Oleh: Isral Naska
Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera BaratDelegasi AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program)
Selepas mengunjungi kantor ABC News, bus kecil membawa rombongan menuju daerah lain di luar Melbourne, bernama Thornbury. Tempat yang hendak dikunjungi adalah Islamic Museum Australia. Apa yang terbayang ketika mendengar kata museum? Umumnya akan berpikir tenang bangunan yang berisi koleksi benda-benda tua bersejarah. Akan tetapi Islamic Museum Australia bukan tipikal museum yang kebanyakan kita bayangkan.Museum ini tidak terletak di jalan utama. Anderson rd tempat museum ini adalah jalan lingkungan perumahan. Terbukti bahwa di seberang museum terdapat deretan rapi beberapa rumah. Jika diamati lebih mendalam, museum ini terletak salah satu sisi paling luar lingkungan perumahan. Sisi jalan tempat museum berdiri adalah kawasan bisnis kecil yang panjangnya tidak sampai satu kilometer. Ada beberapa toko, gudang, dan kantor di sana. Karenanya Islamic Museum Australia menjadi hal unik di sana.
Salah satu sisi paling unik dari museum ini adalah arsitektur bangunannya. Ia dibuat dalam bentuk muka persegi sederhana. Dinding bagian depan betul-betul hanya berbentuk sebidang dinding, tanpa jendela dan tidak terlihat pintu apapun. Di dinding itu terdapat kaligrafi besar, bertuliskan al-Qashash. Ianya adalah salah satu nama ayat al-Quran yang berarti “sekumpulan kisah”. Museum memang adalah sebuah bangunan yang bercerita.Di sisi kiri museum terdapat instalasi plat besi besar. Ia tampak karatan dan memiliki banyak sekali lubang dengan berbagai ukuran. Tapi sebesar-besarnya lubang, tidak ada yang sampai sebesar bola kaki. Dari bagian tengah depan, instalasi plat besi karatan berulang-lubang itu terus menutup dinding sisi kiri museum. Untuk apa? Entahlah. Satu hal yang pasti, pintu masuk tersembunyi di balik plat besi besar itu. Apakah hanya sekedar untuk menyembunyikan pintu masuk dan membuat bangunan terlihat unik?
Ternyata di balik instalasi pelat besi besar yang berlubang-lubang itu dipasang dinding kaca. Dan keajaiban datang dari perpaduan itu semua. Ketika berdiri di dalam, terlihat cahaya matahari menembus ribuan lubang kecil dan pada plat besi itu. Formasi cahaya yang menembus lubang terlihat seperti taburan bintang di langit. Sebuah efek yang sangat mengagumkan. Mereka menciptakan bintang di sana!Ruang pertama dari museum itu berisi souvenir. Ada mug, gantungan kunci, baju, hingga buku-buku. Semua ditata dengan apik. Ruang itu menjadi ruang selamat datang yang sempurna. Saya penasaran, apa yang ada di dalam sana. Ada satu benda yang sangat saya kenal, yaitu sebuah buku berjudul “The Boundless Plains, the Australian Muslim Connection”. Buku itu dikirim dulunya sebagai ucapan selamat menjadi delegasi AIMEP.
Kami dibawa lebih jauh ke dalam oleh seorang pemandu perempuan, seorang ibu-ibu berjilbab. Ia sangat ramah dan antusias. Sebagai pemandu sebuah museum yang memperkenalkan Islam, ia memiliki wawasan ke-Islam-an yang sangat memadai. Cara bicaranya tidak menggurui, bahkan sangat menarik. Dia memang disiapkan untuk memperkenalkan Islam ke orang Barat lewat museum ini. “Banyak yang baru mengenal Islam setelah ke museum ini” katanya bangga. Islamic Museum Australia memang bertujuan untuk memberikan informasi yang benar tentang Islam dan sejarah Islam di Australia. Ini adalah upaya untuk melawan bias informasi tentang Islam yang jamak terjadi di dunia Barat.Saya tidak ingat ada artefak-artefak kuno di sana, sebagaimana yang ditemukan di banyak museum. Objek-objek dalam museum adalah karya-karya kontemporer. Sentuhan teknologi dan seni sangat dimaksimalkan untuk memberikan pengalaman interaksi yang lebih mendalam. Lewat itu semua, Islam dan sejarah Islam di Australia diperkenalkan dengan sangat baik.
Ketika berkeliling, sebuah koleksi berupa foto menarikku langsung mendekat. Pasalnya, foto ini menampilkan sebuah masjid dengan bentuk yang sering ditemui di nagari-nagari di Minangkabau. Ku baca keterangannya. Foto ini diberi judul “My Village Mosque”. Rupanya seseorang mengirim foto masjid di kampungnya, dan akhirnya menjadi koleksi museum ini. Tapi kampung mana dan siapa yang telah berkirim. Ku baca lagi ke bawah. Ternyata memang benar, masjid ini berada di salah satu kampung di Sumatera Barat. Tertulis di sana lokasi masjid yang ada di foto adalah di Batu Baraguang, Kamang Hilir, Sumatera Barat. Ok. Sekarang siapa yang mengirimnya ke sini?Tentang pertanyaan terakhir itu, ku temui sebuah nama: Natalia Gould. Ternyata dialah photographer dan pengirim foto itu. Nama itu mengingatkanku pada Rowan Gould, seorang Australia yang menjadi direktur program AIMEP. Rowan pernah bercerita bahwa dia adalah orang Minang, karena ibunya berasal dari Kamang. Apakah Natalia saudara perempuan Rowan? Besar kemungkinan memang begitu adanya.Setelah puas menikmati koleksi Islamic Museum Australia, kami dibawah ke ruang paling belakang. Ternyata di sana akan diadakan jamuan makan malam untuk rombongan. Kali ini banyak tokoh penting AIMEP yang akan hadir. Meja-meja di ruangan itu telah didesain sedemikian rupa, dan telah dipasang tanda tentang siapa duduk di mana. Meja untuk ku berada di bagian paling depan sebelah kiri. Ada satu nama yang sudah ku kenal “Lucas Heinsworth”. Beliau adalah orang sumando Pariaman. Ia juga menyebut dirinya bernama Lukman. Selain itu ia juga dikenal dengan panggilan Ajo Bule. Di samping Ajo Bule, duduk istrinya yang ramah dan riang khas gaya uni-uni. Di depan saya ada beberapa Muslim Australia keturunan Timur Tengah. Mereka juga ramah dan menyenangkan untuk diajak berdiskusi. Di samping ada satu nama Indonesia, tapi saya tidak kenal. Ketika orangnya datang, rupanya seorang Bapak berumur 50 tahunan. Beliau menggunakan jaket dengan lambang Muhammadiyah. Beliau memperkenalkan diri dari dengan nama Pak Ayub. Dan ternyata, beliau orang Bukittinggi. Ah, terlalu banyak Minangkabau di museum ini.Beberapa tokoh terkenal berbicara pada makan malam itu, salah satunya adalah Greg Fealey. Pak Greg, begitu dia akrab dipanggil, mengakui urgensi AIMEP dalam membangun koneksi dan perspektif yang lebih luas di kalangan Muslim dari Indonesia dan Australia. Setahu saya Pak Greg adalah seorang ahli Indonesia yang aktif dalam mendorong kegiatan ini. Waktu saya mengikuti seleksi wawancara, dosen Australia National University ini adalah salah satu yang memberikan pertanyaan.
Semua individu yang hadir dalam makan malam di ruang belakang museum itu menarik. Jika saya harus memilih, maka saya akan bercerita tentang seseorang bernama Andrew Gardiner. Ia akrab dipanggil Uncle Andrew. Jika seseorang dipanggil uncle atau paman di Australia, maka dia adalah tokoh dihormati dalam komunitas aborigin. Saya tidak pernah bertemu dengan orang Aborigin murni secara langsung, melainkan hanya di foto-foto saja. Berdasarkan itu, saya merasa bahwa wajah Uncle Andrew sangat kental nuansa Aborigin-nya. Yang istimewa adalah, ia adalah tokoh aborigin Muslim di Australia.Malam itu Uncle Andrew tampil apa adanya, persis seperti ketika ia memberikan materi di acara AIMEP online beberapa tahun silam. Berbeda dengan pembicara lainnya, ia berbicara tanpa basa-basi tentang Palestina. Ketika secara politik pemerintahan Australia lebih memihak kepada Israel, Uncle Andrew mengkritik hal tersebut. Baginya tragedi Palestina ada samanya dengan tragedi yang dialami oleh suku Aborigin. Kesamaan pengalaman pahit masa lalu, ditambah dengan semangat berIslam membuat Uncle Andrew lantang. Ketika berbicara tentang Palestina secara tanpa basa basi, saya merasa ruangan agak sedikit tegang, sebab di sana juga ada beberapa orang yang bekerja untuk pemerintah.
Namun demikian, Uncle Andrew tetap dapat menutup orasinya yang menegangkan dengan sangat baik. Saya tidak ingat bagaimana persisnya. Uncle Andrew mengakhirinya dengan memberikan pesan pada penjagaan nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan yang universal, yang mana hal itu tidak dapat dibantah oleh siapapun. Itu membuatnya mendapat tepuk tangan dari semua hadirin.Selepas itu makan malam berlangsung akrab. Pertama-tama kita disuguhkan beberapa sambutan yang berbobot, lalu orasi reflektif sekaligus menegangkan oleh Uncle Andrew, kemudian berbagai jenis makanan ala Timur Tengah yang lezat, diskusi lepas antar sesama hadirin tentang apapun, dan diakhiri dengan sesi photo bersama. Itu semua berlangsung tidak kurang dari dua jam. Aula terasa sangat hiruk pikuk. Baru itu saya saksikan hiruk pikuk makan malam, tapi ribut karena diskusi bukan karena acara entertainment. Jadi begitulah acara di Islamic Museum Australia.