Media, Postmodernisme dan Masyarakat Massa yang Konsumtif

Foto Harian Singgalang
×

Media, Postmodernisme dan Masyarakat Massa yang Konsumtif

Bagikan opini

Oleh : Melda RianiBisakah sebuah masalah yang terkait dengan penampilan atau kecerdasan terselesaikan hanya dalam satu langkah mudah? Jawabnya bisa. Tapi hanya dalam iklan! Lihatlah bagaimana seorang bocah tingkat Sekolah Dasar yang terlihat murung sepulang sekolah. Usut punya usut setelah ditanya ibunya ternyata penyebabnya adalah karena nilai pelajaran di sekolah yang rendah. Ajaib, setelah diberi minuman bernutrisi, nilainya keesokan harinya meningkat drastis dari 49 menjadi 94.

Hal yang sama pada seorang remaja putri yang tengah galau karena berjanji akan bertemu dengan teman lelakinya. Kegalauan karena mukanya yang kusam dan jerawatan membuat remaja itu tidak percaya diri. Beruntung, karena saran dari temannya menggunakan sebuah produk, wajahnya yang kusam dan berjerawat berubah ‘glowing’ dan mulus. Pola instan yang sama pada seorang yang langsung terbuka matanya setelah mengulum permen penghilang kantuk. Atau, seorang yang merasa melayang-layang, melupakan semua beban hidup, setelah meminum minuman berjenis soda.Solusi-solusi instan itu, yang kebanyakan hiperealistik, tersuguh setiap saat melalui media-media yang kebanyakan ditonton (televisi) dan melalui media sosial. Bisa juga tanpa sengaja dilihat atau terpaksa dilihat oleh masyarakat melalui videotron-videotron di pinggir jalan. Tanpa sadar, suguhan-suguhan iklan itu merasuki alam bawah sadar masyarakat hingga mereka memutuskan untuk membeli produk yang dianggap sebagai jalan keluar mudah terhadap masalah yang tengah dihadapi. Tanpa sadar, mereka telah menjadi masyarakat konsumtif dan korban kapitalis.

Masyarakat massa dalam hal ini masyarakat konsumtif sejatinya tidak hanya terpapar melalui media massa dan media iklan lainnya. Swalayan dan minimarket yang banyak beroperasi 24 jam penuh ikut juga berkontribusi menciptakan masyarakat konsumtif. Belum lagi mall-mall dan supermarket yang menjanjikan berbagai diskon. Berbagai strategi itu seringkali membuat masyarakat yang sebenarnya tidak membutuhkan barang tersebut, namun karena disediakan menjadi tertarik dan berujung  untuk membelinya.Maka, apa yang dikatakan oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer dan tokoh posmodernisme terkait aktivitas konsumsi yang lebih masif daripada aktivitas produksi di era postmodern terbukti. Menurutnya, pola konsumsi masyarakat modern ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi yang semula ditujukan bagi kebutuhan hidup, kini berubah menjadi gaya hidup. Jika zaman dulu orang membeli karena faktor kebutuhan, tapi sekarang orang berbelanja karena ingin bergaya. Masyarakat juga menikmati atau seakan berlagak menjadi orang kelas menengah ke atas dengan berbelanja produk-produk kapitalis dengan brand-brand terkenal, seperti McD, A&W, Pizza Hut, atau belanja barang-barang merk Sharp, Panasonic dan lainnya.

Media Massa Jadi Instrumen Kapitalis Pada saat masyarakat seperti menjadi lubang hitam yang menyerap semua informasi, pesan termasuk korban iklan, media massa menjadi salah satu pihak yang paling disalahkan sebagai alat atau instrumen yang digunakan oleh kelompok kapitalis. Benarkah demikian?

Tak disangkal bahwa media massa memiliki pengaruh yang sangat kuat. Media massa dapat mempengaruhi tatanan budaya, politik, maupun ekonomi masyarakat. Bahkan, di awal sejarahnya, media massa memiliki peran mulia, untuk membentuk opini publik dalam perjuangan sebuah negara atau kemajuan suatu masyarakat. Seperti halnya Acta Diurna Populi Romawi yang menyebarkan peraturan publik dan kebijakan kekaisaran di zaman Romawi kuno dulu. Atau, saat media cetak mampu membuat gerakan massa di Polandia yang sedang berjuang melawan rezim komunis yang berkuasa (Kovach, 2001). Namun, dalam perjalanannya, media massa banyak terbentur dengan kepentingan ekonomi politik dan bahkan kekuasaan. Apalagi saat pemilik media mulai menguasai tidak hanya satu media dan merambah usaha ke bidang lainnya. Maka, kepentingan kapitalis tak bisa dihindari. Media massa pun menjalankan berbagai strategi bagaimana agar masyarakat dapat menjadi konsumen yang bisa memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal melalui iklan-iklan serta konten yang disuguhkan. Media massa secara tak langsung menyeret masyarakat menjadi korban kapitalis dan menempatkan masyarakat sebagai masyarakat konsumen.Jika dikaitkan dengan pemikiran Baudrillard tentang masyarakat postmodernisme yang bercirikan pada tingkat konsumsi yang tinggi, masyarakat tontonan (perasaan canggung saat masuk ke kelompok sosial yang memiliki barang bermerk), instrumen yang mengubah hal bersifat abstrak menjadi hal bersifat  konkret atau sebaliknya serta hal-hal yang melampaui kenyataan (hiperealitas), maka media massa sangat berperan dalam hal itu. Aktivitas konsumsi yang massif, perasaan canggung atau tidak secure saat melihat kehidupan serba mewah kelompok elit yang ditampilkan media melalui konten-kontennya, membuat masyarakat terpengaruh untuk ikut berbelanja mengikuti gaya hidup.

Menurut Baudrillard, perkembangan media elektronik menjadi faktor pendorong terbesar postmodernisme. Media, dalam penilaiannya, telah mengubah hubungan manusia dengan sejarah dan menciptakan tatanan baru. Masyarakat postmodern, menurut Baudrillard, juga identik dengan konsumerisme. Dalam The Consumer Society, Baudrillard menjelaskan bahwa masyarakat era postmodern menggemari produk-produk mass-market dan mass-culture yang mendorong konsumerisme (Maksum, 2014).Masyarakat Konsumtif

Kehadiran internet dan media sosial yang membuat ‘badai’ besar dalam penyampaian informasi dan pesan, termasuk penawaran produk-produk kapitalis, membuat tingkat konsumtif masyarakat bertambah. Lihatlah betapa tingginya tingkat belanja masyarakat Indonesia melalui internet dan media sosial. Perusahaan riset Populix yang melakukan studi tentang perilaku konsumen berbelanja di Indonesia menemukan bahwa e-commerce masih jadi pilihan bagi masyarakat dalam berbelanja. Dari 1.005 responden laki-laki dan perempuan yang disurvei secara daring pada Juli 2023, 82 persen menjadikan e-commerce sebagai pilihan membeli produk elektronik, kebutuhan rumah tangga dan kesehatan serta 13 persen memilih belanja di media sosial dan hanya 6 persen yang memilih belanja secara luring (antaranews.com).Sementara itu, laporan terbaru dari firma riset ‘We Are Social’ pada Februari 2023, sebanyak 178,9 juta masayarakat Indonesia berbelanja online sepanjang 2022 hingga awal 2023. Angka itu naik 12,8% secara tahun-ke-tahun (YoY). Adapun estimasi nilai belanja online warga RI sepanjang tahun 2022 adalah sebesar US$55,97 miliar atau Rp851 triliun (CNBC Indonesia). Dari nilai total tersebut, paling banyak untuk belanja barang elektronik, selanjutnya hobi, fashion, furnitur, kebutuhan rumah tangga dan makanan.

Dapat dikatakan, kapitalisme dipengaruhi oleh gerakan postmodernisme membuat masyarakat mengambil jalan mereka sendiri, tak mengindahkan strategi kapitalis yang berupaya memanipulasi mereka. Padahal, masyarakat sebenarnya bisa membuat pilihan asalkan mereka masih bisa berpikir secara jernih. Memilah dan membuat prioritas apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Namun, untuk sampai ke tahap itu, mungkin butuh waktu untuk menjadikan masyarakat benar-benar cerdas dan bijak dalam menentukan pilihan. Tak seharusnya teknologi dan kemajuan membuat masyarakat menjadi korban budaya konsumtif, sebaliknya, masyarakat seharusnya memiliki pilihan sendiri dengan pertimbangan matang. Jangan menjadi masyarakat massa yang hanya banyak dikendalikan oleh media dan keinginan kapitalis. (Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas Padang)

Baca juga: Jangan Ada Susu
Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini