Oleh H. Basril DjabarIni perjalanan yang panjang dan sulit terutama sejak bermunculan asumsi, terjadi “kiamat” di media mainstream akibat serbuan digital. Sesungguhnya, media cetak hari ini, seperti jenderal dengan pasukannya, sukses keluar dari kota yang dikepung, meski belum berhasil menaklukan kota tersebut. Modalnya, sang jenderal menguasai medan dan mengerti perang gerilya rimba raya dan perkotaan.
Dan, sekarang 18 Desember 2023, usia suratkabar ini sudah 55 tahun. Perayaannya tidak mesti dilaksanakan meriah, sebab negara bangsa kita sedang dalam masalah besar. Rakyat, nyaris tak peduli dengan hak-hak sipilnya, karena waktu mereka tersedot untuk persoalan kehidupan demostiknya. “Hidup lagi capek-capeknya,” kata yang selalu terbaca di medsos. Saat itulah, kita memulai langkah untuk pesta politik yang disebut pemilu. Sebuah pesta rakyat, kata pengusaha, tarian di atas awan, kata rakyat. Dengan demikian, pemilu adalah hidangan yang siap disantap, sesuai selera atau tidak. Pemilu damai, pemilu riang gembira, demikian terdengar, namun rakyat tahu, ada sesuatu yang salah telah terjadi. Sebagaimana kisah-kisah rakyat sejak dulu, mereka adalah kelompok yang tabah, namun senantiasa menunjukkan kekuatannya, jika diminta.Jika aparatur negara yang harus netral dalam pemilu, meski banyak yang meragukan, maka media semestinya memilih untuk mengedukasi pemilih ke arah yang baik. Mana yang mesti dipilih dan mana yang jangan. Tapi, pekerjaan itu dirampas oleh media sosial yang pada banyak kasus malah terkesan serampangan. Di sanalah peran media mainstream untuk “meluruskannya” kembali.
Demikianlah tugas berat media menjelang pemilu. Ketika itu pulalah SINGGALANG mesti bisa “adil,” dan menjaga ritme, sesuatu yang sudah kami lakoni dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Ada saatnya, SINGGALANG, mesti jelas memihak, ada waktunya, memberi edukasi. Ini semua untuk menunjukkan bahwa politik adalah hal yang sangat dinamis.Hari ini ketika usia suratkabar ini 55 tahun, kami di SINGGALANG merenung, betapa perjalanan tidaklah ringan. Melaju terus di laut berkarang dan laut tenang, mencatat dan jadi saksi bagi berbagai masalah kehidupan di Sumatera Barat. Menjadi rujukan bagi pengambil keputusan, tempat penelitian bagi para sarjana dan calon sarjana. Universitas bagi wartawan dan penulis yang sekarang sedang berkiprah atau yang sudah pensiun. Bekerja tanpa lelah, sebenarnya adalah ritme di semua suratkabar, apalagi media cetak yang tiap hari dikejar deadline.SINGGALANG, memang bukan yang tertua, tapi sejak terbit tak pernah berhenti menemui pembaca setianya dan tak pernah gonta-ganti pemilik. Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT., semua berjalan baik. Ketika itulah saya mengambil posisi memandang dan terus mengawasi suratkabar ini hari demi hari. Pengasuh newsroom yang muda-muda ternyata bekerja lebih giat dan karena itu saya mengucapkan terima kasih atas dedikasinya.Dalam dedikasi yang baik itulah sebenarnya kami ingin menyampaikan pesan kepada semua pembaca setia bahwa HARIAN UMUM INDEPENDEN SINGGALANG, akan senantiasa bersama pembacanya. Tidak ada kepentingan yang membonceng. Kita di Ranah Minang ini, adalah kelompok yang dinamis. SINGGALANG ada dalam komunitas masyarakat semacam itu. Di sanalah letak keunikkan media massa di Sumatera Barat dan saya tahu, SINGGALANG berada di depan.
Inilah catatan pendek saya tentang hari jadi suratkabar ini, dengan diiringi terima kasih kepada semua pihak, kepada pembaca dan pemasang iklan terutama. Kepada para jurnalis, karyawan perusahaan kepada para alumni dan semua pihak yang membantu dan menjaga kami dalam perjalanan yang panjang ini.Satu-satunya jalan hidup, adalah yang sudah dilalui. *