Menikmati Secangkir Kopi di Pabrik Banaran

Foto Harian Singgalang
×

Menikmati Secangkir Kopi di Pabrik Banaran

Bagikan opini

Jika pabrik kopi dengan beton tebal ini dibangun 1911, maka kebunnya dibuka 1898. Kopi pertama ditanam Belanda di Batavia di antara kebun bunga rumah Gubernur Jenderal, kemudian diperluas d Pondok Kopi, Jakarta sekarang.Dalam laporan-laporan statik kopi di Museum Kolonial Amsterdam, Belanda, ditemukan rincian berapa pikul kopi dihasilkan oleh berbagai lahan kopi Tanam Paksa di seluruh Hindia Belanda. Misal laporan 1905, untuk Residen Semarang, Banaran pada Agustus 1904 mencatatkan 380 pikul kopi liberia, delapan pikul Java. Lalu pada 1910 Banaran 150 pikul liberia, dua pikul robusta. Asinan 140, Getas  935 pikul liberia dan 95 pikul robusta. Satu pikul sekitar 60 Kg.

Belanda merambah hampir sekujur Pulau Jawa, lahan-lahan yang subur. Tiap kepala keluarga mestilah menanam sekitar 150 batang kopi. Ketika panen tiba, siapa saja mesti datang memetik dengan upah yang luar biasa buruknya. Para Pakhuis, yaitu kepala gudang kopi akan mengawasi kopi yang dijemur, kemudian disortir. Di gudang-gudang kopi, cinta adalah kisah lain, yang syahdu dan tak tercatat di dokumen Belanda manapun kecuali dalam novel.Sekarang, kawasan yang dikelola Pak Banu disebut Kebun Getas, terdiri dari hamparan kebun Getas, Asinan dan Banaran seluas 22 ribu hektare, tapi yang ditanami kopi hanya 1.300 hektare, sisanya coklat. Kebun itu menghasilan pendapatan setiap tahun antara Rp30 miliar sampai Rp40 miliar. Pada 2019 mencatatkan angka yang bagus sekali, Rp39 miliar.

Di sini pula saya menyaksikan 3 kiln besar tapi tentu lebih pendek dari kiln di Semen Padang, yang masih dipakai, untuk mengolah kopi. Ke pabrik inilah kopi diantarkan setelah dipetik. Pohon kopi tertua, masih muda sebenarnya yaitu yang ditanam pada 1974 dan termuda 2023. Kopi baru bisa dipanen ketika berusia 3 tahun dan panen sekali saja dalam setahun. Di Pati ada kopi sisa 1939, tapi itu bukan pula kopi Tanam Paksa yang terjadi sebelum 1900.Kopi di kebun Getas sekarang tingginya 180 Cm, memetiknya dijangkau saja. Pemetik kopi bukanlah karyawan. Perusahaan yang sekarang bernaung di bawah PTP 1 Regional III itu, punya karyawan tetap 71 orang. Pekerja restoran 70 dan buruh sesaat 70 orang.

Rawa PeningOleh Didik saya diajak ke kebun kopi lain, tak jauh dari kafe cantik ini, dekat Ambarawa yang namanya saya hafal betul sejak kaliah akibat “Palagan Ambarawa” yang terkenal itu.

Di sini ada Banaran Skyviwe Caffe& Eatery-Dine In The Sky. Seperti berada di dinding langit. Nun di bawah sana ada Rawa Pening, sebuah danau alami nan hening seluas 2.670 hektare, seperti bekerja mengobati mata dan hati bagi yang memandangnya dari kafe kopi tempat saya sekarang berada. Danau ini mengisi cekung terendah dari tiga gunung, Marbabu, Telomoyo dan Ungaran. Danau sedalam 3 meter ini bermuara ke Sungai Tuntang.Di sini juga ada glampcamp, resort and cottage dengan 100 tempat tidur dan tarif Rp500 ribu sampai Rp1250.000, “Tapi sampai akhir tahun sudah penuh,” kata Didik pada saya saat duduk di  Skyview. Dari sini bisa disaksikan tumbuhan kopi dan pohon-pohon kaliandra. Di sini juga ada jalur offroad, wanah hiburan dan kolam renang anak-anak.

Tapi, sudahlah, matahari telah rebah ke barat, langit sebelah selatan mulai berat, saya pamit untuk pergi ke Semarang, merebahkan lelah di kasur hotel yang empuk. Dan tentu saja saya pergi membawa oleh-oleh, bubuk kopi, bubuk teh dan air dalam kemasan produksi Banaran. Dan, saya ingin kembali ke Little Amsterdam, Semarang, kota dimana Singa Podium, Haji Rangkayo Rasuna Said pernah ditahan. Buku saya tentang pahlawan nasional itu, segera terbit. Yang jelas, ‘kopi benaran ya Banaran,’ Hehehe.*** 

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini