Kolok Sungayang. Sudah setengah tahun dia di sini menimba ilmu pada ulama tersebut. Sungayang, sebuah nagari tak jauh dari Fort Van der Capellen.Sesiang itu, ia sudah sampai di surau, kawan-kawannya terlihat duduk-duduk di pintu, di batu depan surau dan dekat kolam ikan sambil membaca kitab. Ada yang main sipak rago, sedang guru mereka Syekh Muhmmad Ali, Tuangku Kolok, tidak lagi berjalan-jalan ke hilir, melihat-lihat padi yang sedang tumbuh menghijau. Guru ini, tiduran di surau. Ia kurang enak badan.

“Sulaiman, kemana saja, kenapa kamu tak piket?” Salah seorang dari mereka bertanya.“Pergi ke Sungai Tarab.”

“Berapa rumah kau berdoa?”“Satu saja, saya ingat kalian dan bergegas balik.”

“Tapi kenapa tak piket?”“Maafkan saya, lagi malas saja,” kata Sulaiman.

“Pekan lalu Jamaan yang hilang, sekarang Sulaiman, ada-ada saja kalian semua, nanti saya bilang sama Syekh baru tahu rasa,” kata kawannya. Itulah Inyiak Canduang ulama kharismatik Minangkabau.(*)

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini